“Perbedaan adalah berkah”, demikian yang selalu dijadikan tameng mengatasi potensi konflik sosial. Bahwa perbedaan akan menciptakan keindahan dan menjadi semboyan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika. Namun menurut Amy Gallo, perbedaan tidak otomatis menghasilkan sesuatu yang positif sebab seringkali berujung pada konflik. Konflik bisa dalam bentuk konfrontasi langsung maupun pasif dalam bentuk keenggenan berkomunikasi.
Konflik memiliki dimensi metafisis yang melampaui analisis praktis. Konflik bisa dianggap sebagai simbol bahwa perpecahan adalah suatu keharusan. Setiap manusia perlu memasuki diskusi dengan orang-orang yang berbeda dengan pikiran terbuka. Membebaskan diri dari siapapun lawan bicara dan apapun bentuk argumennya.
Ada beberapa sumber konflik yang terjadi, (1) konflik di tataran substansi, perbedaan pandangan mengenai isi dari tugas atau persoalan yang ada di depan mata. (2) konflik di tataran relasional, tidak menyukai orang yang lain sebab karakter atau sikapnya mengenai masalah tertentu. (3) konflik di tataran perseptual, melihat satu masalah yang sama dari sudut pandang yang berbeda.
Penyelesaian konflik di zaman modern tidak semudah menggunakan metode kuno dengan berdialog atau bermusyawarah. Saat ini, dunia tidak sedang pada kehidupan yang rasional dengan prinsip hidup yang argumentatif. Kevalidan data dan keakuratan analisis suatu masalah tidak serta merta menyadarakan seseorang di pihak yang bersebrangan untuk mengakui kesalahan.
Media sosial mendukung eksistensialisme manusia senantiasa bersikap egois tentang klaim kebenaran. Mengedepankan emosi kebencian dan kemarahan daripada menerima kebenaran. Permintaan maaf menjadi sesuatu yang tabu. Fitnah dan adu domba dijadikan cara merebut kekuasaan dengan cara menciptakan konflik di tengah masyarakat.
Akar konflik terjadi karena kesempitan berpikir dan cara pandang yang konservatif. Kesempitan berpikir menciptakan perilaku diskriminasif, radikalisme, dan terorisme. Kecenderungan untuk memutlakan kebenaran atas pandangan sendiri dan menolak untuk menerima kebenaran dari sudut pandang orang lain menandai kurangnya empati. Selalu merasa benar meskipun tidak berpijak pada akal sehat dan realita yang ada.
Konflik sosial merupakan bagian dari bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lainnya di dalam masyarakat. Biasanya ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik terjadi tidak hanya untuk mempertahankan hidup (eksistensi), melainkan juga bertujuan sampai ke tahap pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan.
Baca Juga : Nasib Pers dan Literasi Indonesia
Dampak Rendah Literasi
Banjir informasi memuat manusia kekurangan waktu dan tenaga untuk melakukan kontemplasi diri. Informasi hanya sekumpulan fakta tanpa menjadi pengetahuan. Informasi perlu menjadi ilmu untuk dikelola menjadi sebuah kebijaksanaan. Masa depan manusia ditentukan oleh keterbukaan berpikir manusia.
Sindirian terhadap kenyataan masyarakat yang rendah literasi bukan hanya berkaitan dengan aktivitas membaca buku. Media menyajikan berbagai referensi bacaan untuk dijadikan informasi sebelum anarkis mengekspresikan emosi di ruang publik (media massa). Masyarakat perlu menyadari bahwa malas membaca dan mencari informasi membuat konflik semakin sulit diatasi. Apalagi ketika menyadari kesalahan mengimplementasikan informasi tidak disertai dengan klarifikasi dan introspeksi diri.
Kurangnya informasi sebab rendahnya literasi menjadikan manusia bersikap bebal. Kebebalan kemudian menciptakan kesalahan berulang dan memperparah konflik yang sedang terjadi. Manusia bebal akan terjebak dalam kebodohan dan melahirkan kejahatan. Perkataan dan perilakunya seringkali mengacaukan tatanan sosial dan cenderung menjadi provokator untuk melihat konflik yang lebih besar.
Rendah literasi juga dipengaruhi karena pesatnya perkembangan teknologi. Manusia cenderung malas karena difasilitasi media dan membanjirnya informasi. Mempercayai hoaks melalui sebuah judul artikel tanpa membaca isinya. Membagikan ke berbagai jaringan media dengan motif mengajak banyak orang ikut mendukung keputusannya.
Kebencian dijadikan variabel primer dan kebenaran informasi hanya menjadi ornamennya. Menjamurnya berbagai ideologi politik dan agama semakin memperkeruh konflik di masyarakat. Antarkelompok tidak berkenan menghibahkan diri untuk menerima informasi dari kelompok lain. Sehingga kemauan berliterasi hanya di lingkup informasi kelompoknya. Pebedaan semakin kentara terlihat.
Berliterasi tidak hanya berbicara jumlah orang yang berkunjung ke perpusatakaan atau seberapa banyak jumlah orang yang membeli buku. Literasi adalah budaya membaca dan berpikir sebelum bertindak. Keengganan membaca akan berpengaruh terhadap kepasifan otak mengolah informasi. Ternyata membanjirnya informasi tidak berkorelasi dengan kebiasaan membaca masyarakat. Akibatnya kerap muncul konflik yang jika dikelola akan menjadi tindakan yang destruktif yang menggangu tatanan sosial masyarakat.
Konflik di media sosial banyak terjadi karena rendahnya literasi terhadap informasi. Mempercayai hoaks dengan landasan kebencian terhadap seseorang atau kelompok yang dianggap musuhnya. Euforia konflik menjadi gairah tersendiri berlindung di balik demokrasi dan hukum asasi. Tidak butuh lagi persatuan, selain keinginan terwujudnya perpecahan dan kekacauan.
0 comments: