CATEGORIES

Bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 setelah Soekarno membacakan teks prokl...

Merajut Kembali Sang Saka Merah Putih

sang saka merah putih

Bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 setelah Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bendera pusaka tersebut dirajut oleh istri terakhir Ir. Soekarno, Fatmawati. Bahan yang digunakan merupakan pemberian dari perwira Jepang yang membawa kain dua blok berwarna merah dan putih.

Terdapat undang-undang khusus untuk mengatur pembuatan dan pengibaran Sang Dwiwarna, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009. Warna merah diartikan sebagai simbol keberanian, sedangkan warna putih yang melambangkan kesucian. Selain itu warna merah juga diartikan sebagai raga manusia, sedangkan warna putih dilambangkan sebagai jiwa manusia.

Tujuan luhur dari Sang Saka Merah Putih sebagai sarana memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu bendera Merah Putih juga merupakan bentuk eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. (Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia)

Kesakralan bendera Merah Putih selalu dikenang dalam peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) pada tanggal 19 September 1945 yang didahului oleh gagalnya perundingan antara Soedirman (residen Surabaya) dan W. V. C. Ploegman. Aksi heroik dari Kusno Wibowo saat merobek dan menurunkan bendera Belanda menjadi merah putih disambut sorak sorai kemerdekaan oleh massa yang menyambut di bawahnya.

Jauh sebelum dikenal sebagai bendera nasional Indonesia, Menurut Ecyclopaedia Britannica (2015), bendera dengan warna merah dan putih ini sebenarnya sudah digunakan sejak zaman Kerajaan Majapahit yang menjadikan bendera merah putih sebagai lambang kejayaan kekuasaan pada abad ke-13 sampai abad ke-16.

Kerajaan Kediri juga sudah menggunakan bendera merah putih sebagai panji kerajaan. Bahkan, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak juga menggunakan warna merah putih. Selain itu, beberapa perang di Aceh menggunakan bendera perang warna merah putih sebagai simbol perjuangan.

Pada masa kekuasaan Raja Adityawarman abad ke-14, bendera Merah Putih dikibarkan di Minangkabau. Pada 1613–1645, Sultan Agung pernah menggunakan bendera Merah Putih sebagai pendorong kekuatan dan perlindungan bagi prajurit melawan VOC di Batavia. Tahun 1825–1830, Pangeran Diponegoro juga menggunakan bendera Merah Putih sebagai panji perang untuk melawan Belanda.

Dalam tradisi Jawa, warna merah dan putih ini digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi di bulan keempat. Mereka membuat makanan berupa bubur merah dan putih. Unsur merah dilambangkan sebagai seorang ibu dan unsur putih dilambangkan sebagai ayah.

 
Baca Juga : Dialog, Solusi Persatuan Indonesia

Politik Identitas

Ada cita-cita luhur dari partai politik dan perangkatnya untuk memajukan bangsa dan negara. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, tujuan didirikan partai politik adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, mengembangkan kehidupan demokrasi, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertentangan antara politik identitas nasionalisme dan agama sudah membelenggu stabilitas negara. Perbedaan pandangan mengenai identitas politik melahirkan berbagai isu dan pertentangan di tengah masyarakat karena lahirnya propaganda dan klaim kebenaran antar kelompok.

Politik identitas muncul dari sebuah kelompok sosial yang merasa ditindas, diintimidasi, dan didiskriminasi oleh dominasi pemerintah dan negara. Konflik politik berkaitan dengan ketegangan antara kelompok superior dan inferior. Sejarah panjang perjuangan kaum nasionalis dan agama bagi kemerdekaan Indonesia melahirkan perbedaan arah tujuan negara yang kemudian menyepakati pancasila sebagai perjanjian agung mewujudkan cita-cita bangsa.

Mayortias penduduk Indonesia yang beragama Islam semakin menebalkan politik identitas ketika isu sensitif berkaitan dengan agama bergulir di publik. Setiap kebijakan pro dan kontra selalu dikaitkan dengan sikap nasionalis dan islamis. Di negara demokrasi tidak ada ketakutan menyampaikan opini dan aspirasi untuk menguatkan argumen meyakini pilihan politiknya.

Perekrutan tokoh-tokoh politik yang bersebrangan dalam kontestasi pemilu tak lantas meleburkan ketegangan politik indentitas di Indonesia. Media sosial menjadi ajang pertempuran mempertahankan ideologi melihat arah perpolitikan Indonesia. PDI Perjuangan beserta koalisinya yang dicitrakan sebagai partai nasionalis dengan warna merah sebagai simbol keberanian. Sedangkan PKS beserta kroninya dicitrakan sebagai partai islamis dengan warna putih sebagai simbol kesucian.

Gagasan revolusi mental ditentang dan disaingi dengan gagasan revolusi akhlak. PKS menjadi satu-satunya partai yang mengikrarkan sebagai oposan di lembaga legislatif. Meskipun menjadi partai oposan tunggal, pertentangan identitas politik di tengah masyarakat masih begitu sengit seperti saat proses pilihan presiden.

Sang Saka “Merah” dan “Putih” perlu dirajut kembali seperti sedia kala. Mengawinkan gagasan nasionalis dan agama untuk kemajuan bangsa. Harmonisasi revolusi mental dan akhlak sebagai prasyarat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Jika tidak bisa merajut kembali Merah Putih, setidaknya jangan pernah merobek dengan sikap antipersatuan. Indonesia adalah negara besar, menjadi terlihat kecil karena susahnya mengatur problematika internal bangsa.


Pernah dimuat di Suara Kebebasan

https://suarakebebasan.id/merajut-kembali-sang-saka-merah-putih/ 

 

0 comments: