Akulturasi budaya dengan sentuhan teknologi informasi mempengaruhi perubahan sosial dan budaya suatu bangsa. Kemajuan teknologi terakumulasi dalam tren media sosial dengan aplikasi berbasis internet yang membangun dasar ideologi dan teknologi Web 2.0. Memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content setiap penggunanya.
Setiap orang dapat berpertisipasi memberi kontribusi secara terbuka dengan komentar dan membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Perubahan sosial yang mengajak masyarakat terjun ke dunia virtual berdampak pada sensitivitas konflik. Kemudahan melemparkan isu atau wacana yang berpotensi menciptakan perdebatan di ruang publik (media sosial). Dijadikan alat beriklan atau berkampanye dalam motif ekonomis maupun politis.
Perubahan sosial sebab media sosial dalam struktur masyarakat dapat mempengaruhi pola interaksi di dalam suatu yang dapat membangun karakter manusia menuju proses yang lebih baik atau malah sebaliknya. Teknologi informasi menginginkan kemudahan aktivitas manusia mulai dari metode berkomunikasi, berbelanja (transaksi daring), hingga hiburan virtual. Kebutuhan efisiensi memaksa media sosial menyajikan berbagai fitur sesuai keinginan pengguna.
Budaya bermedia sosial menyebabkan masyarakat terikat (candu) yang berimplikasi pada rendahnya interaksi sosial secara luring, aktivitas sosial (gotong royong), hingga pengambilan keputusan berdasarkan musyarawarah mufakat. Meskipun media sosial mencoba menawarkan interaksi mendekati realitas kehidupan, nyatanya kecanggihan teknologi malah dimanfaatkan beberapa oknum untuk menyebarkan hoaks, meretas, merundung, dan menciptakan konflik sosial.
Media sosial mampu membentuk karakter masyarakat menjadi semangat berkonflik pada kenyataan semu. Memperdebatkan kebenaran relatif dan fiktif. Menjadi candu yang mempengaruhi kebiasaan dan pengambilan keputusan personal. Bahkan, sikap fanatisme yang berujung pada narasi kebencian dan perpecahan. Masifnya pengaruh media sosial menyulitkan kontrol pemerintah terhadap kebebasan berekspresi pada negara yang menganut asas demokrasi.
Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Meningkat sekira 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia pada awal tahun 2022 setara dengan 68,9 persen dari total populasi. Fakta tersebut mengindikasikan betapa berperan media sosial untuk mempengaruhi perubahan sosial suatu negara.
Baca Juga : Benturan Sosial Dunia Digital
Sistem Algoritma
Media sosial juga mulai mempunyai andil menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita. Masyarakat, khususnya generasi milenial, perlahan meninggalkan eksistensi media radio, koran, hingga televisi. Industri gadget meningkat pesat yang dipengaruhi kebutuhan masyarakat terhadap internet. Media sosial menawarkan informasi yang aktual dan faktual.
Risiko dari kecanduan gawai pada masyarakat adalah kekuatan kapitalis industri teknologi dalam memainkan peran mengatur sistem sosial dan kebudayaan masyarakat secara universal. Negara berkembang yang menggantungkan roda perekonomian dan interaksi sosial pada media sosial menjadi alat untuk mempengaruhi masyarakat agar melakukan perilaku sosial sesuai yang diinginkan.
Dalam pemograman media sosial terdapat algoritma untuk menentukan bagaimana sekelompok data berperilaku. Tujuannya membantu menjaga ketertiban dan menentukan peringkat hasil pencarian atau iklan. Di aplikasi TikTok misalnya, warganet cukup familiar dengan istilah For Your Page (FYP) sebagai indikator popularitas konten dan fitur rekomendasi dari media sosial yang bersangkutan.
Alogratima media sosial mampu menggiring opini warganet untuk bersikap fanatik terhadap kelompok atau golongan yang disetujui dan juga sebaliknya. Sehingga media sosial mempengaruhi budaya masyarakat untuk lebih gampang berkonflik secara virtual. Masyarakat sulit diberikan pilihan untuk melihat sudut pandang orang atau kelompok lain yang berbeda pilihan.
Dalam kontestasi politik, algoritma bisa memupuk kecintaan dan kebencian yang berdampak pada pembentukan politik identitas. Iming-iming kecanggihan teknologi secara tidak sadar mampu menciptakan iklim konflik yang berujung pada perpecahan. Negara yang tidak mampu mengontrol pengaruh media sosial akan berisiko menyebabkan kehancuran sistem sosial, politik, dan budaya bangsa.
Di China, tahun ini pemerintah membentuk Badan Siber China sebagai regulator mengenai pembatasan pada algoritma konten untuk melarang praktik yang mendorong kecanduan daring dan aktivitas apa pun yang membahayakan keamanan nasional atau mengganggu ketertiban sosial. Algoritma media sosial harus mematuhi nilai-nilai arus utama dan secara aktif menyebarkan energi positif. Algoritma dianggap menjadi inti dari konflik dan kontroversi politik di seluruh dunia.
Sementara di Indonesia, pemberlakuan kebijakan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menuai pro dan kontra dari warganet. Tujuannya untuk kedaulatan digital yang diaplikasikan dalam perlindungan data pengguna, kelayakan sistem teknologi, dan penegakan administrasi hukum regional. Namun fokus algoritma media sosial masih belum mendapat atensi dari pemerintah. Karakter bangsa bisa diciptakan dari intensitas penggunaan gadget dan media sosial.
Ancaman perubahan sosial yang bisa berdampak pada perilaku kriminalitas, pergaulan bebas sejak dini, hingga fanatisme kelompok yang berpotensi pada peperangan. Penggunaan media sosial seolah menjadi tanggung jawab mutlak diri sendiri atau orang tua untuk melindungi anaknya dari pengaruh negatif algoritma. Sementara tanpa pengawasan, setiap warganet akan diiming-imngi tontonan konten seksualitas, kekerasan, dan informasi palsu di media sosial.
Apalagi mayoritas pengguna media sosial adalah generasi Y (milenial) hingga generasi Z yang rentan terhadap doktrinasi dan sikap fanatisme berlebihan. Banyak orang tua mengeluhkan visualisasi media sosial yang mempertontonkan konten seksualitas dan adegan kriminalitas. Tanggung jawab semua pihak untuk konsisten membatasi kelayakan konten media sosial agar tidak merusak kepribadian bangsa yang adi luhur.
Baca Juga : Harmonisasi Kemanusiaan
Dampak
Perubahan berimplikasi terhadap goncangan sosial dan kebudayaan. Kehadir internet dengan segala turunan teknologinya membawa revolusi yang menghapus kebudayaan asli suatu daerah. Krisis identitas menjadi problem yang sering ditemua generasi milenial. Banjir informasi membuat masayarakat bingung dan malas berpikir. Dampak kemajuan industri teknologi informasi justru merusak tata hidup bersama.
Pembentukan kebudayaan atas dasar algoritma media sosial membuat sifat egoisme dan individualisme berkembang begitu cepat. Hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Hubungan manusia sebatas transaksional untung-rugi dan budaya berkorban atau salaing tolong-menolong hampir punah.
Eksistensialisme dengan motif popularitas dan ekonomi menjadi alasan fundamental memanfaatkan media sosial. Orang bisa saling menipu satu sama lain dan berusaha untuk selalu mempercantik diri dengan tampilan visual kemewahan dan kesuksesan. Kepalsuan virtual menjadi budaya yang menjerat kehidupan manusia modern. Media sosial menjadi wadah mengumbar badan dan menjual diri tanpa sikap kesantuan dan kesopanan dalam indikator kebudayaan Nusantara.
Pencitraan merupakan budaya baru di era teknologi digital. Citra berarti abstraksi dari realita yang dibangun atas sekumpulan informasi yang diperoleh dari sumber tertentu. Sehingga pijakan pencitraan adalah persepsi dengan bayangan realita. Sementara banyak persespsi atau anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Dampak sosial yang terjadi adalah kehilangan sikap empati dan nilai-nilai kekeluargaan. Manusia hanya menjadi artis yang memerankan orang lain agar dianggap sesuai ekspektasi yang diinginkan. Manusia kehilangan cinta yang semula fitrah dan berganti dengan kebencian yang mudah menular dan diajarkan.***
0 comments: