CATEGORIES

  Shiyam  dan Shoum  menurut bahasa adalah Imsak (menahan). Sedangkan dalam istilah Syara’, puasa adalah menahan diri dari segala hal yang b...

Puasaku Untuk Allah, Bukan Untukku

 

puasa sufi

Shiyam dan Shoum menurut bahasa adalah Imsak (menahan). Sedangkan dalam istilah Syara’, puasa adalah menahan diri dari segala hal yang bisa membatalkan puasa. Menurut sebagian salinan matan ada 4 perkara syarat wajibnya puasa yakni; Islam, baligh (dewasa), berakal, mampu/ kuasa untuk berpuasa.

Dalam perspektif tasawuf, puasa dibagi menjadi 2 jenis yakni; puasa ‘aam (umum) dan puasa khos (khusus). Puasa ‘aam adalah puasa yang biasa dimaknai secara umum kalangan umat muslim, yakni menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Sedangkan puasa khos lebih menekankan aspek batiniyah dengan menjaga hati (menahan kemungkaran). Ada 5 hal yang dapat membatalkan atau menghilangkan pahala puasa yakni; berbohong, adu domba, gibah, ingkar, dan memandang sesuatu dengan syahwat.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah berfirman: Semua amal anak turun Adam (manusia) adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, karena puasa adalah milik-Ku dan Aku akan membalasnya. Puasa merupakan sebuah perisai. Jadi, jika seseorang berpuasa, hendaklah tidak berkata kotor dan berperilaku buruk, tidak berteriak-teriak, dan tidak bertindak seperti orang bodoh. Jika ada salah seorang yang mencaci-maki atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan, ‘aku sedang berpuasa’.”

Allah membagi salat menjadi dua bagian, untuk-Nya dan hamba-Nya. Setengahnya untuk Allah dan setengahnya lagi untuk hamba-Nya. Dalam rukun salat, bacaan Al Fatihah ayat 1-4 adalah bentuk pujian hamba kepada Allah, sedangkan ayat 5 adalah konsep perjanjian antara Allah dan hamba-Nya, ayat 6-7 adalah bagian seorang hamba agar ditunjukan jalan yang lurus.

Berbeda halnya dengan puasa yang dipersembahkan dan hanya  menjadi hak milik Allah Swt. Seorang hamba hanya memperoleh imbalan dan ganjarannya sebab puasa itu sendiri adalah milik Allah Swt.

Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman: Puasa berhubungan dengan-Ku dan Aku yang akan membalas. Jika orang berpuasa melakukan puasanya dengan ikhlas, cinta, dan bentuk ubudiyyah (penghambaan), maka sejatinya puasa tersebut lebih baik daripada sekadar mengharap masuk surga dan dihindarkan dari neraka.


Baca Juga : Muhammad Bukan Rasul Kita?

Dengan demikian, puasa dapat ditafsirkan secara sufistik bahwa seseorang berpuasa memang karena kecintaannya kepada Ma’bud (yang berhak disembah), Ma’syuq (kekasih), dan Mahbub (yang tercinta). Sebab Allah menyuruh berpuasa maka sebagai bentuk pengabdian dan penghambaan, aku menjalankan tugas atau perintah ini.

“Allah berfirman, dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat.” Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa yang dimaksud kata sabar dalam ayat tersebut adalah berpuasa. Sebab itulah Rasulullah SAW memberi nama lain pada bulan Ramadan dengan syahru ash-shabr (bulan sabar).

Orang yang berpuasa diibaratkan sebagai orang zahid (orang yang zuhud) dan juga ‘abid (ahli ibadah). Puasa merupakan kunci zuhud serta pintu ibadah kepada Allah SWT. Karena puasa bukan hanya mampu menahan makan dan minum, namun juga bersedia menahan nafsu untuk berkata buruk dan berperilaku maksiat.

Sejatinya puasa adalah ibadah untuk melatih diri dari godaan setan dan hawa nafsu. Orang berpuasa mampu menghindarkan diri dari makan dan minum untuk menggantinya dengan mengonsumsi zikir dan bacaan-bacaan Alquran. Puasa merupakan dimensi ketauhidan antara Tuhan dan hambanya. Semakin besar godaan muslim yang berpuasa, maka akan semakin istimewa kualitas ibadahnya di hadapan Allah.

Dalam prosesnya, puasa harus menghindari sifat-sifat kebencian, kedengkian, kemarahan, dan tindakan anarkis yang dialamatkan kepada orang lain yang tidak berpuasa. Puasa tidak  boleh dijadikan alasan tersendatnya rezeki bagi mereka yang berjualan di siang hari pada bulan Ramadan dengan aksi razia terhadap warung-warung yang menjajakan makanan.

Orang berpuasa harus bisa menerapkan prinsip kesalehan sosial dan kesalehan individual. Kesalehan sosial merupakan perilaku manusia yang peduli dengan nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Sedangkan kesalehan individual merupakan kesalehan yang hanya mementingkan ibadah semata yang berhubungan dengan Tuhan dan kepentingannya sendiri (Haris Riadi, Jurnal Pemikiran Islam An-Nida’, 1, Januari-Juni 2014: 49).

Khairunnas anfa’uum linnas (sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain). Mari di bulan yang penuh berkah kita perbanyak berprasangka baik kepada sesama, termasuk menghargai orang yang tidak berpuasa serta memperbanyak ibadah sebagai bentuk pengabdian hamba kepada Tuhannya. Sebab puasa adalah ibadah untuk Allah, bukan untuk dirinya sendiri.

0 comments: