Berdasarkan sidang Isbat, penetapan awal Puasa 1 Ramadhan 1442 H adalah pada hari Selasa, 13 April 2021 kemarin. Meski menjalankan ritual puasa Ramadhan di tengah pandemi, pemerintah memberikan kelonggaran untuk melaksanakan ibadah di masjid (berjamaah) dengan syarat daerah tidak berada dalam zona merah.
Tahun ini adalah puasa Ramadhan kedua di tengah pandemi. Kemeriahan jajanan takjil, acara buka bersama, salat tarawih, tadarus di masjid, tarawih keliling, ronda sahur, hingga takbiran tidak terasa spesial karena larangan berkerumun dan menjaga mobilisasi sosial.
Puasa sendiri merupakan kata yang disadur dari bahasa Sansekerta, upawasa yang artinya ritual untuk menuju atau masuk ke Yang Ilahi. Namun, di Jawa dipakai juga istilah lokal yaitu pasa. Pasa kemudian berkembang menjadi puasa yang sudah tidak berasal lagi dari bahasa Sanskerta. Pasa yang berasal dari istilah lokal (Jawa) sendiri artinya kekangan, mengekang, menahan sesuatu dari.
Jadi, tradisi puasa sudah dikenal oleh agama-agama terdahulu, bahkan sebelum Hindu-Budha. Pengertian tersebut selaras dengan makna shaum atau shiyam di dalam agama Islam, yang artinya menahan diri dari makan, minum, hingga hubungan seksual. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Adapun puasa pada masa pra Islam, jika dilihat dari akar katanya mempunyai tujuan spiritual. Karena makan, minum, serta berhubungan seksual akan menjauhkan dari sang pencipta atau bahkan melupakan Allah Swt.
Baca Juga : Islam Agama Arogan?
Puasa Sabar
Di tengah wabah Covid-19, seluruh manusia diminta untuk bersabar dengan tetap berdoa dan ikhtiar agar pandemi segera berakhir. Kesabaran menghadapi pandemi karena sudah banyak hal selama setahun lebih yang hilang (sia-sia) karena ketakutan dan kekhawatiran terhadap ancaman Covid-19.
Ratusan ribu orang meninggal, kemiskinan bertambah seiring banyaknya kasus PHK sepihak dari perusahaan yang terlanjur gulung tikar, perceraian menjadi kewajaran ketika tidak mampu menyelesaikan problem rumah tangga. Semua remuk, hancur, dan memilukan.
Masyarakat dituntut sabar entah sampai kapan. Berdiam di rumah dan dilarang mudik. Menunggu vaksinasi yang masih diperdebatkan manfaatnya. Manusia dunia sudah berpuasa sejak setahun lebih yang lalu, sebelum Gus Yaqut (Menteri Agama) mengumumkan dalam acara sidang Isbat.
الصوم نصف الصبر
Puasa itu setengah dari sabar
الصبر نصف الإيمان
Sabar itu setengah dari iman
Jadi iman, puasa, dan sabar adalah aspek yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Siapa yang tidak sabar, mudah emosi, dan suka marah-marah, maka ia kehilangan setengah dari imannya. Misalkan orang yang tidak sabar dan tidak berpuasa, maka ia kehilangan setengahnya lagi dari setengah. Artinya, imannya tinggal seperempat.
Orang beriman harusnya sabar.Di antara banyak jalan menempuh kesabaran, salah satunya adalah dengan berpuasa. Tidak hanya puasa lahir, akan tetapi juga puasa batin, salah satunya adalah sabar. Dihina, dicaci, dimarahi, disalahkan, tapi tetap sabar. Itu adalah berpuasa. Jika membalas, maka akan membatalkan “puasa”.
Seperti halnya dengan puasa lahir, muslim diberikan kebebasan untuk makan dan minum sepuasnya. Tapi dengan kedewasaan dan pengetahuannya, mampu menahan untuk tidak makan dan minum sampai saat berbuka. Demikian juga dengan sabar yang harus bisa ditahan sampai kapanpun dan di manapun.
Sabar itu dibagi menjadi dua jenis; “sabar dari” dan “sabar untuk”. Sabar dari adalah sesuatu yang menimpa diri kita, sedangkan sabar untuk adalah kalau dalam agama disebut istikamah. Setiap hari rutin untuk salat dhuha. Kebiasaan tersebut ditempa terus-menerus dengan penuh kesabaran. Proses melatih diri untuk melakukan kebaikan meski menurut dirinya sendiri adalah jenis sabar untuk.
Setiap orang harus mampu membedakan atau memilah jenis sabar dari dan sabar untuk agar tercipta kebijaksanaan diri. Berjuang dan kerja keras itu bukan berarti tidak sabar atau tergesa-gesa, itu termasuk kategori jenis sabar untuk. Sedangkan jika mengalami masalah maka bersabarlah untuk keluar dari masalah.
Sabar tidak sama dengan pasrah. Sabar itu bisa dari sesuatu dan untuk sesuatu. Tapi untuk membedakannya, membutuhkan satu hal, yakni kebijaksanaan. Sedangkan kebijaksanaan itu ilmunya antara lain adalah belajar filsafat atau tasawuf.
Puasa itu dialektika keimanan dan kesabaran. Jadi seharusnya pada bulan puasa tidak ada lagi orang yang marah-marah dan malas-malasan. Malas belajar, malas bekerja, malas beribadah dengan dalih lelah atau kelaparan. Berarti memang belum siap untuk berpuasa dan bukan jenis orang yang sabar. Karena dengan puasa malah melatih tingkat kesabaran.
Semoga puasa kali ini bisa menjadikan manusia yang sadar diri dan lebih bersabar. Karena segala bala bencana dan peristiwa adalah hak mutlak Allah Swt. Manusia hanya bisa bersabar dan berdoa untuk keselamatan dirinya atas segala bencana. Manusia harus bisa belajar dan melatih kesabaran. Berpuasalah dengan sabar, karena puasa hanya untuk mereka yang sabar.
0 comments: