CATEGORIES

Di sela pengaburan berita Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali, topik pembungkaman kebebasan berpendapat Badan Eksek...

Jokowi Persuasif, Pendukung Agresif

The King of Lip Service


Di sela pengaburan berita Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali, topik pembungkaman kebebasan berpendapat Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) masih menjadi perbincangan hangat di media sosial. Apalagi isu gerakan mahasiswa dari berbagai kampus terkemuka yang siap melancarkan aksi demonstrasi di tengah pandemi. Alih-alih mereda, buzzer politik malah memanas-manasi isu kebebasan berpendapat dengan narasi kadrun, taliban, dan sebagainya.

Sikap kebablasan pendukung tentu bertolakbelakang dengan pernyataan Jokowi tentang hak konstitusi dasar kebebasan berpendapat.

“Ya saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi, jadi kritik itu boleh-boleh saja dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan.”

Apalagi sebelumnya Jokowi juga memberikan ajakan persuasif untuk mengkritik kinerja kepemerintahan, termasuk lembaga kepresidenan. Publik dibuat berpikir ulang atas penyataan Jokowi yang tidak selaras dengan sikap pendukungnya. Demikian yang dijadikan dalih untuk memberi gelar The King of Lip Service.

Arahan Jokowi tidak lagi didengar oleh pendukung fanatik yang berperilaku anarkis di media sosial. Faktor dendam, marah, kecewa, dan frustasi yang mendorong para pendukung mengabaikan poin kebijaksanaan pemimpin di negara demokrasi yang menghendaki adanya perbedaan. Tindakan agresif terjadi karena hilangnya kendali otoritas yang memberikan patron kepada tindakan fanatisme pendukung.

Jokowi perlu mencontoh tipe kepemimpinan Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam memanajemen basis pendukungnya. Kasus reformasi ’98 adalah kebijaksanaan Soeharto yang lebih memilih mundur daripada terjadi konflik antara pemerintah (militer) dan rakyat (sipil). Kemudian penggulingan Gus Dur sebagai presiden yang menyulut pasukan Berani Mati di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk berperang di Jakarta. Namun sekali lagi, pendukung begitu tunduk dan patuh kepada arahan presiden ketika itu.

Masyarakat saat ini lebih khawatir tentang keterbatasan stock pemimpin (leadership) yang akhirnya menyebabkan kegagapan kontestasi politik tahun 2024. Membangun posko Jok-Pro (Jokowi-Prabowo) sebagai aktualisasi ketakutan kehilangan sosok pemimpin yang diidolai. Meragukan kapabilitas pemimpin muda dengan mengusulkan jabatan presiden 3 kali periode. Namun, seringkali masyarakat tidak pernah khawatir terhadap pendukung yang tidak punya jiwa kepengikutan (followership).

Dibutuhkan analisis mengenai  jumlah atribut yang meliputi motif, kefanatikan, sikap, dan sifat pendukung yang tidak beretika. Sehingga tidak hanya memojokan oposan dan kritikus sebagai objek ketidaksopanan dalam berpendapat di ruang publik. Pendukung pun demikian. Apalagi tuduhan buzzer politik yang tidak melibatkan gagasan berpikir ilmiah ketika mengumbar umpatan di media sosial. Asalkan ada yang mengkritik pemerintah, khususnya Jokowi, mereka langsung bergerak menyerbu sosok tersebut dengan kata dan kalimat yang jauh dari etika budaya bangsa Indonesia.

Percuma ketika dipimpin oleh presiden yang berkualitas, namun tidak diimbangi dengan pendukung yang berkualitas. Pendukung yang tidak memahami kompetensi, visi, inisiatif, dan komunikasi publik. Pengikut dikesankan sebagai suatu entitas yang pasif dalam aspek manajemen kepemimpinan. Tidak punya metode berpikir memahami situasi politik dan menganalisis kebijakan pemimpin selain menunggu arahan.


Baca Juga : Mahasiswa, Bem UI, dan Jokowi

Konsep Kepemimpinan

Setiap manusia diberikan amanah menjadi khalifah di muka bumi. Menurut Quraish Shihab, khalifah mengandung 2 makna (1) siapapun yang diberikan amanah untuk mengelolah suatu wilayah tanpa ada batasan. (2) seorang pemimpin karena ketidakmampuannya dalam mengontrol hawa nafsunya, maka ia akan berpotensi melakukan kesalahan. Sehingga setiap manusia mempunyai potensi menjadi pemimpin meskipun kerap mendeklarasikan sebagai pendukung atau pengikut.

Namun di dalam proses kepemimpinannya, manusia harus mempunyai kecakapan dalam memimpin. Mengendalikan massa, menentukan kebijakan, dan membangkitkan gairah kebersamaan untuk mewujudkan persatuan bangsa. Pemimpin harus mampu mengontrol hawa nafsu demi popularitas dan elektabilitas dengan mengedepankan kapabilitas memimpin basis koalisi dan oposisi.

Dalam khazanah keislaman, pemimpin harus mempunyai bekal sifat siddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas). Tentu ukuran atau standarisasi kepemimpinan tidak absolut mengikat. Media turut berpengaruh menuntun citra pemimpin yang berkualitas atau sebaliknya. Jika pemimpin sudah merasa melakukan kebijakan yang benar, harus disampaikan dengan cerdas agar bisa dipercaya masyarakat.

Kritikan The King of Lip Service adalah sentilan bahwa tidak semua masyarakat mempercayai metode kepemimpinan Jokowi. Di sisi lain, agresivitas pendukung menentang opini sebagian masyarakat dengan melakukan ancaman, tuduhan, dan perilaku represif terhadap kritikus. Pemimpin yang bijaksana tidak butuh aksi pendukung untuk melindunginya. Meskipun dikritik, ia akan tetap menjalankan program yang direncanakan dengan tetap mendengar kritikan. Tujuannya adalah menjadi pemimpin yang bisa memuaskan seluruh masyarakat atau sebagian besar masyarakat.

Fungsi buzzer seharusnya dijadikan sarana komunikasi publik untuk konsolidasi pemberdayaan masyarakat sipil sebagai upaya menampilkan kemampuan menjadi pendukung yang elegan. Menjadi jembatan kritikus dengan pemerintah agar tercipta sinergitas pemimpin dan yang dipimpin. Masyarakat yang mengkritisi pemerintah atau presiden bukan bagian terpisah dari negara, mereka juga butuh perhatian penguasa.

Perilaku pendukung yang mengabaikan etika berkomunikasi politik bisa menurunkan kredibiltas presiden itu sendiri. Memunculkan anggapan pemimpin yang otoriter dan diktator. Mengembalikan masa suram orde baru. Konsep kepemimpinan harus selaras dengan konsep pendukung fanatik dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa. Pemimpin harus bisa mengarahkan pendukung untuk lebih mengedepankan persatuan, sedangkan sementara yang terjadi adalah perpecahan.

Kasus meme The King of Lip Service dari BEM UI harus dijadikan catatan bahwa di balik konsep kepemimpinan yang mengajak masyarakat mengkritik pemerintah telah dibungkam dengan pendukung yang arogan. Mungkin Jokowi adalah presiden yang berkualitas, namun tidak diimbangi dengan pendukungnya yang tidak mengindahkan asas demokrasi kebebasan berpendapat.

 

Pernah dimuat di Kumparan

https://kumparan.com/joko-interisti/jokowi-persuasif-pendukung-agresif-1wPZRrhlmyL/full 

0 comments: