CATEGORIES

Kisah penangkapan babi ngepet pada hari senin (26/4) di kawasan Bedahan RT 02 RW 04, Sawangan, Depok menghebohkan jagad maya. “Hawan jadi-ja...

Babi Ngepet, Benturan Kepercayaan dan Sains

babi ngepet

Kisah penangkapan babi ngepet pada hari senin (26/4) di kawasan Bedahan RT 02 RW 04, Sawangan, Depok menghebohkan jagad maya. “Hawan jadi-jadian” tersebut ditangkap warga karena mereka resah uangnya menghilang secara tiba-tiba. Hingga akhirnya belasan warga secara bugil (syarat penangkapan) mengepung babi ngepet dan berhasil menangkapnya.

Sempat dijadikan lahan “berbisnis” dengan membayar dua ribu rupiah setiap kali ada orang yang ingin melihat dan berfoto dengan babi ngepet hasil tangkapan warga, akhirnya pihak berwenang dan pemerintah desa memutuskan untuk menyembelih babi tersebut agar tidak menimbulkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19. Abdul Rosad (Ketua RW Sawangan) menyebut warganya kaget mengetahui ukuran babi yang ditangkap semakin lama semakin mengecil setelah dilakukan penangkapan.

Kejadian penangkapan babi ngepet bukan hanya kali ini terjadi. Sebelumnya, pada tahun 2012, terjadi penangkapan babi ngepet di Tuban. Tahun 2013, terjadi penangkapan babi ngepet di Situbondo. Tahun 2016 terjadi penangkapan babi ngepet di Jebres, Solo. Tahun lalu penangkapan babi ngepet juga terjadi di Bangorejo, Banyuwangi.

Di Jawa sendiri, masyarakat mengenal istilah santet, pelet, dan kepet. Santet adalah aktivitas gaib yang ditujukan untuk menyakiti atau bahkan membunuh orang yang ingin disantet melalui perantara dukun, biasanya menggunakan boneka atau barang korban. Kemudian pelet adalah usaha untuk memikat lawan jenis secara gaib, bisa menggunakan susuk atau jampi-jampi terhadap korban.

Sedangkan kepet (babi ngepet), menurut Prof. Suwardi Endraswara, dalam bukunya Dunia Hantu Orang Jawa memaparkan mitos babi ngepet sebagai penjelmaan dari seseorang yang menggunakan ilmu hitam pesugihan dengan cara mengubah dirinya untuk sementara menjadi babi siluman sehingga dapat dengan mudah melakukan pencurian.

Kepercayaan babi ngepet konon berasal dari Gunung Kawi, Malang. Lokasi tersebut dikenal sebagai tempat menemui siluman babi untuk melakukan perjanjian. Seseorang yang ingin mendapatkan ilmu babi ngepet diharuskan menyerahkan tumbal, biasanya anak yang paling disayangi. Setelah itu, pelaku ritual diwajibkan untuk memakan kotoran dari siluman babi agar bisa mengubah dirinya menjadi babi.

Kuncen atau dukun tempat pesugihan memberikan sebuah kain hitam kepada si pelaku, setelah semua persyaratan pesugihan dipenuhi oleh si pelaku. Ritual pesugihan babi ngepet dilakukan oleh 2 orang. Jika dilakukan sepasang suami-istri, biasanya suami yang menjadi babi dan sang istri menjaga sebuah api lilin yang ditaruh di dalam baskom berair.

Pelaku yang menjadi babi berkeliling ke rumah penduduk untuk mengambil uang warga secara gaib. Babi hanya perlu menggesek-gesekkan badannya ke tembok rumah korban. Keselamatan si pelaku (babi ngepet) terletak pada api lilin yang dijaga oleh pelaku lainnya. Ketika api lilin tersebut bergoyang-goyang, maka pertanda si babi sedang dalam bahaya dan penjaga harus mematikan api tersebut agar bisa berubah wujud menjadi manusia kembali.

 
Baca Juga : Kemerdekaan Sains

Perlawananan Sains

Fenomena menggantungkan nasib terhadap hal gaib seperti babi ngepet bakal selalu muncul jika kondisi ekonomi, sosial kemasyarakatan, termasuk politik, mengalami kemunduran. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk melakukan berbagai cara agar bisa bertahan hidup.

Istilah babi ngepet muncul dari mitos atau kepercayaan lokal masyarakat. Peneliti bidang zoologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Taufiq Purna Nugraha, mengatakan secara ilmiah tidak ada istilah babi ngepet. Di luar konteks budaya dan kebatinan, persoalan klenik (gaib) yang berdampak kepada dunia nyata (kehilangan uang) pernah menjadi bahan diskusi dan seminar oleh para akademisi.

Secara ilmiah, daerah Sawangan, Depok adalah perkampungan dengan masih banyak tanah kosong sejenih perkebunan atau hutan sebagai habitat babi hutan. Sedangkan kemunculannya di malam hari karena babi merupakan hewan nocturnal. Secara analisis ilmiah, penangkapan “babi ngepet” di Depok merupakan babi sub spesies bagong (Sus verrucosus) karena tidak ada bulu putih melingkar di sekitar moncong.

Laju perkembangan informasi dan teknologi memudahkan semua orang merasionalkan sesuatu secara ilmiah. Kepercayaan atau mitologi yang dibenturkan dengan ilmiah akan kalah dalam ranah sosiokultural. Sains secara perlahan membungkam berbagai bentuk narasi kepercayaan lokal maupun universal.

Babi ngepet sering diistilahkan sarana pesugihan secara gaib. Sedangkan dalam istilah keagamaan, gaib adalah segala hal yang tidak diketahui oleh seseorang. Covid-19 mungkin nyata bagi kalangan saintis, namun gaib bagi masyarakat awam. Modal untuk tunduk pada sesuatu yang gaib adalah kepercayaan yang dihasilkan dari tumpukan informasi masing-masing manusia.

Apakah babi ngepet itu nyata atau hanya akal-akalan adalah perkara gaib. Mereka yang pernah melihat atau bahkan melakukan ritual pesugihan dengan babi ngepet tetap akan mempercayai atas sesuatu yang sudah dialami, sedangkan saintis atau siapapun yang di luar pemahaman mengenai babi ngepet tetap akan melawan kepercayaan tersebut dengan keterbatasan ilmunya.

Pada akhirnya ada batasan untuk menghargai pemahaman dan kepercayaan masing-masing sesuai banyak-sedikitnya informasi atau pengalaman hidup yang dilakukan. Tidak semua hal bisa dijelaskan secara sains, seperti peristiwa Isra’ Mi’raj, kehamilan Siti Maryam, hingga ritus-ritus agama dan penghayat kepercayaan.

Kisah babi ngepet memberi pelajaran tentang bagaimana sulitnya ekonomi warga di tengah pandemi hingga melakukan hal-hal irrasional untuk bertahan hidup. Setidaknya memberikan kewaspadaan bahwa kehidupan di dunia memberikan 2 pilihan : jalan benar atau jalan salah. Babi ngepet adalah pilihan seseorang ketika kepepet. Memilih jalan pesugihan dengan cara gaib meski berisiko mengorbankan tumbal hingga dihakimi warga jika tertangkap.

0 comments: