Di tengah keriuhan jagad maya tentang kebijakan semasa pandemi, isu politik dan sosial semakin menambah nestapa masyarakat Indonesia. Tentang keadilan di mata hukum, kebebasan berekspresi, hingga kampanye dini melalui baliho-baliho di pinggir jalan raya. Kebijakan PPKM berlevel seharusnya menjadi “puasa bersama” mengatasi kompleksitas permasalahan negeri.
Vaksinasi yang dijadikan harapan tak menentu juga masih jauh dari target. Hingga bulan September, total vaksinasi dosis kedua baru menyentuh angka 17,45% dari total penduduk Indonesia. Padahal untuk mencapai herd immunity kasus varian original Covid-19, suatu negara harus sudah memvaksin 70% penduduknya. Sedangkan dalam kasus varian Alpha dan Delta, bisa dibutuhkan 82,1% total penduduk yang sudah divaksin.
Tantangan terhadap konsep persatuan bangsa menjadi lebih rumit ketika banyak warga negara yang enggan divaksin. Alasan kesehatan atas dampak pascavaksin menjadi penyebab utama tersendatnya target vaksinasi nasional, selain juga distribusi vaksin, ketidakpercayaan terhadap Covid-19, hingga faktor agama. Apapun itu pemulihan dunia dari masa kelam pandemi masih sulit diprediksi. Belum lagi kemunculan varian baru (Mu) yang lebih resisten atau kebal terhadap vaksin.
Pemerintah kerap menjadi sasaran kritik masyarakat yang dipaksa taat terhadap kebijakan yang tidak konsisten. Banyak aturan yang dilanggar, memanipulasi data, hingga kesenjangan ekonomi semakin melebar. Di sisi lain, pemerintah terbentur dengan amanat konstitusi. Dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya hak memperoleh kesehatan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Karena dampak pandemi yang cukup kompleks, pemerintah perlu kerja keras mencapai titik ekuilibrium nasional antara kesehatan dan ekonomi. Harus ada yang dikorbankan dan diperjuangkan. Hingga akhirnya kebijakan PPKM berlevel diambil sebagai jalan tengah mengatasi problem di tengah masyarakat. Tentu tidak bisa memuaskan semua pihak ketika diberlakukannya pembatasan yang berpengaruh signifikan terhadap omset penjualan dan bisnis UMKM. Namun mengorbankan kesehatan masyarakat (penularan Covid-19 yang tidak terkendali) juga bisa berakibat fatal terhadap keselamatan warga negara.
Baca Juga : Akhir Kisah Pandemi
Menanti Harapan
Harapan adalah bagian tak terpisah dari perjalanan hidup manusia. Bentuknya bisa dipahami menjadi keinginan, cita-cita, dan impian. Medianya bisa melalui doa yang kemudian diikhtiari agar harapannya bisa diwujudkan. Harapan dijadikan alasan untuk memotivasi seseorang agar punya hasrat (tidak putus asa) dalam hidup. Meskipun kadang bisa menjadi paradoks ketika harapan tidak terwujud. Harapan berubah menjadi kekecewaan dan kehancuran.
Di masa pandemi, harapan manusia paling fundamental adalah bagaimana bisa bertahan hidup di antara jutaan manusia yang meninggal akibat Covid-19. Kemudian upaya untuk memenuhi kebutuhan (kelangsungan hidup) dengan bekerja. 1,5 tahun lebih masyarakat teraniaya dengan mengubur berbagai harapan. Mengeliminasi pendidikan tatap muka, mengorbankan panggung kesenian, dan memasrahkan diri dipecat dari perusahaan yang terancam pailit.
Seperti halnya surat fenomenal RA. Kartini berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, masyarakat Indonesia perlu mengurai harapan-harapan yang sempat hilang ditelan pandemi. Ketika Kartini memperjuangkan pendidikan wanita, masyarakat kini harus kompak memperjuangkan kesatuan melawan Covid-19. Pandemi adalah masa-masa gelap gulita, yang harapannya akan lekas menjadi terang benderang.
Mengenang gagasan Ir. Soekarno dalam perumusan pancasila dari diksi ketuhanan yang berkebudayaan, mengilhami budaya bangsa Indonesia dalam beragama agar mempunyai budi pekerti yang luhur, saling menghormati, saling menghargai, tidak egois, dan tidak fanatik. Ketika dijadikan simbol utama pancasila (Ketuhanan yang Maha Esa), aspek kerohanian adalah unsur utama yang harus terintegrasi dengan sila-sila lainnya.
Ada harapan yang dibungkus dalam spiritualitas manusia. Menyandarkan keyakinan akan kebesaran Tuhan dalam mengatasi wabah. “Maka sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (Al-Insyirah 5-6). Setidaknya pandemi dijadikan momentum merefleksikan diri atas kemungkaran manusia di muka bumi. Mengembalikan alam yang bersih dari polusi. Kemudian bersabar, karena setelah kesulitan akan dijanjikan kemudahan.
Tentu butuh banyak pengorbanan dari pemerintah, perusahaan swasta, seluruh elemen masyarakat. Seperti dasar pemikiran Soekarno dalam merancang konsep ekasila dengan gotong royong sebagai variabel penting bersatunya bangsa melawan apapun dan siapapun, termasuk pandemi. Sambil menunggu target vaksinasi nasional, mari mengheningkan cipta untuk berdoa dan berharap agar pandemi segera berlalu. Menyongsong hari esok yang lebih cemerlang.
Pernah dimuat Geotimes
0 comments: