Mempertimbangkan risiko penyebaran Covid-19, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik lebaran tahun 2021. Dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No. 13 Tahun 2021, pemerintah meniadaan mudik pada bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021.
Namun kebijakan tersebut menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Apalagi di sisi lain, pemerintah memberikan izin salat jamaah di masjid/ musala untuk tarawih dan Idul Fitri. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno berencana membuka pariwisata di Kepulauan Riau.
Mudik yang sering diartikan pulang ke kampung halaman selalu menjadi kegiatan rutin menjelang lebaran. Mungunjungi keluarga dan sanak saudara untuk bersilaturahmi. Melepas kangen dan penat berjumpa dengan orang tua. Padahal hukum silaturahmi itu ada yang wajib dan sunah. Melarang mudik, berarti melarang kewajiban atau kesunahan orang beragama.
Pelarangan mudik yang kontradiktif dengan laju penurunan kasus positif Covid-19 (seiring keberhasilan program vaksinasi) membuat kecewa banyak kalangan karena tahun kemarin juga sudah dilarang mudik. Aspek kesehatan memang yang utama, bukan berarti mengesampingkan aspek lainnya tanpa adanya toleransi kebijakan.
Pemerintah tidak boleh inkonsisten mengutamakan kepentingan kesehatan masyarakat jika aturan atau kebijakan lain terkesan melonggarkan kerumunan tapi mudik lebaran dilarang sedemikian ketat. Sudah banyak pengorbanan masyarakat di masa pandemi, apakah mudik lebaran juga menjadi kewajiban untuk pengorbanan berikutnya?
Baca Juga : Puasa Sabar
Filosofi Mudik
Mudik bukan hanya dimaknai tentang perjalanan pulang ke kampung halaman. Lebih dari itu, mudik adalah kegiatan yang seharusnya menjadi pelajaran dan renungan bagi manusia tentang bagaimana suatu saat manusia pasti akan “kembali ke kampung halaman”.
إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali”
Bukankah di dunia ini hanya sejenak bagian dari perantauan? Suatu saat manusia akan kembali mudik menuju “kampung sejati”.
Sudah menjadi budaya bahwa perantau selalu diharapkan untuk membawa bekal yang layak untuk keluarga di kampung halaman. Orang tua mendambakan anaknya menjadi orang yang berhasil diperantauan. Sebaliknya, para perantau selalu berusaha memantaskan diri untuk siap dibanggakan keluarganya berkat kesuksesannya di kota seberang.
Lebaran identik dengan hari kemenangan. Namun bagi kalangan sufi (pengkaji tasawuf), seharusnya lebaran adalah momen kesedihan yang mendalam. Kesedihan ditinggal bulan mulia, kesedihan belum begitu sempurna beribadah, dan kesedihan karena tidak tahu suatu saat apakah bisa dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan.
Istilah hari kemenangan bukan diartikan bahwa kita sudah lepas dari “siksa” untuk tidak makan/ minum, maksiat, dan lainnya. Kemenangan adalah sebuah capaian dimana kita berhasil menaklukan nafsu dan mendapat keberkahan di bulan Ramadan. Jadi kemenangan setiap orang akan berbeda satu dengan lain.
Makna mudik lebaran bukan hanya sebatas kebahagian berkumpul bersama sanak saudara. Mudik merupakan rangkaian perjalanan hidup manusia, singgah (pulang) sementara untuk kembali merantau ke luar kota mencari bekal. Momentum bertemu dan berbagi kisah dengan keluarga besar untuk memulai kembali aktivitas pada bulan syawal layaknya ibadah di bulan Ramadan. Semua keluarga berkumpul menjadi satu. Beberapa daerah melakukan ritual sungkeman ke orang tua, tetangga, dan sanak saudara.
Kesuksesan pemudik adalah seberapa besar ia bisa bermanfaat untuk orang lain, bukan sekedar seberapa banyak uang yang dibagikan ke sanak keluarga. Pemudik akan lebih dihargai ketika ia yang tidak lupa (berusaha melupakan) masyarakat dan lingkungan di kampung halamannya, sehingga masih bisa membaur dan bercengkrama seperti dulu sebelum menjadi perantau.
Kampung halaman adalah tujuan, seperti burung yang kemanapun terbang akan kembali kepada sangkarnya. Momentum spesial itu hanya bisa dirasakan oleh beberapa orang saat mudik lebaran. Mengunjungi orang tua, mertua, dan sahabat untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain.
Jadi mudik adalah aktivitas melepaskan segala bentuk busana yang melekat pada diri saat di perantauan. Semua melebur untuk menanggalkan harta, pangkat, jabatan, dan segala aksesoris duniawi lainnya. Dituntut menjadi manusia yang fitrah, bersimpuh kepada orang tua dan mengakui segala kesalahan untuk mengharap rida dari keduanya.
Jika memang mudik lebaran dilarang, hari kemanangan akan kembali ditunda. Sungkem diganti video call dan halal bihalal kampung diganti broadcast grup WhatsApp dengan kata-kata minal aidin wal faizin. Selebihnya, masyarakat akan memaknai lebar, luber, lebur, dan labur dalam nuansa keterasingan, sendiri tanpa silaturahmi
0 comments: