Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kemajuan teknologi menjadi inovasi baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Perlu diakui, pendidikan nasional banyak mendapat kritik karena tidak bisa memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Semantara banyak praktisi dan akademisi memprediksi potensi Indonesia bakal segera menjadi negara maju dalam beberapa tahun ke depan.
Aktualisasi kurikulum yang tidak relevan dengan tahap usia anak didik dan sistem pengajaran yang feodalistik menjadi faktor sulitnya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Terapan hafalan materi, budaya kompetisi, dan intervensi politik terhadap mekanisme birokrasi pendidikan menjadi masalah yang masih susah untuk diuraikan.
Sekolah belum mampu memfasilitasi anak didik untuk mencari ilmu, mengolah kreativitas, dan menata kepribadian. Dampaknya, banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan kesulitan mengembangkan potensi diri untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan beberapa di antaranya melihatkan sikap amoral di masyarakat. Anak didik masih kesulitan melihat peluang pasar dalam mengembangkan minat dan bakatnya, selain dituntut menjadi manusia yang patuh dan tunduk pada sistem.
Pendidikan nasional masih dibayangi mindset industrialisasi yang menghendaki anak didiknya menjadi pegawai atau karyawan di salah satu perusahaan daripada mencari peluang mengembangkan usaha sesuai minatnya. Sementara iklim kompetisi di dunia pendidikan mengajarkan sikap saling mengalahkan untuk mencapai keberhasilan, meski dengan risiko mengorbankan nilai-nilai sosial budaya.
Secara tidak sadar, pendidikan saat ini menempuh jalan penyeragaman pengetahuan, gaya hidup, dan kepatuhan yang sama. Kapasitas memori otak manusia dijejeli dengan pengetahuan dengan metode hapalan tanpa pelatihan dan kreativitas individu. Ketidakpedulian masyarakat terhadap mutu pendidikan mengakibatkan pembiaran kebodohan dan kebobrokan kualitas kecerdasan manusia. Mewajarkan sistem pendidikan hanya sebagai syarat formlitas menghibahkan diri pada industri dan kapitalisme.
Kesempatan memanfaatkan bonus demografi disia-siakan dengan sistem pendidikan yang kolot dan miskin inovasi mulai dari penerapan kurikulum, pembentukan aturan, hingga teknik ajar guru. Sementara reformasi pendidikan nasional butuh waktu dan metode yang sistematis agar bisa mengubah budaya pendidikan yang sudah mengakar di Indonesia.
Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan di Indonesia
Inovasi
Beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan menjadi pengajar di salah satu startup edutech. Melakukan pendidikan (bimbingan belajar) secara daring atau online. Kegiatan seperti ini populer sejak pandemi, bukan hanya keperluan pendidikan informal, melainkan juga dalam sistem kurikulum pengajaran pendidikan formal (sekolah).
Kesadaran penggunaan gawai dalam belajar dan adaptasi pendidikan tanpa “tatap muka” mengasah guru melakukan inovasi pengajaran. Menciptakan budaya pendidikan baru tanpa terikat aturan sekolah namun tetap fokus dan konsentrasi belajar. Guru dituntut berkreasi membuat inovasi pembelajaran yang tidak membosankan.
Sementara materi, bahkan soal dan jawaban sudah banyak tersedia di internet yang kalau peserta didik aktif belajar via daring bisa menemukan sendiri pengetahuannya. Materi buku bukan lagi menjadi barang mewah yang “wajib” dibeli ketika guru malas melakukan invosi pengajaran tanpa memberikan soal ujian dari hasil plagiat di internet.
Beberapa kali saya melakukan pembahasan soal ujian selama bimbingan belajar online, soal pilihan ganda pun banyak yang mencuplik dari internet. Sementara banyak anak didik yang kesulitan menjawab pertanyaan karena tidakcakapan menguasai hapalan materi yang dijejeli dari berbagai mata pelajaran. Sedangkan hanya sedikit di antaranya yang diajari memahami materi atau mengnalisis kasus.
Kebuntuan inovasi mengajar guru, kekakuan kurikulum pendidikan, dan kaburnya orientasi pembelajaran menciptakan kegagalan mengimplementasikan tujuan konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Peserta didik hanya dituntut mendapat nilai bagus tanpa ada tanggung jawab memikirkan masa depan anak mengenai hasil pengetahuan yang didapat di sekolah.
Di sisi lain, kesejahteraan guru yang masih sering mendapat sorotan memungkinkan prioritas mengajar di sekolah sedikit diabaikan dan memilih memfokuskan pada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Dampaknya tentu pada kualitas kecerdasaan siswa yang secara tidak langsung berimplikasi pada tindakan amoral hingga kriminalitas di masyarakat.
Pendidikan adalah pondasi utama negara bangkit dari ketertinggalan. Berpartisipasi pada produktivitas ekonomi dan pengembangan bisinis dengan memanfaatkan kecerdasan intelektual. Tantangan majunya teknologi informasi harus relevan dengan mutu kualitas pendidikan nasional. Agar masyarakat adaptif menghadapi goncangan ekonomi global dengan terus berkreasi dan berinovasi sesuai minat dan bakatnya.
Guru juga harus punya tanggung jawab memberikan pengajaran yang inovatif di media daring. Bagaimana menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan tanpa tekanan dan tuntutan yang berakibat pada tingkat stres anak didik. Selain juga memasukan nilai-nilai moralitas sebagai jalan merevolusi kebudayaan yang mulai banyak ditinggalkan.
Itulah yang sering saya terapkan dalam sistem mengajar secara daring. Meski bukan berasal dari lulusan keguruan, nyatanya siswa tertarik dengan metode pengajaran yang membuatnya antusias untuk bertemu dan belajar. Hasilnya adalah pencapaian nilai tinggi di kelas dan menguatnya nilai moralitas di lingkungan masyarakat.***
0 comments: