Dalam cerita pewayangan di Indonesia, nama punokowan cukup akrab didengar. Meskipun tidak ada dalam kisah wiracarita (Mahabharata dan Ramayana), namun punokawan selalu menjadi bumbu tersediri ketika goro-goro menampilkan dialog dan adegan lucu (menghibur) bagi penonton. Punokawan terdiri dari 4 tokoh, yakni; Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
Semar alias Ismaya alias Badranaya dianggap simbol Ilahiyah masyarakat pewayangan. Seperti halnya Allah Swt yang tidak bisa dijelaskan seperti apa dan bagaimana, Semar juga menyimbolkan keabsurdan Tuhan (tan kena kinaya ngapa, tan kena kinaya sapa). Semar begitu disegani oleh kawan dan lawannya. Ia menjadi sosok bijaksana dan arif yang senantiasa memberikan nasehat. Semar menjadi sosok panutan bagi semua orang.
Dalam penggambarannya, Semar bukan sosok laki-laki dan bukan pula perempuan, tangan kanan menunjuk ke atas dan tangan kiri menunjuk ke bawah, mulutnya tersenyum dan matanya menangis (mengeluarkan air mata), tidak duduk dan tidak berdiri, tidak tua (seperti wajahnya) dan tidak muda (seperti kuncungnya). Paradoks seperti halnya Tuhan.
Gareng alias Pancalpamor adalah anak pertama Semar yang berkaki pincang dan bermata juling. Ia menyimbolkan bahwa hidup harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Semua hal yang diinginkan tidak mesti didapatkan, karena semua kehendak Tuhan.
Petruk alias Dawala adalah anak Semar berikutnya. Ia dikenal sebagai tokoh yang nakal, cerdas, dan pandai berbicara. Terakhir adalah Bagong alias Bawor yang dikiaskan sebagai bayangan dari Semar. Ia memiliki sifat memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh. Namun Bagong juga memiliki sifat sederhana, sabar, dan tidak terlalu kagum dengan kehidupan dunia.
Baca Juga : Prabu Karna dalam Percaturan Politik Indonesia
Ponokawan Reborn
Berbeda dengan punokawan yang artinya memahami teman (kawan sejati), ponokawan lebih bermakna umum. Ponokawan memahami keadaan dengan cinta dan kesetiaan. Mendampingi pejabat atau pemimpin dan memahami seluk beluk kepemerintahan, tapi tidak berambisi menjadi pejabat atau pemimpin.
Kehadiran ponokawan lebih diharapkan oleh rakyat karena kemampuannya memahami realita kehidupan. Kebijaksanaan dalam bertutur dan berperilaku yang bisa diterima oleh semua kalangan. Ponokawan tidak memihak satu dengan yang lain selain bercita-cita untuk kemajuan dan keadilan bersama.
Misalnya Semar sebagai pelayan masyarakat ketika diberikan mandat dianggap bagian dari ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Dalam sudut pandang agama Islam; Semar artinya bersegeralah, Gareng artinya buah atau kebaikan, Petruk artinya tinggalkan, dan Bagong artinya yang buruk-buruk. Jadi makna filosofis punokawan adalah meminta manusia untuk segera bertaubat kepada Allah agar mendapatkan buah kebaikan, asalkan mau dan mampu meninggalkan yang buruk-buruk (mungkar).
Goro-goro di Indonesia muncul pada masa reformasi yang mengubah segala sendi kehidupan. Politik, budaya, ekonomi, hingga agama berubah sedemikan drastis dengan berbagai revolusi kepemerintahan. Di sisi lain, destruksi masyarakat bergejolak dengan meningkatnya kriminalisme, matinya ekonomi rakyat, dan hancurnya masa depan bangsa.
KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur muncul menjadi tokoh penyelemat negara akibat terombang-ambingnya situasi politik di Indonesia. Melalui poros tengah, beliau melanggang mulus menjadi presiden dengan proses negoisasi panjang bersama Muhammad Ainun Najib alias Cak Nun.
Kedua tokoh tersebut dikenal aktif melakukan konfrontasi di era kepemimpinan Soeharto. Melalui tulisan, pentas seni, hingga pergerakan untuk melengserkan Soeharto yang dianggap diktator dan otoriter selama 32 tahun lamanya. Berkat pengalaman memimpin PBNU, ketika menjabat presiden, Gus Dur melakukan manuver identitas persatuan dan kebangsaan. Menanamkan sikap toleransi dan pluralitas bangsa. Gus Dur akhirnya menyandang gelar bapak pluralisme Indonesia.
Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi
Tokoh Kesenian
Berangkat dari bidang kesenian (wayang), ada 4 tokoh nasional yang digadang pantas menyandang predikat punokawan reborn. Pertama Gus Dur yang dikiaskan sebagai Ki Semar. Sebagai seorang bapak, beliau memberikan petuah-petuah bijak kepada masyarakat ketika menjabat menjadi presiden. Begitu disegani oleh siapapun lawan politiknya.
Selanjutnya adalah Ahmad Musthofa Bisri alias Gus Mus yang juga teman karib Gus Dur ketika masih hidup. Gus Mus diibaratkan seperti Gareng dengan karakter bijaksana dalam mengambil keputusan (tidak grusa-grusu). Gus Mus merupakan seniman lukis dan juga penyair yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang harmonis penuh cinta dan kasih.
Kemudian ada Cak Nun yang dikiaskan menjadi sosok Petruk dengan kelebihan berbicara di depan khalayak umum. Sedikit nakal dan cerdas dalam menjabarkan sesuatu. Menggagas forum maiyah yang sudah tersebar di berbagai daerah, Cak Nun juga seorang seniman atau budayawan yang pernah aktif di lingkungan politik nasional.
Terakhir si bungsu Bagong yang disematkan kepada Sudjiwo Tedjo. Meskipun tidak berangkat dari kalangan santri seperti ketiga tokoh lainnya, Sudjiwo Tedjo kerap melahirkan buku-buku tasawuf. Ia tidak terlalu tergiur pada bingar-bingar kehidupan dunia dan popularitas. Berangkat dari dunia pewayangan (dalang), beliau aktif menghadiri diskusi-diskusi politik nasional yang kemudian menggenapkan 4 tokoh punokawan.
Sejak beberapa tahun yang lalu, euforia punokawan reborn mulai dikenal dari berbagai kanal media sosial. Masuk dalam ruang industri kreatif (sablon kaos, cinderamata, dan berbagai lukisan), punokawan reborn seolah menjadi oase di tengah gerahnya politik identitas nasional.
Seperti halnya punokawan dalam cerita pewayangan, Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun, dan Sudjiwo Tedjo juga sering berseloroh di forum-forum pengajian ataupun seminar. Di tengah ramainya kampanye punokawan reborn, semoga masyarakat bisa meneladani gairah berpunokawan dalam dirinya masing-masing.
0 comments: