Interaksi dan komunikasi di masyarakat menghasilkan bentuk informasi dan pengetahun. Saat ini, media digital menjadi corong masyarakat mendapakan informasi sebagai acuan atau referensi memutuskan sesuatu. Ketergantungan terhadap informasi menjadikan media merancang metode pembenturkan opini melalui sistem atau program yang terstruktur.
Manusia modern lebih gampang emosi sebab alogaritma media (khususnya media sosial) mendorong terjadinya kontraksi ideologi yang berujung pada politik identitas. Narasi media mampu melampaui batas spiritual dan etika yang melekat di masyarakat. Bahkan yang konsisten menganut nilai-nilai agama dan budaya malah dianggap konservatif terhadap perubahan zaman.
Teknologi dijadikan kebutuhan dasar manusia melebihi kebutuhan fundamental masyarakat seputar sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Media menembus batas realitas kehidupan manusia yang mengabaikan nilai kemanusiaan itu sendiri. Kapitalisasi media tidak menganut nilai religiusitas, etika dan norma masyarakat, hingga ketidaksadaran menjadi manusia (diri sendiri).
Ketidaksadaran itulah yang membawa manusia dalam kubangan narasi informasi tidak seimbang. Membentuk koloni perang antarsaudara dan pengumbaran kebencian disertai ancaman. Media yang semula dipuja sebagai alat untuk memudahkan komunikasi, sekarang menjadi bumerang menghancurkan tatanan sosial budaya lintas ruang dan waktu.
Kejahatan digital tidak dapat dihindarkan sebab tawaran perilaku kriminal disediakan media. Kasus penipuan, pencemaran nama baik, hingga pengambilan data pribadi secara ilegal marak terjadi di dunia maya. Lebih universal lagi, media menjadi alat untuk mengeruk kekayaan sebanyak mungkin. Pencetus atau pembuat media akan memanfaatkan ketergantungan masyarakat dengan iming-iming modernitas. Selebihnya membuat kolaps bangsa atau negara dengan narasi media yang mengarah kepada sikap iri, kecewa, benci, dan marah.
Emosi masyarakat diatur sedemikian rupa agar tercipta ketidakpercayaan satu sama yang lain. Simbol-simbol yang mengarah pada konflik sering dimunculkan sebagai potret bangsa sedang tidak baik-baik saja. Narasi kebencian dan berita palsu kerap dimunculkan dengan imbalan popularitas, uang, dan kekuasaan. Media begitu telitinya menyasar nafsu/ hasrat manusia yang tidak pernah terbendung. Media berusaha memfasilitasinya sampai semua mati dalam medan pertempuran.
Baca Juga : Menciptakan Planet Baru
Tantangan
Kemajuan teknologi digital yang dibarengi menjamurnya media sosial akan membentuk perubahan struktur sosial budaya di masyarakat. Berdasarkan penelitian Hootsuite (We are Social), data tren pengguna media sosial aktif di Indonesia tahun 2021 mencapai 170 juta penduduk dari 274,9 juta total penduduk. Pasar sedemikian besar memicu motif kapitalisme digital yang muaranya adalah penjajahan ideologi dan perebutan kekuasaan.
Pengaruh besar media sosial telah menyentuh berbagai sendi kehidupan masyarakat. Tidak hanya seputar dunia politik, transaksi ekonomi, sarana seni pertunjukan, hingga metode pendidikan sudah mulai bergantung pada teknologi. Media sosial tidak lagi hanya berfokus pada alat komunikasi digital, lebih jauh lagi akan menjadi raksasa kaptalisme modern dengan meninggalkan sistem-sistem tradisional yang tidak lagi relevan.
Tantangan candu media sosial adalah kurangnya kesadaran terhadap kontrol media. Pelemparan opini sebagai ekspresi penyampaian pendapat akan menimbulkan konflik yang jika didukung strategi media akan menjadi sengkarut di masyarakat luas. Pendapat dari masing-masing individu yang dirawat oleh media akan menjadi opini publik sebagai kekuatan massa untuk membenturkan masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan tokoh tertentu.
Ketika manusia butuh eksistensi, media sosial menjadi sarana yang pas untuk mengekspresikan apapun, kepada siapapun. Alogaritama media sosial mendukung ekspresi kebencian dan amarah dengan kepuasan tanggapan dari banyak orang. Semakin dikenal, seseorang akan semakin aktif meniadakan nilai-nilai kemanusiaan untuk digantikan dengan popularitas. Kebencian mengatasnamakan apapun akan dijadikan alat media untuk “menghancurkan” persatuan dan persaudaraan.
Kapitalisme media akan menjadi penguasa lini kehidupan. Menembus dimensi ruang dalam satu entitas masyarakat global. Tidak ada pemilihan demokratis, keadilan, dan kedamaian bermasyarakat. Media sosial yang semula menjadi teknologi canggih memudahkan komunikasi menjadi momok kapitalisme modern menjajah dunia. Isu mata uang crypto, penciptaan dunia metaverse, hingga mayoritas pekerjaan digital menjadi tantangan negara melawan kapitalisme narasi media.
Masyarakat harus tetap waras terhadap pengaruh narasi media dengan tetap konsisten menjaga persatuan. Kapitalisme hanya tunduk pada ketegasan kebijakan dan kesatuan masyarakat. Menanti pemimpin masa depan Indonesia dalam menghadapi gejolak kapitalisme modern yang lebih kompleks. Harapannya muncul sosok pemimpin yang mengedepankan agenda, bukan retorika semata. Negara sedang menghadapi ancaman penjajahan intelektual tanpa peperangan senjata. Mereka yang terlena akan menjadi budak jajahan teknologi. Mereka yang bertahan akan tetap melawan kerakusan teknologi media menjadi “tuhan” untuk manusia.
Pernah dimuat Teropong Senayan
https://www.teropongsenayan.com/126801-melawan-kapitalisme-narasi-media
0 comments: