Di tengah invansi Rusia ke Ukraina, isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode menjadi tajuk pemberitaan beberapa hari ke belakang. Ketika dunia sedang khawatir menghadapi ancaman perang dunia ketiga, politik domestik sibuk mengotak-atik undang-undang melenggangkan Jokowi kembali menjadi presiden.
Euforia reformasi ‘98 belum diimplementasikan oleh pemerintah dengan baik selain mereduksi demokrasi dan menggantinya dengan sistem oligarki. Nasib masa depan bangsa ada di tangan pimpinan partai politik dan pejabat elite yang saat ini berkuasa. Penolakan penambahan masa jabatan oleh Jokowi dianggap basa-basi melindungi konstitusi ketika kekuatan koalisi partai aktif menjilat kekuasaan.
Sedangkan di dunia sedang riuh memperdebatkan invansi Rusia ke Ukraina. Rusia menjadi sasaran kekuatan dunia yang disutradarai Amerika Serikat untuk mencekal seluruh aktivitas yang mengatasnamakan Rusia. FIFA dan UEFA memboikot Rusia dalam semua ajang turnamen sepakbola, perdagangan ekonomi dihentikan di beberapa negara, hingga penjegalan pasokan militer ke Rusia.
Di Indonesia, beragam pendapat muncul menanggapi invansi Rusia yang sudah menewaskan 752 warga sipil Ukraina per 2 maret 2022 (sumber: United Nations). Beberapa ada yang membandingkan sikap NATO terhadap invansi Israel ke Palestina. Siasat menyebar hoaks presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang dulunya seorang pelawak. Ada juga faktor keterlibatan Amerika Serikat yang sejak kasus Edward Snowden (2013) masih menimbulkan ketegangan di antara kedua negara super power tersebut.
Perang di Ukraina merupakan fragmen kecil dari konspirasi besar elite global. Menunjukan eksistensi dan kedigdayaan untuk menguasai dunia. Menciptakan sistem teknologi digital untuk mengatur masyarakat dunia agar tunduk pada kekuatan kapitalis. Menghancurkan masa depan masyarakat yang sudah bergantung pada “perangkap” konglomerat global. Oligarki tidak lagi membatasi sistem ketatanegaraan ketika dunia metaverse sudah di depan mata.
Rusia yang juga didukung China sebagai negara adidaya menentang keangkuhan Amerika Serikat dan sekutunya. Kemudian menjadikan Ukraina sebagai tumbal kebencian global dengan menciptakan narasi negatif di media massa terhadap Rusia. Provokasi negara lain dan retorika presiden Ukraina yang kemudian menjadikan perang akhirnya nyata terjadi.
Baca Juga: Me-Timur Tengahkan Indonesia
Representasi Presiden Milenial
Mengabaikan strategi politikus untuk menunda pemilu dan mengusulkan penambahan masa jabatan presiden, pemilihan presiden tahun 2024 menjadi representasi pilihan dominan masyarakat milenial. Melihat kasus perang di Ukraina, mayoritas warganet Indonesia malah berada di pihak Vladimir Putin. Dalam pandangan publik, popularitas Putin meningkat meskipun narasi tokoh antagonis diangkat terus-menurus di media barat.
Kejadian ini menandakan adanya perubahan pola selera pilpres tahun 2024 yang meninginkan presiden dengan karakter yang kuat, memahami peta geopolitik, dan punya latar belakang militer. Indonesia diramalkan akan kembali pada era presiden Ir. Soekarno yang mampun menjadi pemimpin di belahan dunia wilayah selatan. Pilpres tahun 2024 akan dipengaruhi bayang-bayang Putin dalam insepsi karakter calon presiden idaman masyarakat milenial.
Dalam peta politik dalam negeri, elektabilitas Jokowi juga kerap menjadi pertanyaan meski masih mendapat dukungan tertinggi (20,8%) dalam survei Indikator Politik yang dilakukan pada 6-11 Desember 2021. Banyak simpatisan Jokowi menyesalkan beberapa kebijakan pemerintah dari UU Cipta Kerja, UU KPK, hingga praktek “nepotisme”.
Sosok Putin akan menjadi magnet pilihan presiden berikutnya. Masyarakat tidak lagi membutuhkan presiden yang merakyat dan penuh retorika. Masyarakat membutuhkan presiden yang tegas dan berani melawan oligarki dan kapitalis global. Putin memberikan contoh ketegasan pemimpin dalam menghadapi penjajahan modern melalui sistem dan kecanggihan teknologi.
Meskipun berisiko terjadi krisis akibat sanksi ekonomi dan keuangan dari Amerika Serikat dan sekutu NATO di Eropa, manuver Putin membuka mata dunia tentang kongsi negara sekutu untuk menguasai dunia. Ketika media mengangkat isu Ukraina beridiri sendiri menghadapi invansi Rusia, saat ini Rusia malah berada di posisi sebaliknya.
Masyarakat butuh pemimpin yang mendunia, bukan hanya populer di negaranya sendiri. Jokowi memang punya kapabilitas komunikasi politik dan jeli menentukan kebijakan yang strategis. Namun belum cukup menujukan sikap kepemimpinan di mata dunia. Jokowi masih terlalu “mengemis” investasi terhadap asing dan gamang ketika ada indikasi pencekalan dari luar negeri.
Jokowi terlalu berfokus pada kepentingan ekonomi (pemulihan ekonomi pascapandemi) dan investasi, namun tidak dengan kematangan kepemimpin seputar politik global. Buktinya sikap ragu-ragu pemerintah antara asas politik bebas aktif dan kepatuhan terhadap hukum internasional. Indonesia tidak punya kekuatan di mata dunia seperti Rusia di bawah komando Vladimir Putin.
Apapun yang terjadi di tahun 2024, manuver Putin menjadikannya opsi pilihan karakter kepemimpinan di Indonesia berikutnya. Presiden yang membawa negaranya disegani dan berani melawan dengan risiko mengorbankan ekonomi, militer, olahraga, dan lain sebagainya. Selanjutnya, siapakah “Putin” pada pilihan presiden tahun 2024?
Pernah dimuat Suara Jelata
https://suarajelata.com/2022/03/22/opini-perang-ukraina-dan-pilpres-2024/
0 comments: