Satu setengah tahun sudah Indonesia dihantam pandemi. Kapitalisme gogrok melahirkan jutaan kemiskinan. Pedagang kecil terus membelot dari pantauan polisi agar bisa berjualan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Impian menjadi generasi emas sementara terkubur bersama para jenazah Covid-19. Pemerintah gagap kebijakan, rakyatnya riuh menggunjing.
Ketika para tokoh menggelorakan semangat perlawanan terhadap Covid-19, beberapa sudut daerah sudah mulai mengibarkan bendera putih tanda keputusasaan. Sikap optimisme pemerintah tidak diimbangi dengan aplikasi kebijakan nasional. Sampai bentuk empati menular kepada relawan kemanusiaan yang kecewa dengan penanganan pandemi dari pemerintah.
Untung budaya ekasila (gotong royong) telah terpatri dalam diri masyarakat Indonesia. Meyakinkan bahwa masyarakat bisa hidup tanpa bayang-bayang pemerintahan. Belum lagi skeptisisme pejabat yang korup, mafia kesehatan, hingga ketidakbermoralan politisi menampakkan diri di ruang publik. Keselamatan warga terbantu berkat prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Kita berulang kali diajak perang melawan pandemi. Tapi sampai sekarang tidak pernah diberikan amunisi. Seruan perang hanya dijadikan ornamen kegagahan berpidato. Sedangkan realisasinya adalah memaksa masyarakat bertiarap di rumah masing-masing sampai kematian datang. Hampir seribu orang meninggal akibat isolasi mandiri (isoman).
Belum selesai masalah kebijakan pemerintah yang penuh kritik, narasi hoaks juga menjadi bumbu kecemasan masyarakat melihat kapan pandemi akan berakhir. Sebagian masyarakat yang membelot (tidak percaya Covid-19) dianggap penghambat penyelesaian pandemi. Sedangkan mereka yang taat hanya bisa melihat data jumlah kasus positif dan kematian yang bertambah setiap harinya.
Mati karena Covid-19 atau mati karena kelarapan adalah pilihan bagi mereka yang terdampak langsung pandemi. Penguasaha bangkrut, buruh dipecat, dan keluarga miskin bertambah. Tidak ada penghasilan selain menunggu kematian. Beruntungnya, masih banyak orang baik di luaran sana yang bersedia memikirkan nasib keluarga miskin yang isoman. Memberikan sembako dan menawarkan bantuan kesehatan jika membutuhkan.
Baca Juga : Manusia Butuh Predator
Perang Gaib
Gaib adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Bagi masyarakat awam, Covid-19 hanyalah makhluk gaib yang dipaksa percaya berdasarkan literasi dan data. Virus tersebut dianggap menjadi faktor utama meninggalnya jutaan orang di dunia dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.
Sedangkan mereka yang kurang literasi mengenai Covid-19 akan kesulitan mendeteksi faktor, gejala, dan dampak dari penyintas. Ansomia dianggap flu biasa. Orang Tanpa Gejala (OTG) tetap wajar melakukan aktivitas. Semacam ada kemustahilan penyintas Covid-19 bisa dideteksi ketika biaya PCR dan antigen cukup mahal bagi masyarakat kalangan bawah.
Berhadapan dengan barang gaib hanya butuh kepercayaan seperti keimanan seseorang terhadap konsep beragama. Perang melawan Covid-19 tidak semudah perang melawan penjajah yang bisa dikalahkan dengan “bambu runcing”. Namun ada satu pelajaran mengenai perang mempertahankan kedaulatan bangsa, bahwa siapapun musuhnya harus dilawan, barang gaib pun sekalian.
Masyarakat Indonesia bukan manusia lemah yang menyerah sebelum berperang. Mengibarkan bendera putih adalah bentuk kepengecutan jiwa nasionalis warga negara. Covid-19 harus dihadapi bersama dengan semangat gotong royong. Saling membantu satu sama yang lain. Mengurangi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Menjadi warga yang patuh sampai perang benar-benar dimenangkan.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merefleksikan diri tentang ketidaktahuan terhadap banyak hal. Covid-19 merupakan ranah sains-kesehatan yang sekarang dijadikan garda terdepan melawan pandemi. Sedangkan kita yang jauh dari pengetahuan mengenai virus hanya butuh patuh aba-aba dari mereka yang punya kompetensi terhadap musuh gaib (Covid-19) tersebut.
Budaya Indonesia tidak mengenal masyarakat yang pembangkang. Mereka patuh, taat, dan sopan terhadap perintah. Namun ketika ada penyelewangan, masyarakat Indonesia juga akan berubah menjadi garang. Perang 10 November, Bandung Lautan Api, Puputan Margarana, dan lain-lain adalah bentuk rela mati masyarakat mempertahankan tanah airnya.
Baca Juga : Program Vaksinasi Covid-19, Belajar dari Pandemi Cacar
Menciptakan Ekuilibrium Nasional
Pandemi yang sulit diprediksi kapan berakhirnya menciptakan spekulasi hancurnya ekonomi negara. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 sudah mencapai 27,54 juta orang. Data pengangguran di Indonesia juga bertambah 1,82 juta sejak Februari 2020 hingga Februari 2021. Kompleksitas masalah bangsa Indonesia ternyata bukan hanya tentang penanganan kesehatan masyarakat.
Ada faktor ekonomi yang dijadikan sektor fundamental kemandirian negara mengelola warganya. Ketika pendapatan negara secara jor-joran dialokasikan untuk fasilitas kesehatan (faskes) dan program vaksinasi gratis, pemerintah juga harus menafkahi warga miskin dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan sosial lainnya.
Ketidaktegasan menerapkan lockdown yang diganti konsep Pemberlakuan Pembatasan Kegaitan Masyarakat (PPKM) Darurat adalah inisiatif pemerintah untuk menciptakan ekuilibrium nasional. Butuh keseimbangan antara kesehatan masyarakat sebagai hak dasar konstitusi dan juga kestabilan ekonomi nasional. Setidaknya fokus penanganan keselamatan warga adalah investasi negara untuk tetap bertahan di tengah krisis global.
Namun perlu dicatat bahwa bukan hanya ekonomi dan kesehatan yang membutuhkan titik ekuilibrium. Banyak sektor lain yang butuh perhatian seperti; pendidikan, seni kebudayaan, olahraga, dan lain-lain. Semua bidang harus punya inisiatif perang masing-masing melawan Covid-19. Tidak boleh pasif menerima kenyataan dengan memvakumkan segala aktivitas kegiatan nasional.
Pemerintah harus jeli menentukan kebijakan dan mengalokasikan anggaran demi terciptanya ekuilibrium nasional. Semangat berperang akan berkobar jika pemerintah pantas dijadikan imam oleh masyarakat. Konsisten menentukan kebijakan, totalitas bekerja, dan tidak memperkeruh iklim politik nasional.
Indonesia akan segera bangkit dan keluar dari tsunami pandemi. Kunci keberhasilan berperang adalah konsep ekasila yang digagas oleh Ir. Soekarno. Mengulurkan tangan selagi mampu, agar suatu saat ada yang mengulurkan tangan ketika sedang butuh.
Pernah dimuat di Pikiran Rakyat
https://www.tumbral.com/tag/Pikiran%20Rakyat
0 comments: