CATEGORIES

Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap mahasiswa agar bisa menjadi pelaku usaha sepertinya sulit direalisasikan. Jokowi berharap ter...

Mencipta Buruh Melalui Perguruan Tinggi

buruh mahasiswa

Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap mahasiswa agar bisa menjadi pelaku usaha sepertinya sulit direalisasikan. Jokowi berharap tercipta ekosistem yang mendorong sosio techno entrepreneur di lingkungan kampus untuk memecahkan masalah sosial dengan memanfaatkan teknologi secara inovatif dan kewirausahaan.

Keinginan Jokowi terkendala sistem pendidikan perguruan tinggi saat ini yang lebih condong menciptakan buruh (pekerja industri) daripada menjadi pengusaha yang membuka lapangan pekerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, proses pembelajaran peserta didik secara aktif ditujukan untuk mengembangkan potensi diri agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Berdasarkan survei yang dilakukan dilakukan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mencatat dari 5 juta mahasiswa yang ada di Indonesia, sebanyak 83 persen di antaranya bercita-cita menjadi karyawan, 4 persen menjadi wiraswasta, dan selebihnya ingin menjadi anggota LSM dan politisi. Padahal mengacu standar World Bank, minimal harus 4 persen atau lebih dari 5 juta anak muda menjadi pengusaha. Hingga saat ini rasio jumlah wirausaha atau pengusaha di Indonesia baru mencapai 2 persen dari total penduduk.

Potret pengusaha di Indonesia semakin menegaskan bahwa menjadi pengusaha tidak perlu melalui perguruan tinggi. Beberapa contoh pengusaha yang tidak membutuhkan ijazah untuk suskes adalah Bob Sadino, Hendy Setiono, Andrie Wongso, Purdi E. Candra, dan Susi Pudjiastuti. Sedangkan banyak lulusan mahasiswa berprestasi perguruan tinggi direkrut perusahaan ternama untuk dijadikan buruh atau pekerja.

Konsep kemapanan mahasiswa masih soal standar gaji di sebuah perusahaan. Mayoritas mahasiswa menggantungkan nasib untuk lolos calon Aparatur Sipil Negara (ASN). Menjadi pelaku usaha membutuhkan mental dalam menghadapi risiko. Beberapa beranggapan bahwa modal merupakan variabel utama jalan-tidaknya sebuah usaha atau bisnis.

Sedangkan pendidikan perguruan tinggi tidak memfasilitasi kurikulum tentang wirausaha. Bahkan dalam perkuliahan fakultas ekonomi, mata kuliah wirausaha juga hanya dijadikan templat formal kurikulum perguruan tinggi. Mahasiswa hanya dicekoki teori tanpa pelatihan aksi menjadi wirausaha.


Baca Juga : Mahasiswa, BEM UI, dan Jokowi

Kampus Merdeka

Selama ini lembaga pendidikan cenderung menekankan kognisi dalam praksisnya. Sistem ini mereduksi hakekat pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia secara utuh dan penuh. Lulusan perguruan tinggi seharusnya tidak hanya berakal, tetapi juga harus bermoral. Perlu keluasan cara berpikir mahasiswa mengenai problematika bangsa dengan fokus membuka lapangan usaha daripada menjadi buruh perusahaan.

Program kampus merdeka yang diharapkan pemerintah mampu mendorong mahasiswa menjadi pelaku usaha masih perlu dibuktikan ketika budaya pendidikan kampus sudah melekat menjadi lulusan buruh profesional. Perguruan tinggi tidak memfasilitasi concern mahasiswa memilih jurusan yang fokus menjadi wirausaha.

Mahasiswa memilih jurusan berdasarkan peluang kerja yang mapan. Sedangkan kosentrasi pendidikan kurang begitu diperhatikan perusahaan dalam memilih calon karyawan. Dampaknya banyak karyawan perusahaan yang bekerja tidak sesuai dengan segmen pendidikan mahasiswa selama di kampus.

Dalam program kampus merdeka, pemerintah mengusung 4 kebijakan strategis seperti; program re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat, memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS), memberikan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru, dan kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH).

Lulusan mahasiswa diharapkan mempunyai empat kompetensi, yakni kompetensi sikap, pengetahuan, keterampilan umum, dan keterampilan khusus. Ada ruang gerak bagi mahasiswa untuk mendesain masa depannya dengan memilih mata kuliah sesuai keahlian spesifik yang ditopang dengan keahlian lain yang diminatinya.

Namun program magang masih menjadi budaya penciptaan buruh yang diabaikan pemerintah dan perguruan tinggi. Pre-job Training (Pelatihan Kerja) dan magang yang dipaksakan kepada mahasiswa agar terbiasa menjadi buruh (dunia kerja), menegaskan inkonsistensi pemerintah mendorong mahasiswa untuk menjadi pelaku usaha.

Belum ada realisasi konkrit program kampus merdeka untuk mencipta pelaku usaha bagi mahasiswa. Apalagi ada otonomi perguruan tinggi yang semakin melonggarkan kampus untuk membuat sistem budaya kampus yang susah dihilangkan sejak zaman kolonial. Kemandirian mahasiswa memilih program studi tidak lantas dijadikan indikator mahasiswa ketika lulus menjadi wirausaha. Setidaknya sampai saat ini, masih banyak mahasiswa yang memilih aman untuk menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan daripada mengambil risiko menjadi wirausaha yang mempunyai potensi bangkrut. Apalagi bagi mahasiswa yang nihil modal.

 

Pernah dimuat Buruan.co

https://barisan.co/mencipta-buruh-melalui-perguruan-tinggi/ 

0 comments: