Demokrasi lahir ditandai adanya beragam penindasan politik dan ekonomi dengan mengorbankan rakyat sebagai tumbal kesejahteraan. Yang menjadi sasaran demokrasi adalah legitimasi dan keadilan, bukan retorika yang berbuah ketidakadilan. Dorongan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama kerap bermuara pada frustasi kebijakan di tingkat parlemen.
Indonesia adalah negara yang menganut demokrasi modern dengan berpijak pada pancasila. Demokrasi di Indonesia tidak mengacu pada nilai-nilai liberalisme, melainkan perpaduan antara agama, kemanusiaan, dan sosialisme. Risiko yang terjadi adalah demokrasi akan mendorong terjadinya konflik. Sesama masyarakat maupun dengan pemerintah.
Demokrasi membutuhkan kepemimpinan dan keterampilan berorganisasi. Namun implementasi kampanye berdemokrasi hanya dijadikan dalih untuk semakin memperkuat dominasi kekuasaan. Demokrasi dijadikan alat kosmetik politik untuk dijadikan daya tarik popularitas tokoh dan partai. Tujuan demokrasi adalah legitimasi dan keadilan, bukan retorika yang berbuah ketidakadilan.
Politik demokrasi Indonesia masih intim melakukan kompromi dan lobi jatah kekuasaan. Kepentingan rakyat dilanggar untuk memuaskan gairah berkuasa (menjajah) segelintir elit politik. Bahkan beberapa di antaranya menggunakan ornamen agama untuk menciptakan gaya politik identitas. Demokrasi kerap dijadikan barang jualan politikus. Meneriakan kebabasan hak asasi, menjunjung keterbukaan, memperkuas legalitas hukum yang setara dan berkeadilan. Namun realita politik domestik malah sebaliknya.
Budaya demokratis harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional secara menyeluruh agar tidak gampang ditipu sandiwara politik. Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, melainkan soal menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan berpijak pada nilai-nilai yang disepakati bersama secara rasional, terbuka, dan bebas. Jangan sampai demokrasi hanya dijadikan transaksi jual beli politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Keterlibatan politik dan keadilan adalah tujuan inti demokrasi modern. Aspek kesetaraan warga negara di hadapan hukum dan politik perlu diperkuat. Selain itu juga aspek kebebasan yang berakar pada hak-hak asasi manusia, yakni kebebasan untuk hidup, berpikir, berpendapat, dan beragama. Demokrasi akan terus terancam ketika aspirasi rakyat tidak pernah mendapat tempat dalam menyusun tata kelola kebijakan lembaga pemerintah dan negara.
Baca Juga : Beraspirasi di Negara Demokrasi
Demokrasi Dagelan
Jarak antara pejabat di parlemen dengan rakyat semakin curam. Rakyat hanya dijadikan tameng melegalkan ambisi kekuasaan. Wakil rakyat hanya sebatas formalitas nama dan pemilihan yang sarat sandirwara politik. Tidak ada aspirasi dan perpanjangan kebutuhan rakyat selain belenggu partai politik. Koalisi akan tetap menjadi musuh oposisi, tidak ada rakyat dan demokrasi yang semula diagung-agungkan.
Politik dalam suatu negara berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution). Kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah satu dari sekian keputusan politik yang mengorbankan rakyat sebagai objek politik. Dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebabkan representasi dari parlemen sangat lemah.
Pemberlakuan Presidential Threshold dapat mengebiri hak politik (hak dipilih dan memilih) rakyat untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden pilihan. Pemimpin hanya disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak mengikuti selera politik oligarkis. Dampaknya adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam menggunakan hak politiknya.
Ketidakmampuan setiap warga negara mencalonkan diri sebagai presiden menyebabkan fenomena lobi politik menjadi sebuah keniscayaan. Independensi Jokowi pun runtuh ketika semasa kampanye lantang koalisi tanpa syarat, namun akhirnya membagi jatah kekuasaan. Realita sistem politik yang menghendaki jual-beli demokrasi. Sedangkan rakyat hanya bisa menyaksikan demokrasi dagelan para politikus yang mengabaikan hak konstitusi dasar dalam berpolitik.
Presidential Threshold hanyalah konspirasi partai besar untuk mendominasi kekuasaan dan kebijakan publik. Presiden hanya dijadikan boneka menyalurkan hasrat politik secara formal. Demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan dibeli oleh seperangkat alat politik yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat diatur oleh sistem politik untuk memilih (tanpa hak dipilih) presiden.
Wakil rakyat juga tidak punya gairah menyampaikan aspirasi ketika dibungkam oleh prinsip loyalitas partai. Demokrasi dagelan hanya akan mempertunjukan kontestasi politik orang-orang yang sudah dicetak oleh sistem politik. Tidak ada harapan memilih tokoh-tokoh yang berintgritas sebab kalah elektabilitas. Selama tidak ada kesadaran membenahi transaksi politik demokrasi, maka politik Indonesia tetap akan membungkam nalar kritis rakyat yang mencitakan sistem demokrasi modern.
Politik di Indonesia kerap menjual demokrasi saat pemilihan umum, selanjutnya membeli demokrasi untuk mempertahankan dominasi kekuasaan. Rakyat hanya diberikan kebebasan untuk mengkritik tanpa ada harapan terhadap perubahan. Demokrasi di Indonesia konsisten menjadi barang dagangan para politikus mengatasnamakan rakyat dan keadilan.
Pernah dimuat Petisi
0 comments: