Dulu awalnya begitu ragu dengan bahaya Covid-19. Apalagi pemberitaan heboh di televisi tidak benar-benar terjadi di lingkungan terdekat. Bertanya kepada keluarga, kerabat, teman dekat, semuanya sehat. Tidak pernah merasakan anosmia dan sesak nafas hingga membutuhkan tabung oksigen.
Hingga munculnya program vaksinasi di daerah-daerah, banyak masyarakat yang menolak (meskipun gratis). Alasannya, (1) kurang percaya tentang adanya Covid-19, (2) gejala yang ditimbulkan setelah vaksinasi, (3) alasan politik yang memang menentang segala apapun program pemerintah.
Sebelum ramai narasi konspirasi, masyarakat desa sudah tidak begitu takut ancaman Covid-19. Mereka belanja di pasar, pergi ke sawah, dan melakukan kegiatan kumpul-kumpul antar RT. Semua berjalan normal. Tidak ada penularan atau menciptakan klaster baru.
Namun mulai akhir Juni, masyarakat mulai mendiskusikan ganasnya pandemi. Dimulai dari meledaknya jumlah kasus positif dan meninggal dunia, gugurnya para pahlawan kesehatan, hingga beberapa saudara dekat yang sudah terstempel penyintas Covid-19. Lingkungan perusahaan juga demikian adanya. Banyak karyawan yang terpaksa melakukan Isolasi Mandiri (isoman) tanpa mendapatkan upah.
Covid-19 akhir ini membuka mata masyarakat luas tentang bahayanya meremehkan protokol kesehatan (prokes). Tidak harus melihat di televisi contoh tersiksanya penyintas Covid-19 di Wisma Atlet. Bahkan tetangga kita sudah banyak yang meninggal gegara Covid-19. Dikucilkan dari lingkungan sosial dan dimakamkan dengan tidak berbudaya.
Hingga skenario kasus terburuk (40.000 kasus harian) terjadi, masyarakat mulai giat memakai masker dan mengurangi mobilitas. Para pedagang juga taat peraturan pemerintah dengan menutup usaha pada jam tertentu. Budaya masyarakat Indonesia yang santun dan patuh (tidak membangkang) mulai teraplikasi di daerah-daerah pedesaan. Meskipun target vaksinasi untuk menciptakan kekebalan komunitas belum juga tercapai.
Baca Juga : Semangat Perang Gaib
Gotong Royong
Bukan seperti vaksin yang nama dan aplikasinya tidak selaras, konsep gotong royong yang menjadi ekasila bangsa Indonesia sudah mulai dilakukan oleh masyarakat dengan saling bahu membahu membantu sesama. Masyarakat yang jauh dari sifat egois dan individualisme serta senantiasa peduli terhadap kegiatan sosial. Pandemi telah melahirkan kembali watak dan budaya bangsa yang beberapa dekade terakhir hilang dijajah budaya asing.
Tokoh publik, komunitas, perusahaan, hingga masyarakat awam berlomba menawarkan diri membantu saudara-saudara yang isoman. Menyediakan sembako gratis dan diantar sesuai tujuan. Tanpa pamrih, murni solidaritas. Sisi kemanuisaan masyarakat Indonesia tanpa muatan politis dan pencitraan.
Di beranda media sosial, banyak akun yang memberikan jasa sosial, baik dari individu maupun kelompok. Utamanya adalah bagi penyintas Covid-19 dari keluarga yang kurang mampu atau penghasilannya berkurang drastis akibat pandemi. Sebelum ramai kegiatan sosial “bantu penyintas Covid”, masyarakat yang isoman begitu dikucilkan di masyarakat. Tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh berinteraksi dengan warga. Mereka mengalami sakit fisik dan mental.
Keterbatasan satgas dalam melayani para penyintas yang membludak beberapa hari terakhir yang akhirnya menggerakan masyarakat lain untuk melakukan bakti sosial kepada para penyintas di lingkungan sekitar masing-masing. Bahkan beberapa warung makan menyediakan paket khusus gratis bagi penyintas dan siap diantarkan selama stock tersedia.
Kegiatan gotong royong yang dilakukan masyarakat untuk memulihkan kondisi bangsa Indonesia yang sedang loyo sedikit-banyak telah membantu pemerintah mengatasi pandemi. Ketika kas negara dikuras untuk kegiatan vaksinasi dan penyediaan fasilitas kesehatan, masyarakat ternyata masih banyak yang peduli terhadap sesama. Meskipun mereka yang membantu juga merasakan dampak (penurunan penghasilan) yang sama dengan yang lain.
Berharap dan optimistis Indonesia keluar dari masalah pandemi seperti di berbagai negara maju jika masyarakatnya mudah diatur dan punya empati terhadap sesama. Indonesia adalah negara plural yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Mengelola bangsa yang besar harus dengan kesabaran dan perlu kesadaran dari masyarakatnya sendiri untuk sama-sama bangkit dari keterpurukan.
Pandemi sudah banyak memakan korban orang terdekat. Menyiksa keadaan dengan tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang menciptakan kerumunan. Membodohkan masyarakat karena urung membuka kegiatan belajar mengajar (tatap muka). Menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan nasional. Hanya mengharap bantuan dari pemerintah adalah sikap yang tidak solutif di masa sekarang. Setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk membantu harus menunjukan sikap solidaritas terhadap sesama.
Semoga gerakan masif merangkul penyintas Covid-19 menjadi semangat masyarakat yang hampir putus asa akibat pandemi. Satu lidi akan mudah dipatahkan, jika dikumpulkan menjadi sapu akan menjadi kokoh.
Pernah dimuat di Times Indonesia
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/368733/merangkul-penyintas-covid19
0 comments: