Umat muslim dianjurkan untuk menjaga salat berjamaah. Selain iming-iming ganjaran, salat jamaah juga diklaim bakal melapangkan rezeki di dunia. Hasan bin Ahmad al-Kaf memerinci hukum salat berjamaah menjadi tujuh yakni; (1) Fardhu a’in, (2) Fardhu kifayah, (3) Sunah, (4) Mubah, (5) Khilaful Ula, (6) Makruh, dan (7) Haram.
Apapun itu, kampanye salat jamaah sering dijadikan tajuk seminar atau topik di mimbar-mimbar pengajian. Apalagi budaya bermedsos yang semakin membuat generasi milenial malas melangkahkan kaki ke masjid. Salat jamaah dianggap tidak penting daripada harus ketinggalan informasi terkini, menyelesaikan game, atau ngobrol seru di grup chat.
Jamaah diambil dari kata jumuah yang artinya berkumpul. Seperti halnya hari Jumat sebagai peringatan untuk sama-sama berkumpul di masjid untuk salat Jumat. Setelah lelah bekerja dari Ahad (Wahid), Senin (Isnain), Selasa (Tsalatsah), Rabu (Arba'ah), Kamis (Khamsah), dan mungkin hari Sabtu (Sab'ah).
Salat jamaah memberikan banyak pelajaran bagi kehidupan manusia, salah satunya adalah ketika memilih imam. Biasanya takmir masjid menyusun jadwal imam kepada orang-orang yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu agama. Tidak sembarangan memilih imam karena harus memuat syarat-syarat kepantasan untuk memimpin jamaah.
Menurut Syeikh Wahbah Al-Zuhaily dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuh Al-Shamil Lil-Adillah Al-Shar’iyah Wa-Al-Ara’ Al-Madhhabiyah (Damaskus, 1984) ada sembilan syarat sah menjadi imam yakni; Islam, berakal, baligh, laki-laki (jika ada jamaah laki-lakinya), suci dari hadas dan najis, bagus bacaan dan paham rukun salat, tidak sedang makmum pada selainnya, benar dan fasih bacaan makhraj dan tajwidnya, dan salatnya imam sah menurut mazhab makmumnya.
Namun ada situasi ketika imam pilihan takmir tidak datang ke masjid karena alasan tertentu. Ada kecenderungan makmum mempersilakan seseorang untuk mengambil alih posisi imam. Tidak ada voting atau pemilihan suara dalam forum untuk menentukan pimpinan salat. Semua makmum ikhlas jika imam memang memenuhi persyaratan yang layak untuk menjadi pemimpin.
Menjadi kacau ketika ada seseorang yang percaya diri mengambil alih posisi imam. Alih-alih memenuhi syarat sah menjadi imam, banyak bacaan dalam salat yang jahr (keras) amburadul dari segi makhraj dan tajwidnya. Belum lagi sering melanggar batas rukun-rukun dalam salat.
Imam salat memang pekerjaan yang prestise. Memamerkan bacaan Alquran, menjadi pengatur tempo salat, dan penentu penggunaan mazhab dalam salat. Imam dalam salat menjadi percontohan tentang tutur kata, adab perilaku, dan keputusan dalam mengambil kebijakan.
Baca Juga : Mencari Sosiawan yang Tidak Sosiopat
Musyawarah untuk Mufakat
Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" memiliki makna bahwa kehidupan bermasyarakat dapat berjalan melalui musyawarah dan mufakat untuk mencapai tujuan bersama.
Musyawarah bertujuan untuk mencari kesepakatan bersama berdasarkan hati nurani yang tulus, pertimbangan akal sehat, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Pengamalan sila ke-4 dalam Pancasila untuk membentuk masyarakat yang bisa saling bertoleransi, tidak egois, saling menghargai antar sesama, mengedepankan kepentingan bersama, dan ikhlas menerima keputusan.
Sila-sila dalam pancasila kerap dipahami secara parsial. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menguraikan tentang dasar mufakat, dasar perwakilan, dan dasar permusyawaratan. Baginya, syarat multak untuk kuatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dengan permusyawaratan dan perwakilan.
Ada elemen kerakyatan sebagai pihak yang mengantarkan terwujudkan tujuan negara, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi kerakyatan yang didukung/ didorong hikmat kebijaksanaan, yang juga merupakan buah dari permusyawaratan dan perwakilan, akan mengantarkan rakyat Indonesia kepada kesejahteraan dan keadilan sosial.
Demokrasi menurut sila ke-4 bukanlah demokrasi perwakilan. Perwakilan yang tidak menyeluruh tidak akan menjadi suatu permusyawaratan. Tanpa permusyawaratan, tidak akan hadir hikmat kebijaksanaan. Tanpa hikmat kebijaksanaan, negara hanya akan mendapatkan pemimpin yang pandir. Kerakyatan yang dipimpin oleh kepandiran hanya akan menciptakan kekacauan.
Pemilu adalah ajang deklarasi diri kepantasan menjadi pemimpin. Pesta demokrasi Indonesia tidak lagi mengedepankan kapabilitas tokoh seperti halnya memilih imam salat jamaah. Faktor modal/ kekayaan, ketenaran, dan loyalis partai lebih lenggang untuk menjadi pemimpin.
Makmum biasanya ikhlas diimami oleh mereka yang sungkan karena budaya ewuh-pakewuh. Merasa tidak pantas, meskipun jamaah mengakui kompetensinya dalam ilmu agama. Tidak ngoyo (berambisi) untuk mengharuskan menjadi imam, sampai rela menggunakan cara-cara kotor. Imam atau pemimpin yang ikhlas dan rendah hati akan membuat jamaah menjadi tenang untuk ber-tut wuri handayani.
Pemilihan pemimpin di Indonesia sudah tidak berlandaskan konsep permusayawatan. Banyak di antaranya memilih pemimpin ibarat mengambil kucing dalam karung. Tidak mengenal tokoh yang dipilihnya karena merasa juga tidak mendapatkan dampak atas keterpilihannya menjadi pemimpin daerah atau negara.
Masih jauh sekat antara musyawarah dengan mufakat jika sistem menghendaki motede keterwakilan dalam pengambilan keputusan. Demokrasi tidak begitu universal untuk dinikmati masyarakat yang jauh dari keterlibatan politik. Apalagi ancaman sanksi dan hukuman ketika bersuara di depan publik. Demokrasi akan mati jika pengamalan sila ke-4 tidak diaplikasikan dengan baik oleh negara.
Pernah dimuat di Jurnal Post
https://jurnalpost.com/belajar-kepemimpinan-saat-sholat-jamaah/18584/
0 comments: