Pada tanggal 23 Desember 1957 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) memperjuangkan terwujudnya keluarga-keluarga sejahtera melalui 3 macam usaha pelayanan seperti mengatur kehamilan atau mengurangi kehamilan, mengobati kemandulan, dan memberi nasihat perkawinan. Kemudian disusunlah Program Keluarga Berencana (KB) yang tertuang dalam UU No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
Tujuan spesifik program KB adalah membentuk keluarga kecil sejahtera, sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga tersebut, mencanangkan keluarga kecil dengan cukup 2 anak, mencegah terjadinya pernikahan di usia dini, menekan angka kematian ibu dan bayi, dan menekan jumlah penduduk serta menyeimbangkan jumlah kebutuhan dengan jumlah penduduk di Indonesia. Program Keluarga Berencana (KB) tidak ada kaitannya dengan menolak kehadiran anak, namun justru dibuat untuk mewujudkan keluarga yang sehat, bahagia, dan sejahtera.
Kesejahteraan keluarga tentu masih menjadi tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya. Menyusun program dan kebijakan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan indeks kebahagiaan penduduk. Salah satunya dengan sosialisasi dan implementasi program KB secara menyeluruh.
Namun kebijakan tersebut banyak menemui konfrontasi di masyarakat. Dalam ideologi masyarakat Jawa misalnya mengusung falsafah “banyak anak, banyak rezeki”. Selain tantangan kultur budaya, aspek spiritual juga menjadi penghambat program KB sebab doktrin anak adalah jalan pintas menyebarkan (mensiarkan) ideologi agama. Tidak ada kekhawatiran perihal ekonomi keluarga ketika menyandarkan rezeki kepada Tuhan (agama).
Kampanye pernikahan dini juga menjadi ancaman program KB. Gerakan masif berlatar belakang agama menjadikan isu pernikahan dini menjadi fenomena lumrah kalangan generasi milenial. Perihal keluarga, masyarakat berusaha melepaskan diri dari ketergantungan kesejahteraan yang diatur pemerintah melalui program KB. Keluarga adalah urusan internal yang masa depan kebahagiaan ditentukan olehnya sendiri, bukan bergantung kepada pemerintah. Meskipun nantinya akan ada tanggung jawab moral dari pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Bonus demografi merupakan fenomena paradoks dari berhasil dan tidaknya program KB. Manfaatnya adalah kemajuan negara yang ditentukan faktor unggulnya penduduk usia produktf. Dampak negatifnya adalah ketidakmampuan pemerintah mengontrol dan memfasilitasi meledaknya jumlah penduduk. Namun tolok ukur keberhasilan program KB bukan ditentukan jumlah banyak dan sedikitnya jumlah penduduk suatu negara, melainkan lebih kepada pembangunan keluarga yang sejahtera.
Baca Juga : Menikah Untuk Bercerai
Bencana Keluarga
Di antara segala bentuk problematika kehidupan, salah satu pengejawantahan tujuan hidup manusia adalah untuk menikah. Sebagai usaha untuk berkembang biak dan meneruskan ideologi kepada anak (keturunan). Dalam kampanye keluarga berencana, ada tujuan yang ingin dicapai. Biasanya rencana manusia adalah untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Kesuksesan sendiri adalah pertemuan rencana (persiapan) dengan kesempatan. Sedangkan tujuan keluarga utamanya adalah membuat sistem pendukung untuk kesuksesan keturunannya.
Kebutuhan utama yang mendorong individu untuk menikah (berkeluarga) adalah kebutuhan material, kebutuhan seksual, dan kebutuhan psikis. Sedangkan dalam perspektif psikologi, menikah didasarkan pada faktor cinta, rasa aman, pengakuan, dan persahabatan sebagai kebutuhan utama. Jika kebutuhan tersebut terpenuhi, maka akan merasakan kebahagiaan dalam berumah tangga.
Namun berkeluarga tidak sekonsisten bahagia yang dibayangkan. Ada keniscayaan konflik dalam keluarga yang biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai dan krisis komunikasi yang ada di dalam keluarga. Konflik di masa lalu bisa menjadi sumber konflik di masa kini dan masa depan. Luka di masa lalu yang bisa menjadikan trauma dan berdampak pada keharmonisan keluarga hingga terjadi perceraian.
Ketika perceraian dijadikan solusi atau jalan pintas mengakhiri konflik rumah tangga, akan banyak korban yang terimbas akibat perceraian. Jika sudah mempunyai anak akan berdebat memperebutkan hak asuh, memperebutkan harta gono-gini, mencoreng status sosial keluarga besar, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ada sekitar 3,97 juta penduduk Indonesia sudah cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan 1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta jiwa.
Tentu masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk terus berupaya mencegah terjadinya perceraian dan mencapai kualitas kesejahteraan keluarga. Menyusun program kajian pranikah dan sosialisasi pentingnya menjaga komunikasi keluarga. Manusia berencana menikah sebab keinginan terhadap kebahagiaan, bukan malah menjadi bencana dan penderitaan.
Pernah dimuat Times Indonesia
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/392933/keluarga-berencana
0 comments: