Maraknya peredaran rokok ilegal di tengah masyarakat, pemerintah mengusulkan pemberlakuan kebijakan standarisasi rokok. Peredaran rokok ilegal meningkat dipicu kenaikan cukai rokok pada tahun 2020. Sepanjang 2020, kenaikan peredaran rokok ilegal mencapai 4,9 persen. Pegawai Bea Cukai mencatat kasus barang kena cukai ilegal mencapai 9.014 penindakan. Sebanyak 448,18 juta batang rokok atau senilai Rp270,79 miliar batang berhasil diamankan.
Meskipun ada sanksi tertulis dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, namun peredaran rokok ilegal masih sulit dikendalikan pemerintah. Kampanye “Gempur Rokok Ilegal” juga semakin masif digalakan di berbagai kota di Indonesia. Termasuk usulan kebijakan rokok ber-Standar Nasional Indonesia (SNI).
Kalau ditarik ke belakang, isu larangan merokok sudah muncul sejak lama. Rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya. Rokok juga termasuk produk adiktif yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Tapi kenapa peredaran rokok masih bebas diperjualbelikan di Indonesia?
Eksistensi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kurang terlihat karena hanya terkesan mengawasi dan memberikan rekomendasi atau teguran. Tidak ada sanksi tegas yang terhadap pelanggaran yang dilakukan produsen rokok akibat lemahnya peraturan yang dibuat pemerintah. Seolah produksi rokok dianakemaskan, kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) hanya ditujukan untuk menurunkan prevalensi perokok, terutama usia anak.
Di sisi lain, ada keuntungan negara yang didapat akibat peredaran rokok di tengah masyarakat. Pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2022, pemerintah memperkirakan pendapatan cukai akan meningkat menjadi Rp203,9 triliun atau sekitar 12 persen dari penerimaan cukai 2021 yang diperkirakan mencapai Rp182,2 triliun.
Tentu ada alasan mendasar kenapa pemerintah tidak tegas menghentikan peredaran rokok. Setidaknya ada 3 aspek yang dipertimbangkan pemerintah seperti pengendalian konsumsi rokok, optimalisasi penerimaan anggaran pendapatan negara, dan keberlangsungan tenaga kerja di industri rokok. Belum lagi risiko yang ditimbulkan karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang sulit menghentikan kebiasaan merokok.
Menaikan harga cukai rokok saja sudah banyak diprotes masyarakat, apalagi meniadakan peredaran rokok. Bagi pecandu rokok akan selalu punya dalih untuk melegalkan aktivitas merokok. Alasan kesehatan hanya dianggap retorika permainan bisnis farmasi dan nokotin di perang pasar global. Apapun itu, negara punya hak untuk konsisten melindungi kesehatan warga negaranya, termasuk dari bahaya merokok.
Baca Juga : Rokok Naik, Masyarakat Miskin Tercekik
Paradoksal Kebijakan
Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal, Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merumuskan standar produk hasil pengelolahan tembakau lainnya (HPTL) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Standar Nasional Indonesia (SNI) tersebut tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 63/KEP/BSN/3/2021 tentang Penetapan Standar Nasional Indonesia 8946:2021 Produk Tembakau yang dipanaskan.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, tujuan dari SNI selain memberikan perlindungan terhadap konsumen, juga menjamin perdagangan yang adil dan meningkatkan daya saing. Harapannya, konsumen bisa terlindungi dari dampak risiko akibat produk yang tidak memenuhi standar regulasi.
Namun keputusan tersebut ditentang Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) karena rokok adalah produk substandar yang tak pantas dibuatkan SNI. Instrumen kebijakan untuk melindungi konsumen dari bahaya merokok adalah dengan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok hingga menaikkan cukai rokok yang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan dan UU Perlindungan konsumen.
Kebijakan SNI pada rokok dengan alasan melindungi konsumen adalah sikap paradoks untuk tujuan politik atau ekonomi tertentu. Secara tidak langsung pemerintah mendukung peredaran rokok dan melindungi konsumen rokok yang jelas-jelas berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.
Salah satu misi Direktorat Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal adalah mengembangkan dan memperkuat sistem pengembangan SNI sektor Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal. Unsur halal dalam penerapan SNI rokok patut dipertanyakan dalam kaidah keagamaan.
Melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke-III di Sumatera Barat, ditetapkan bahwa merokok hukumnya haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan kegiatan merokok di tempat-tempat umum. Alasan pengharaman karena merokok termasuk perbuatan yang mencelakakan diri sendiri. Meskipun masih banyak perdebatan mengenai hukum merokok di antara ormas besar Islam di Indonesia, namun kecenderungan ulama mengategorikan hukum rokok antara mubah, makruh, dan haram.
Lalu alasan apa yang mendasari untuk “menghalalkan” rokok jika diterbitkan Standar Nasional Indonesia oleh Direktorat Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal yang di dalamnya menaungi analisis kehalalan produk?
Pernah dimuat Pedoman Rakyat
0 comments: