Pada tanggal 31 Maret 2021, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang telah diundangkan. PP tersebut diteken Presiden Jokowi yang mengatur beberapa hal terkait pendidikan dan kurikulum nasional.
Dalam PP tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan mata pelajaran Pancasila. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Komisi X menyayangkan bahwa PP tidak secara eksplisit menjelaskan tentang kewajiban pelajaran Pancasila di lingkup pendidikan formal.
Ketentuan penghapusan Pancasila tertuang dalam pasal 40 ayat (2) dan (3) tentang kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah, hanya wajib memuat mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, seni dan budaya, serta muatan lokal.
Sementara Pasal 40 Ayat (3) mengatur kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Padahal sebelumnya dalam pasal 35 ayat (5) UU Nomor 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Penghapusan pendidikan Pancasila sejak diberlakukan UU Sisdiknas 2003 menyebabkan generasi muda Indonesia paskareformasi mulai kehilangan pedoman penting dalam hidup terkait dengan pendidikan karakter, moral, agama, dan nasionalisme.
Dampaknya adalah sikap mereduksi Pancasila dengan nilai-nilai asing. Mudah didoktrin dan cenderung fanatik untuk melawan Pancasila. Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan bahwa generasi milenial sangat rentan terpengaruh narasi radikalisme di media sosial sebagai inkubator penyebaran ideologi. Bahkan menurut survei BNPT pada bulan April 2021 menyatakan bahwa 80% generasi milenial rentan terpapar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menginginkan Pancasila dijadikan mata pelajaran wajib di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Harapannya agar generasi mendatang bangsa Indonesia bisa menerima perbedaan (toleransi) dan memahami makna hidup berdampingan satu sama lain meski berbeda suku agama dan ras.
Sebagai dasar negara, Pancasila dapat dimaknai sebagai ideologi, cita-cita, dan tujuan negara. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila mengandung makna bahwa segala kegiatan sehari-hari harus menganut dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang bersumber dari histori kehidupan bangsa Indonesia sendiri.
Pancasila mengajarkan pengembangan sikap hidup, etika, dan integritas kebangsaan dan kenegaraan bagi siswa atau mahasiswa. Membangun sikap terhadap nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial. Semua dimanifestasikan dan diaktualisasikan melalui butir-butir Pancasila.
Sungguh ironis apabila Pancasila tidak dijadikan mata pelajaran wajib dalam sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia yang menganut ideologi Pancasila. Lunturnya sikap nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan pada generasi milenial ditengarai karena berkurangnya ajaran Pancasila di dunia pendidikan.
Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan Indonesia
Blunder Nadiem Makarim
Tahun lalu lembaga survei Indo Barometer dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, menempatkan Nadiem Anwar Makarim menjadi menteri terbaik kedua setelah Prabowo Subianto dalam kabinet Indonesia Maju. Meraih 16,3% dari total responden, Nadiem dipilih karena kepintarannya, mampu meningkatkan pelayanan pendidikan, cara kerja yang baik, banyak terobosan program, serta muda dan berbakat.
Namun di balik itu, Nadiem kerap mendapat sorotan dari media nasional karena kebijakan nonpopuler seperti Pembayaran SPP via GoPay, wacana belajar daring secara permanen, kerjasama dengan Netflik hingga Program Organisasi Penggerak (POP) yang sempat ditolak oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Jokowi menunjuk Nadiem dalam kementerian kabinet Indonesia Maju karena dianggap memahami pengelolaan dan penggunaan Internet of Things (IoT), kecerdasan artifisial, hingga big data. Jokowi berharap Nadiem mampu meningkatkan peran teknologi dalam dunia pendidikan untuk menciptakan efisiensi, kualitas, dan kelancaran sistem administrasi pendidikan di Indonesia.
Pada reshuffle pertama kabinet Indonesia Maju, Nadiem terselamatkan meski banyak yang memprediksi ia akan ikut “tereliminasi”. Bahkan survei Indonesia Political Opinion (IPO) menunjukkan nama Nadiem berada di urutan atas deretan menteri yang diminta diganti setelah 100 hari program kerja Kabinet Indonesia Maju.
Namun isu reshuffle kembali mencuat ketika ada rencana peleburan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (kemenristek). Para pengamat meyakini Nadiem tidak akan lolos lagi dari reshuffle kedua kabinet Indonesia Maju. Alasannya adalah kebijakan Nadiem yang dianggap biasa, beserta kebijakan kontroversial selama menjabat sebagai mendikbud.
Di tengah isu intoleransi dan terorisme, penghapusan pelajaran Pancasila mungkin menjadi sinyal perpisahan Nadiem Makarim dengan kabinet Indonesia Maju. Menjelaskan kepada publik bahwa reshuffle yang dilakukan Jokowi memang tepat karena blunder yang dilakukan Nadiem sendiri dalam menyusun kebijakan pendidikan nasional.
0 comments: