Sudah zaman iPhone 13, tetangga sebelah masih saja pakai radio. Alasannya nostalgia kebiasaan sebelum dijajah teknologi super cepat, selain lebih irit pengeluaran (kuota internet). Meskipun radio tidak bisa menghendaki selera musik pemiliknya, suara seraknya kadang membuat nyaman untuk sejenak berbaring melepas penat.
Radio-radio tetanggaku masih bersih terawat dengan antena menjulang ke langit-langit harapan. Radio tetaplah radio yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah untuk beralih ke digital. Kepemilikan radio dinilai bagian dari masyarakat ekonomi lemah yang hanya bisa menikmati audio tanpa visual, seperti televisi. Sedangkan perubahan selera hiburan saat ini sudah kembali menikmati fitur audio tanpa visual seperti podcast.
Podcast atau radio kekinian merupakan hiburan sederhana saat berkendaraan di jalanan yang macet, suara pengantar tidur, dan pelatihan imajinasi pendengar dari suara penyiar. Imajinasi tersebut di mana pendengar bisa menghayal sedemikian rupa tentang tokoh, cerita, dan pesan yang mungkin disampaikan. Tidak dengan tontonan audio visual yang bisa memalaskan seseorang untuk berimajinasi.
Namun kanal radio kian menipis seiring kurangnya diminati pendengar milenial. Kanal radio banyak yang gulung tikar dan memilih menggunakan medium lain agar lebih dijangkau oleh semua orang. Penyiar radio mulai beralih profesi menjadi pranatacara, YouTuber, dan pekerjaan serabutan lainnya. Radio saat ini paling hanya dinikmati bapak-bapak paruh baya yang gagal dan putus asa beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Padahal sekitar 20 tahun yang lalu, radio merupakan sarana ideal menyampaikan pesan dan meminta lagu paling populer. Penyiar radio menjadi profesi yang menarik untuk mengangkat popularitas dan kemapanan pendapatan. Bahkan banyak bermunculan kanal radio ilegal untuk sekedar eksis mengudara. Tidak dengan sekarang.
Radio sudah menjadi barang rongsokan di gudang, kecuali tetanggaku itu. Sepanjang hari tidak pernah mematikan radio yang ditaruh di meja teras rumah. Kadang suaranya dikencangkan pas ketemu lagu tembang Jawa favorit. Sesekali ikut berdendang mengikuti irama gamelan. Tidak peduli dengan omongan tetangga, asalkan suasana hati riang gembira. Penikmat radio punya alam sendiri untuk menghilangkan stres, kelelahan, dan kejenuhan menjalani hidup.
Baca Juga : Media Dakwah Digital
Sarana Berkampanye
Saat ditinggal keluar rumah, suara radio tetangga tetap stabil pada volume yang menganggu jam istirahat siang warga sekitar. Apalagi kanal yang diputar tidak lagi tembang-tembang klasik. Radio malah dijadikan sarana berkampanye politikus-politikus kurang terkenal. Paling realistis karena kurang dana untuk kampanye di monitor televisi atau diundang artis YouTube untuk mengangkat popularitas.
Mau pasang baliho juga sudah dipenuhi sama puan negara. Radio media paling efektif, efisien, dan murah untuk menyosialisasikan program dan janji-janji palsu. Meskipun pendengarnya relatif sedikit. Setidaknya bisa menyasar generasi tua yang malas mencari informasi ketokohan calon pejabat. Itulah alasan warga kurang begitu nyaman dengan suara sumbang radio tetangga.
“Kecilkan suara radiomu!” pinta salah seorang di depan gerbang tetangga itu. Tentu tidak ada jawaban. Sekeluarga sedang pergi healing entah ke mana. Ya begitulah, menciptakan masalah lalu ditinggal pergi. Bebas melakukan apapun, sedangkan yang lainnya melakukan sesuatu buru-buru dibungkam. Ah, tetanggaku sepertinya tidak sediktator itu.
Meskipun suaranya lantang, radio tetangga kadang juga enak dinikmati. Perkara kanal yang diputar tidak sesuai selera itu relatif. Harus toleransi: memaklumi. Suara radio yang dianggap menggangu akan berhenti kalau pemilik radionya sudah lengser (meninggal). Radio bisa menjadi simbol penyampaian pesan untuk mencoba menikmati sesuatu yang tidak diingini.
Radio tetaplah menjadi radio. Media hiburan rakyat miskin yang jauh dari keadilan sosial. Media hiburan menunggu kematian sebab tidak mampu membeli sembako yang kian malah. Jangan radio dikontaminasi dengan sumpah serapah politikus. Radio tidak boleh malantangkan suara mereka di desa-desa. “Tapi kita hidup di negara demokrasi. Kebebasan.”
Kebebasan bagi yang berkuasa dan bermodal. Ketertindasan bagi masyarakat yang mengemis bantuan sosial. Kalau memang sumua media sudah dijadikan sarana berkampanye, tolong kecilkan suara radiomu! Masih banyak mayarakat yang ingin hidup tenang dan bahagia. Semua hiburan boleh diambil politikus, namun tidak dengan hati nurani kami. Tanpa negara dan pemerintah pun, kami bisa hidup rukun: saling asah, saling asih, dan saling asuh.
0 comments: