Tuhan menciptakan agama agar tercipta kedamaian dan kebahagiaan penghuninya. Manusia diperintah untuk menjadi pemimpin di bumi dengan kapasistas otak yang diberikan. Mengelola dan mengeksplorasi alam untuk bertahan hidup dan menjaga ekosistem di dalamnya. Namun, kekerasan dan peperangan memuturabalikan angan tersebut.
Agama begitu melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Apapun aktivitas selalu dikaitkan dengan peribadahan. Politik agama, ekonomi syariah, dan budaya islami adalah beberapa kampanye yang kerap muncul di lini massa. Menggunakan simbol-simbol agama untuk membenarkan keyakinan dengan perilaku melegalkan kekerasan.
Agama menjadi ruang eksklusif untuk beberapa orang. Hingga puncaknya adalah premanisme agama dengan perilaku anarkisme hingga terorisme. Setidaknya ada 5 alasan yang mendasari kesalahan memahami esensi beragama. Pertama, pola pikir terbelakang yang kerap mengiming-imingi uforia kejayaan masa lampau. Ideologi konservatif disebarluaskan ke ruang publik untuk mempengaruhi pemikiran generasi milenial yang masih labil dalam menentukan pilihan hidup dan keyakinan beragama.
Narasi yang disampaikan seputar khilafah dan sistem kepemerintahan. Sebab itu, ideologi konservatif menghendaki adanya perubahan tata nilai sistem kepemerintahan. Berusaha mengubah dasar negara beserta instrumen di dalamnya. Bernegara diimajinasikan berlandaskan syariah agama agar tercipta keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.
Kedua, gagal menyesuaikan dengan kemajuan zaman yang mengakibatkan kondisi keterbelakangan. Bodoh dan miskin yang membuatnya merasa tertindas dengan mencari kambing-hitam atas kemalangan nasibnya. Biasanya pemerintah dijadikan sasaran utama yang diikuti dengan kelompok-kelompok besar lainnya. Ketidakmampuan menyesuaikan zaman membuatnya putus asa dan melakukan hal-hal ekstrem seperti teror dan aksi bom bunuh diri dengan harapan balasan surga.
Ketiga, takut pada perbedaan. Alasan ini yang menyebabkan aksi intoleranisme menyebar ke berbagai daerah. Menyerang umat-umat agama lain, bahkan menyerang yang seagama namun berbeda ideologi atau aliran. Ketidakrelaan melihat persatuan (kedamaian) yang dirusak dengan memancing isu konflik agama menyebabkan kekerasan atas nama agama masih sering terjadi.
Perbedaan dianggap ancaman yang menganggu kelanggengan ideologi atau aliran kelompoknya. Menghendaki atau memaksa untuk sama adalah keniscayaa terciptanya konflik. Intoleran terjadi sebab keterbatasan ilmu pengetahuan (wawasan) memahami agama secara kompleks. Bahwa banyak kebenaran yang diyakini setiap orang. Menuntut sama, berarti menuntut perselisihan.
Keempat, hilangnya sikap empati. Kalau simpati hanya berupa ungkapan (basa-basi) memberikan semangat dan turut berduka cita, empati lebih punya kesadaran ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Demikian yang selalu dihidupkan dalam lingkungan pondok pesantren tentang hakekat memanusiakan manusia.
Ketiadaan sifat dan sikap empati membuatnya tidak peduli pada kepentingan bersama. Menyebabkan sikap egoisme dan kesombongan diri sebab keringnya perasaan dan hati nurani. Egoisme ditunjukan dengan keinginannya hidup bahagia sendiri. Merasa paling benar sendiri. Acuh tak acuh pada pilihan hidup orang lain. Berbeda berarti dilawan.
Terakhir, taklid buta dan fanatisme berlebihan. Dampaknya adalah kehilangan nalar logis dan kematian nurani. Tidak meliha kejadian atau permasalahan secara objektif. Sehingga kebodohan semakin tampak diperlihatkan. Agama malah menjadi candu manusia untuk berkembang sebab ketidakmampuan memahami ajaran. Agama terlihat kaku dan kering kerontang.
Kebodohan umat yang dipenjara pada ideologi konservatif dan nilai-nilai fanatisme malah menjadi alasan rusaknya agama. Pemeluk agama harus sering kontemplasi diri daripada menuduh faktor eksternal yang dianggap menjadi penyebab konflik agama. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan berpikir luas agar tidak mudah dibodohi dengan simbol atau ornamen yang mengatasnamakan agama sebagai barang dagangan dan alat berpolitik praktis.
Umat agama harus bisa lepas dari belenggu penindasan. Melepaskan dari penderitaan konflik seputar perbedaan cara pandang memaknai agama. Umat beragama harus semangat belajar agar menjadi cerdas dan kritis. Muaranya adalah terciptanya keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan dunia akhirat.
Semua punya peran mengentaskan masalah klasik umat beragama. Pemerintah harus bijak menentukan aturan bernegara. Penegak hukum harus bersikap adil mengatasi tidak kriminal. Sistem pendidikan harus keluar dari penyusup narasi ideologi fundamentalis yang punya motif memecah belah bangsa. Masyarakat juga harus menjadi filter kematangan beragama agar tidak mudah terprovokasi dan diintimidasi ajaran yang punya tendensi menciptakan konflik.
Agama menjadi bahasan paling sensitif dan mudah untuk menimbulkan konflik. Kesadaran, wawasan yang tinggi, dan kedewasaan bersikap merupakan langkah mendasar terhindar dari konflik agama. Jika masih bodoh beragama, maka ancaman konflik dan peperangan akan selalu menjadi isu yang akan dibahas di forum formal maupun informal.
0 comments: