“Ingkang kaserat piyambak saderengipun gerah, kados ing ngandap puniko. Sarehing tindakipun manungsa sampun boten cocok kaliyan dhawuhipun Gusti Allah, ingkang kapacak wonten ing sadaya kitab ingkang ungelipun makaten:
Tresna maring sapadha padhaning tumitah dikaya tresnane marang awake dhewe. Lah sumangga anggenipun sami ngraosaken. Amila saking punika, jaman ingkang badhe kalampahan. Sarenging manungsa tindakipun sampun boten gadhang perikamanungsan. Badhe wonten pambersihan ingkang langkung ageng tinimbang ingkang sampun.” (Soemodidjojo, 1965)
Sebuah pesan dari Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat. Meski saya sebagai seorang muslim selalu diperingatkan tentang tidak bolehnya mempercayai ramalan, tapi keadaan yang memaksa untuk kembali merenung tentang sebuah kejadian besar yang sedang atau akan terjadi. Bukan hanya tenang serat, kidung, atau primbon, bahkan Alquran pun memuat perihal ramalan masa depan yang selalu sesuai dengan perkembangan peradaban.
Di tahun 2020, begitu banyak kejadian-kejadian yang tidak terkira. Dimulai dari beberapa bencana alam di awal tahun. Meletusnya 21 gunung berapi secara serentak yang kemudian dibantah BNPB sebagai kebetulan semata. Kemunculan eyang semar dalam wujud kepulan asap di Gunung Merapi yang sempat diabadikan seorang warga. Solo sebagai “paku nusantara” mengeluarkan ribuan cacing di pusat kota. Hingga bencana besar pandemi Covid-19.
Di tahun 2021, bencana kembali menggelora di awal tahun. Iklim politik mulai stabil, namun tidak dengan rakyatnya yang dibuat geram dengan kasus PHK, potongan gaji (tidak ada kenaikan UMR), hingga kasus perceraian yang meningkat pesat. Terorisme mulai muncul dari gorong-gorong ketidakadilan dan politik identitas yang masih kentara di kanal-kanal media sosial.
Mengenai Ismoyo atau Eyang Semar atau Bodronoyo, sejenak saya kembali mengingat kisah Sabdo Palon Naya Genggong. Sebuah perjanjian yang melibatkan Prabu Brawijaya V saat masuk Islam dalam serat Dharmagandul. Salah satu pesan yang sangat melekat adalah bagaimana Islam boleh diajarkan di bumi Nusantara dengan tanpa paksaan dan tanpa menghilangkan budaya Jawa. Jika suatu saat orang Jawa sudah kehilangan “jawa”-nya, maka beliau akan kembali.
Sabdo Palon Naya Genggong mengatakan akan kembali sekitar 500 tahun setelah perjanjian tersebut. Namun jika menghitung sejak berakhirnya kekuasaan prabu Brawijaya V tahun 1478 M, maka tahun 2020/2021 adalah tahun ke-542 yang artinya sudah melewati ramalan tersebut.
Namun versi lain dari Dr. Purwadi, M.Hum (Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara) kembali mengolah kisah Sabdo Palon Naya Genggong yang menyatakan moksa beliau adalah tanggal 5 September 1520. Artinya tahun 2020 adalah tepat beliau akan menagih janji.
Sedikit kisah tentang Sabdo Palon dan Naya Genggong merupakan dua pujangga kerajaan Majapahit yang menguasai ilmu kanuragan dari kitab Pujasastra. Penasehat utama dari Prabu Brawijaya. Kesaktian Sabdo Palon Naya Genggong karena ilmu laku dan jangka jangkah jangkane zaman. Setiap malam selalu cegah dhadar lawan guling dan setiap bulan Sura selalu tapa brata bersama cantriknya di Gunung Lawu. Beliau merupakan cucu dari Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Sekarang kita bedah lagi tentang tahun 2020 hingga sekarang. Kita yang sudah enggan belajar Jawa, tidak mengerti unggah-ungguh, sakau dengan kebudayan asing, sampai akhirnya memusuhi dan melawan budaya sendiri (Jawa). Dimanjakan tontonan drama dan musik korea, didoktrin ajaran-ajaran agama yang radikal, dan kebencian yang diaktualisasikan dengan kekerasan/ anarkisme.
Sudah banyak yang melempar wacana “akhir zaman”. Dimana orang-orang desa berlomba menjadi lebih kaya daripada orang kota, majikan yang menggagahi/ memperkosa budaknya, anak yang membunuh orang tuanya, dan yang paling nyata terlihat adalah ketika dunia sudah penuh kepalsuan. Bangga menyebarkan kebohongan, saling mencaci dan memusuhi, melawan saudaranya sendiri dengan identitas masing-masing yang diyakininya.
Corona atau Covid 19 seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh penduduk bumi. Dajjal sudah hadir dalam sifat dan karakter kita. Menjelma menjadi kenaifan dan kemunafikan menjadi pahlawan di pusat-pusat peradaban. Belum lagi Yakjuj dan Makjuj yang menguasai kapitalisme dunia. Kita terjerat dalam pesona-pesona kekayaan dan kekuasaan.
Pandemi melalaikan identitas budaya dan keimanan seseorang. Pasrah dan muak dengan isu konspirasi. Ritual keagamaan dipaksa sepi, adat istiadat dilawan dengan narasi kesesatan, pemimpin Jawa yang berubah rupa menjadi sutradara politik. Kehilangan empati dan simpati melihat ribuan orang terjerat kemiskinan, mati kelaparan, dan bunuh diri karena keputusasaan.
Sabdo Palon hadir dalam sidang-sidang membumikan Jawa, Naya Genggong menyusup dalam opini-opini media sosial. Sedangkan masyarakat masih sibuk menikmati promo dan diskon e-commerce. Menyambut Sabdo Palon-Naya Genggong berdiri berorasi menyelamatkan bumi nusantara dari kehilangan jati diri bangsa. Berteriak lantang pentingnya persatuan dan keadilan. Mengembalikan kedigdayaan kerajaan-kerajaan masa lalu.
Pemimpin butuh penasehat sebelum mengambil keputusan agar tidak membuat kebijakan blunder yang dapat menyengsarakan rakyat. Semoga vaksinasi adalah saran Sabdo Palon–Naya Genggong mengembalikan hakekat manusia nusantara yang santun, peduli, dan bijaksana.
0 comments: