Kajian filsafat cukup banyak ditentang panganut Islam konservatif di seluruh dunia. Filsafat dianggap bukan ajaran para salafus saleh, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Para filsuf Islam dianggap mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani kemudian menjadikan pernyataan-pernyataannya dijadikan sumber pijakan untuk meluruskan atsar yang berseberangan melalui cara penakwilan. Metode penakwilan itulah yang kemudian dianggap sesat.
Sikap anti ilmu di luar ajaran syariat sering dijadikan landasan untuk menentang eksistensi ilmu filsafat dalam dunia Islam. Mempelajari filsafat dianggap upaya tidak mempercayai pedoman dasar umat Islam, yakni Alquran dan hadis. Namun di sisi lain, kajian filsafat sering dijadikan pelajaran wajib di ranah pendidikan formal Islam kontemporer. Bahkan di pesantren ada kajian khusus kitab manthiq yang menguak ilmu-ilmu filsafat.
Pangkaji filsafat sering diistilahkan sebagai pembangkit kembali kaum mu’tazilah yang menjadikan akal sebagai pondasi utama memahami agama. Namun perlu diingat bahwa filsafat Islam berperan besar dalam penyebarluasan agama Islam di Andalusia era khalifah Abbasiyah. Namun kebangkitan filsafat Islam juga sempat ditentang kaum sufi yang dipelopori oleh Al Ghazali dalam kitabnya “Tahafut al Falasifah”.
Sejak saat itu pertentangan ilmu filsafat dengan ilmu tasawuf menjadi bahan diskusi intelektual muslim modern. Menjadikan logika sebagai mesin utama memahami agama, membuat kekhawatiran seorang muslim dalam mempelajari filsafat yang terkesan berpikir liar, termasuk dalam ranah akidah. Sampai saat ini masih banyak yang mengharamkan kajian filsafat dalam kajian Islam karena dianggap sebagai pintu menuju kekafiran.
Mempelajari filsafat diidentikan dengan perilaku menyembah akal sebagai sumber kebenaran. Aktualisasinya adalah dengan kemunculan qiyas (analogi) yang kemudian dijadikan dalih Islam konservatif untuk menghukumi sesat kajian filsafat. Berdalil dengan qiyas dan berakhlak dengan prinsip objektivitas.
Baca Juga : Menganalisis Hoax yang Merajalela
Kemunculan Ustaz Fahruddin Faiz
Ilmu filsafat muncul dari dinamika kehidupan di Yunani untuk lebih mencintai ilmu dan kebijaksanaan. Filsafat berasal dari kata philos yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Dalam filsafat ada cabang-cabang yang dipelajari sampai sekarang, seperti; logika, epistemologi, etika, estetika, dan metafisika.
Namun demikian, skeptisisme filsafat masih membelenggu umat Islam dalam kekakuan berpikir dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat, penentang filsafat masih berkutat pada dimensi haram dan halal sesuai syariat. Apalagi filsafat dianggap sebagai kajian yang bertele-tele (tidak instan) dalam menjawab problematika kehidupan. Pada akhirnya menyimpulkan bahwa Alquran dan hadis mampu dikaji tanpa harus melibatkan kajian filsafat di dalamnya.
Belajar filsafat yang dianggap menyimpang dan berpotensi menuju kekafiran, Ustaz Fahruddin Faiz mencoba mengubah persepsi negatif dunia filsafat dengan kajian yang ringan tanpa tendensi menyeleweng dari akidah Islam. Bahkan dalam banyak kajian yang diberi istilah “Ngaji Filsafat” di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, ia sering mengambil sudut pandang akidah dan akhlak Islam dalam menjelaskan setiap tokoh dan tema yang dikaji.
Pria yang lahir di Mojokerto 16 Agustus 1975 silam itu mengungkapkan bahwa belajar filsafat bertujuan untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taklid dan ‘mengalir’ tanpa tahu kemana, untuk apa, dan mengapa. Tidak hanya mengkaji filsafat pemikiran Barat dan Timur, ia juga sering “ngaji” filsuf domestik (lokal), seperti; Sri Susuhunan Pakubowono IV, Mangkunegaran IV, Ng. R. Ronggowarsito, Sultan Agung, dan banyak lainnya.
Kemampuan menjelaskan ilmu filsafat yang dianggap membingungkan dengan kajian yang ringan, membuat namanya begitu cepat dikenal di media sosial. MJS Channel di platform YouTube yang menjadi akun resmi media publikasi ngaji filsafat sudah memiliki hampir 140 ribu subscribers. Belum lagi ratusan akun yang mengunggah ulang dengan potongan-potongan ceramahnya di YouTube, facebook, dan Instagram yang sudah banyak beredar.
Memulai ngaji filsafat pada 21 Maret 2013 hingga sekarang, pria yang memiliki latar belakang lulusan pesantren ini sudah membahas lebih dari 300 kajian yang hampir rutin dilaksanakan seminggu sekali. Menurutnya wahyu dan akal memiliki posisi sama penting. Tanpa wahyu, akal kesasar. Tanpa akal, wahyu musykil terejahwantahkan. Dalam memahami Islam harus dalam kerangka ilmiah, bukan sekadar ideologis. Tujuannya agar tidak bersikap eksklusif dalam beragama.
Fahruddin Faiz yang juga merupakan dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini menjelaskan bahwa dengan cara berpikir filsafat itulah yang mengajarkan manusia untuk lebih menghargai kebenaran yang lain dan keberagaman yang ada di tengah-tengah lingkungan sosial. Menurutnya, menentang filsafat berarti tidak menghargai keberadaan akal untuk media berpikir. Karena satu-satunya pembeda manusia dangan hewan adalah akal. Tanpanya, manusia akan hilang kemanusiaannya.
Bahkan dalam beberapa dalil Alquran ditegaskan tentang pentingnya mempergunakan akal, termasuk ketika mengkaji filsafat sebagai metode berpikir logis dan sistematis agar tidak mudah dibodohi oleh sebuah sistem atau doktrinisasi akibat sikap fanatisme terhadap sesuatu. Filsafat adalah ilmu berpikir untuk bersikap inklusif dengan selalu mengedepankan cinta kasih dan kebijaksanaan.
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. An-Nahl : 12).
Seperti yang dikatakan Bung Hatta, “Belajarlah filsafat, bacalah filsafat sebanyak-banyaknya, nanti akan tahu dengan sendirinya apa filsafat itu sesungguhnya.” Fahruddin Faiz adalah sarana paling memungkinkan untuk mendalami filsafat tanpa skeptisisme kekafiran (penyelewengan akidah). Ia bisa membungkus bahasan filsafat yang berat menjadi ringan namun tetap memuat esensi filsafat yang kritis dan sistematis.
Dengan membumikan filsafat akan mempengaruhi cara berpikir seorang muslim agar tidak terjebak pada narasi intoleran dan radikalisme. Selain metode deradikalisasi, belajar filsafat juga menuntun seorang muslim untuk tidak bersikap fanatik terhadap doktrinisasi agama.
0 comments: