Perempuan butuh kebebasan. Demikian yang selalu diperjuangkan kelompok feminisme dan pejuang kesetaraan gender. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kebebasan perempuan selama ini masih kurang?
Sebelum membahas tentang diskursus kesetaraan gender, perlu dipahami tentang esensi gender yang kadung dijadikan kajian seputar jenis kelamin. Padahal dalam perkembangannya, kajian ilmu pengetahuan membagi beberapa kriteria gender dalam berbagai klasifikasi seperti; perempuan biasa, sangat feminim, lelaki biasa, sangat maskulin, hingga perempuan yang maskulin atau sebaliknya. Fakta tersebut yang menjadikan keragaman orientasi seksual seputar gender.
Dualisme lelaki dan perempuan cukup mengikat paradigma masyarakat yang kemudian dimaklumi sebagai keniscayaan. Penindasan terhadap perempuan dijadikan dalih peran kodrati. Perempuan membatasi kebebasan dan menutup kebahagiaan sebab informasi seputar kesetaraan gender terhalangi sistem patriarki yang sudah ada sejak lama.
Perjuangan kampanye kesetaraan gender terapaksa mengambil bentuk protopia, yakni perkembangan tahap demi tahap yang membutuhkan kesabaran dan usaha bersama secara berkelanjutan. Tidak ada perubahan sosial secara revolusioner. Belum lagi doktrin agama dan budaya yang semakin menggerus kebebasan perempuan menemukan kebahagiaan.
Paham konservatisme masih dipegang kuat masyarakat sebagai bentuk nilai pada tradisi yang telah terbukti berhasil di masa lalu. Belum ada sikap kritis terhadap pandangan konservatisme yang pada akhirnya mengorbankan perempuan sebagai objek eksploitasi lelaki. Perempuan masih dominan dijadikan objek pornografi dan pelecehan seksual. Kesannya masalah pornografi adalah tentang praktek membatasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan dipenjara, karena takut mengundang nafsu lelaki.
Pola pikir semacam ini disebabkan kultur masyarakat Indonesia yang didominasi agama-agama semitik (Yahudi, Kristen, Islam) untuk menempatkan perempuan di kelas bawah. Di bidang pendidikan, perempuan “dilarang pintar” sebab kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmonisasi masyarakat.
Lelaki diberikan kebebasan dan perempuan dikungkung batasan. Perempuan dianggap lemah dengan menempatkannya sebagai pembantu lelaki. Lelaki lebih layak diangkat sebagai pemimpin dari segala intitusi atau organisasi yang ada. Perempuan diberikan tanggungjawab seadanya tanpa melibatkannya dalam pengambilan kebijakan.
Dalam instrumen material didesain lebih ribet daripada lelaki. Mulai dari dandan, cara berpakaian, dan atribut lainnya. Lelaki lebih simpel dan memperoleh kenyamanan lebih. Belum lagi aturan perilaku yang banyak diketatkan pada perempuan. Kondisi sosial (lingkungan) yang membentuk peradaban patriarki dari institusi dasar keluarga.
Istri menempatkan diri dalam peran kepasrahan. Sehingga dalam keluarga, perempuan dijadikan pendukung atau pembantu kesuksesan atau malah penyebab kehancuran suami (pimpinan keluarga). Lelaki lebih diuntungkan karena perempuan (istri) lebih mudah diatur dan diperintah. Praktek patriarki yang terlanjur membudaya menempatkan istri hanya boleh mengurusi persoalan domestik; kasur, sumur, dan dapur. Relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri diposisikan pada subordinat di bawah suami.
Baca Juga : Mengembalikan Semangat Kesetaraan Gender
Posisi penting dalam properti di dunia mayoritas diatasnamakan lelaki. Padahal secara jam kerja produktif, perempuan lebih banyak proporsinya meskipun hasilnya tidak terlihat. Menariknya, perempuan banyak yang tidak menyadari penindasannya.
Dalam semangat perjuangan kesetaraan gender, strata tercipta hanya untuk Tuhan dan hamba-Nya. Perbedaan antar manusia terjadi sebab fungsi dan kedudukannya, selebihnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata politik, sosial, budaya, hingga agama. Perjuangan gerakan feminisme adalah mencapai titik keadilan. Meminta perhatian dan keberpihakan untuk ruang perempuan sampai sejajar dengan lelaki. Kesalahkaprahan pemahaman gender adalah dimaksudkan sebagai kodrat. Padahal urusan kodrat adalah sisi seksualitas. Sedangkan gender adalah kesepakatan komunal.
Tugas rumah tangga tidak bisa dilekatkan pada perempuan, sebab urusannya gender (kesepakatan). Ketika suami-istri menyepakati mengenai wewenang hak dan tanggung jawab, maka semua bisa berjalan selaras dan berkeadilan. Budaya patriarki menciptakan kirisis identitas pada perempuan. Perempuan bingung pada ketidaktahuannya menerapkan fungsi dan nilai yang dianutnya. Sehingga orientasi perempuan selalu berharap mendapatkan lelaki yang mapan. Perempuan hanya mencita-citakan 3 hal dalam hidupnya yakni; keromantisan (cinta), kenyamanan (rumah), dan kemapanan suami.
Kodrat manusia adalah bersikap dinamis, namun budaya patriarki yang menuntut perempuan bersikap statis. Perempuan selalu dianggap dalam posisi lemah dan tidak pantas mengambil kebijakan. Padahal perempuan adalah penerus ideologi kehidupan. Mereka yang menciptakan (melahirkan) kehidupan manusia.
Lu Yu-Lan menjelaskan bahwa emansipasi perempuan pada dasarnya adalah upaya transformasi yang melibatkan seluruh elemen yang membentuk masyarakat. Perempuan membutuhkan 3 aspek memperjuangkan statusnya yakni; jaminan negara agar keluar dari mitos yang memenjarakannya, menghargai pekerjaan domestik maupun publik, dan pemberdayaan keluarga.
Dalam kemajuan peradaban teknologi dan informasi, perempuan membutuhkan eksistensi terhadap potensi dalam dirinya. Perlu kesepakatan dan pemahaman mengenai hak kebebasan perempuan mengeksplorasi diri. Meninggalkan budaya konsrvatif patriarki yang lama memenjarakan perempuan dalam penderitaan.
Pernah dimuat Dunia Santri
https://www.duniasantri.co/liberalisasi-perempuan/?singlepage=1
0 comments: