CATEGORIES

  Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui seba...

Eksploitasi Kesedihan

 

Eksploitasi Kesedihan

Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui sebagai remaja asal Gorontalo yang patah hati ditinggal pacarnya. Meski terkesan receh, konten kesedihan tersebut banyak diminati masyarakat Indonesia yang suka tertawa di atas kesedihan orang lain.

Selain Fajar Sadboy, musibah yang dialami artis Indra Bekti juga menjadi fenomena kesedihan yang mencoba dieksploitasi media. Upaya istrinya, Aldila Jelita yang menjual kesedihan dengan meminta sumbangan untuk pengobatan suaminya mendapat nyinyiran warganet. Setidaknya ada dua kasus kesedihan yang diperlakukan dengan sikap berbeda, meski keduanya minim mendapat empati masyarakat.

Kesedihan adalah aktivitas privasi yang seringkali dipublikasikan. Bahkan beberapa di antaranya butuh atensi untuk memerkan kesedihannya kepada orang lain. Dari kesedihan akan muncul penderitaan yang lahir dari pikiran, meski sifatnya sementara. Kita sulit menjadi pengamat yang netral melihat kesedihan orang lain karena ketidakmauan belajar dari penderitaan.

Kita harus membiasakan diri menerima kesedihan sebagai bagian dari hidup agar mudah berempati terhadap kesedihan orang lain. Bukan dengan cara mengolok-olok atau mengeksploitasi kesedihan seseorang dengan menjadikannya bahan konten. Kesedihan (duka) muncul akibat pikiran belum siap menerima perubahan besar yang tidak sesuai dengan ekspektasi (harapan).

Kesedihan bisa menimbulkan rasa kecewa, marah, dan perasaan tidak berdaya. Mereka yang tidak siap dengan kehadiran kesedihan akan mudah menyesal dan berdampak pada tindakan menyalahkan diri sendiri. Kesedihan seharusnya membutuhkan motivasi dari orang lain, bukan malah mempermalukannya di depan publik.

Semua orang memimpikan kebahagian sesuai pandangan (Rousseau, 1979) bahwa manusia punya modal berbahagia seperti halnya anak kecil sebelum diprogram oleh keluarga dan lingkungan sosialnya. Anak kecil menjalani hidup apa adanya, tanpa ada harapan dan ketakutan yang berlebihan pada hidup.

Manusia dikepung krisis penderitaan, kekecewaan, harapan, dan rasa bersalah. Muaranya adalah tindakan pelampiasan yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Kita jarang belajar memaafkan dan mengikhlaskan. Sementara budaya membentuk sikap individualistik yang berbahagia melihat kesedihan orang lain.


Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Trauma Sosial

Perilaku mengontenkan kesedihan orang lain cukup menarik dari sisi hiburan dan komersial. Banyak buku, film, dan lagu menjadi populer dengan tema kesedihan. Hal tersebut karena masyarakat banyak yang relate dengan emosi kesedihan. Seolah rasa sedih mendominasi perjalanan hidup manusia daripada rasa bahagia.

Kondisi mental yang akrab dengan kesedihan mendorong sikap traumatis. Ketika kesedihan dikonsumsi publik, perasaan tersebut akan menjadi duka kolektif karena belum rampungnya kesedihan diri sendiri. Kesedihan yang menghasilkan trauma menjadi distorsi yang membekukan sebuah peristiwa negatif.

Trauma adalah bekas luka dari suatu peristiwa negatif di masa lalu. Manusia tidak cukup untuk berempati dan bersimpati dalam situasi kesedihan. Terlihat hanya naluri hewani manusia melihat sesamanya menderita. Semakin parah korban mengalami luka, semakin bergairah kita mengamatinya. Secara psikologis, trauma adalah proses penghayatan subjektif-negatif atas suatu peristiwa yang objektif.

Semua bentuk trauma personal akibat kesedihan dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dari trauma akan terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan. Secara sosial, kesedihan tidak lagi dipandang sebagai trauma kolektif yang membutuhkan empati dan simpati dari yang lain. Namun secara tidak disadari, manusia dihantui kesedihan kolektif yang kerap bersembunyi di balik ekspresi kebahagiaan.

Mengolok-olok kesedihan orang lain merupakan sikap ketidakmampuan manusia mengendalikan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam dirinya. Dalam alam bawah sadarnya, kesedihan orang lain adalah teman yang sama-sama menjalani trauma. Bekas kesedihan masa lalu akan membawa manusia pada dimensi suka mencelakakan orang lain dan bahagia melihat kesedihan yang dialami.

Dampak trauma sosial akan membawa manusia pada bentuk prasangka negatif terhadap etins, agama, dan kelompok minoritas. Kemudian faktor politik, ekonomi, dan benturan budaya melahirkan konflik dan sikap amoral di masyarakat.

Entitas sosial tidak berupaya menyembuhkan kesedihan orang lain, namun justru mengeksploitasinya. Trauma seharusnya dihilangkan (dilupakan), tetapi sebagian orang justru memaksa korban mengingat kembali masalah yang pernah dialaminya. Mengoontenkan dan mengomersilkan untung keuntungan pribadi. Anehnya, aktivitas tersebut justru dijadikan hiburan publik.

Perundungan sosial atas kesedihan orang lain menjadi potret kemanusiaan saat ini. Meski dianggap remeh, setiap orang punya tingkat kesedihan masing-masing terhadap realita yang dialaminya. Kadang membekas dan menjadi trauma. Namun kebanyakan, masyarakat tidak mempedulikan perasaan korban selain menjadi bahan komedi di ruang publik.***

0 comments: