Kritikan keras Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang menyebut Jokowi sebagai presiden The King of Lip Service menuai berbagai tanggapan di media sosial. Politisi, aktivis, dan akademisi juga melontarkan pendapatnya mengenai petisi tersebut yang dilandaskan pada pernyataan presiden Jokowi yang tidak sesuai dengan realita di lapangan.
Jokowi dianggap presiden yang kerap mengumbar janji tapi seringkali diingkari. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan lain sebagainya. Indikasi selanjutnya ketika Jokowi menolak jabatan presiden selama 3 periode, namun pendukungnya banyak yang menginiasi berdirinya relawan Jokpro 2024 (Jokowi-Prabowo).
Kemuakan mengenai kata-kata manis politisi dan pejabat negara yang akhirnya memunculkan petisi The King of Lip Service sebagai bentuk kritik terhadap para politisi yang kerap mengumbar janji saat kampanye. Politik Indonesia sudah mengalami krisis kepercayaan di tataran intelektual muda (mahasiswa) dan masyarakat umum yang terkena imbas dari sikap anarkisme kebijakan kabinet Jokowi.
Jika sebelumnya Jokowi mendorong masyarakat untuk aktif melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, seharusnya petisi BEM UI bisa dijadikan pembelajaran tetang etika komunikasi politik di depan publik. Meskipun tanpa mengabaikan faktor kompleksitas persoalan negara yang semakin runyam sejak pandemi.
Namun kritikan BEM UI tersebut malah berujung pemanggilan pengurus BEM oleh pihak rektorat UI. Hal itu terlihat dari surat nomor: 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 yang ditandatangani oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra. Pihak kampus meminta klarifikasi tentang sematan Raja Pembual yang sempat trending di Twitter tersebut. Pemanggilan pengurus BEM UI seolah menjadi alarm tentang batasan kebebasan berpendapat, khususnya bagi mahasiswa.
Baca Juga : Dunia Ketersinggungan
Mahasiswa
Sejarah reformasi tidak lepas dari gerakan masal mahasiswa dalam “mengkudeta” Soeharto. BEM sebagai fasilitator dalam menjaring aspirasi mahasiswa menjadi tonggak perlawanan terhadap pemerintahan yang otoriter dan diktator era orde baru. Semangat bergerilaya BEM yang melecut mahasiswa mengumandangkan mars Totalitas Perjuangan di sepanjang jalan.
Mahasiswa berperan sebagai agent of change dalam menggerakan perubahan menuju tatanan masyarakat yang adil. Selain itu juga berperan sebagai agent of control yang mengontrol kehidupan sosial dan penegakan hukum. Selainnya berperan sebagai moral force (penguat moral bangsa), guardian of value (penjaga nilai), dan iron stock (penerus dan harapan bangsa).
Mahasiswa butuh ruang berekspresi menyampaikan gagasan terhadap fenomena politik di Indonesia, termasuk kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang menyeleweng dari koridor UUD 1945. Pemerintah harus memberikan kebebasan beropini (kritik atau saran) mahasiswa untuk menciptakan sinergitas pemerintah dan rakyat. Bukan malah membungkam suara mahasiswa yang dikomandoi BEM karena dianggap mengancam kestabilan politik dalam negeri.
Usia muda dengan gairah dan semangat pemberontakan perlu difasilitasi pemerintah agar aspirasi mahasiswa bisa didengar, syukur bisa mengubah arah kebijakan yang dianggap keliru. Mahasiswa bukan kaum oposan yang dianggap musuh pemerintah. Mereka hanya memperjuangkan peran dan eksistensi mahasiswa di hadapan publik mengenai kondisi politik dan sosial.
Baca Juga : Ironi Penghapusan Pelajaran Pancasila
Personal dan Lembaga
Dalam draft Rancangan Undang-Undang KUHP yang sedang digodok pemerintah dan DPR, terdapat pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang masih menjadi polemik di masyarakat. Dalam pasal 219 yang mengatur tentang meme presiden di media elektronik atau media sosial bisa dikategorikan pelanggaran pidana apabila dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden.
Meme The King of Lip Service bisa saja dijadikan delik hukum sebagai kasus penghinaan terhadap presiden. Batasan kritik dan penghinaan dalam RUU KUHP masih dianggap lemah yang memunculkan istilah pasal karet untuk menjerat siapapun yang bersebrangan dengan pemerintah. Proses itulah yang mengecewakan banyak pengamat tentang sikap otoriter penguasa.
Harus ada sekat antara dimensi personal dan lembaga. Penghinaan hanya mungkin dijadikan delik apabila menyasar terhadap personal tokoh yang menimbulkan dampak fisik, psikis dan sosial-ekonomi. Sedangkan kritikan bahkan penghinaan terhadap institusi atau lembaga harus diberikan kebebasan sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan yang mempunyai pengaruh langsung terhadap masyarakat.
Presiden atau kepresidenan adalah lembaga tinggi negara yang terdiri dari presiden dan wakil presiden. Kemudian dalam proses pemerintahannya menyusun kabinet yang dibantu para menteri dalam menjalankan pemerintahan. Presdien memegang amanah kekuasaan eksekutif dan menjadi simbol resmi negara. Sedangkan Jokowi adalah tokoh (personal) yang diberikan amanah menjadi presiden RI.
Negara yang menganut asas pokok demokrasi harus mengedepankan peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Setiap warga negara memiliki hak untuk turut andil dalam proses pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Rakyat juga mempunyai hak mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap sejalan dengan tujuan negara berdasarkan UUD 1945.
Setiap warga negara mempunyai persamaan hak di depan hukum. Pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman dan melindungi hak asasi manusia dari tiap warga negaranya. Pemerintah juga harus memperlakukan rakyatnya secara adil tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongannya. Tidak boleh ada indikasi pemerintah membela koalisi dan menghukum oposisi.
Pernah dimuat di Times Indonesia
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/361044/mahasiswa-bem-ui-dan-jokowi
0 comments: