Jokowi dikenal sebagai presiden yang paling doyan reshuffle kabinet. Terakhir pengangkatan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan yang diberikan jabatan sebagai Menteri Perdagangan (Mendag). Selain juga Marsekal (Purn) TNI Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/BPN. Posisi wakil menteri juga mendudukan Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Watipo, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor, dan Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni.
Tercatat sudah tujuh kali Jokowi melakukan bongkar pasang kabinet sejak pertama ia menjabat sebagai presiden. Alasannya tentu untuk memaksimalkan sistem dan program kerja yang sesuai target kabinet. Meskipun pada akhirnya, banyak dikritik lantaran diangkatnya para politisi untuk duduk nyaman di kursi kabinet.
Pemilihan Zulkifli Hasan sebagai Mendag banyak memicu polemik di masyarakat. Mendag merupakan jabatan strategis untuk memulihkan dan membangkitkan ekonomi masyarakat dan negara. Namun Jokowi malah memilih untuk melantik politisi daripada mencari kalangan profesional. Mengingat proses pemilu 2024 segera dimulai, agaknya motif politis atas penunjukan Zulkifli Hasan patut dianalisis. Apalagi PAN selama ini cenderung bersikap sebagai opisisi di pemerintahan.
Persepsi di masyarakat menciptakan keraguan akan kegagapan Jokowi menyusun kabinet hingga harus melakukan beberapa kali reshuffle kabinet. Apalagi kampanye periode pertama menjabat masih teringat tentang independensi Jokowi memilih pembantu dari kalangan profesional. Sekarang Jokowi malah terbelenggu dengan tekanan politik dari berbagai partai di jajaran Kabinet Indonesia Maju.
Dampak positifnya mungkin akan tercipta kestabilan politik jelang konstentasi 2024. Jokowi akan bertindak sebagai masinis yang bertugas mengendalikan arah kereta api beserta semua gerbang di belakangnya. Mengurangi intensitas konflik akibat politik identitas di 10 tahun terakhir.
Namun dampak negatifnya adalah pertaruhan masa depan bangsa akibat dipimpin oleh mereka yang bukan dari kalangan profesional atau dalam bahasa lain tidak memiliki kompetensi sesuai bidang yang ditugaskan. Dampaknya terhadap negara adalah merosotnya kesejahteraan masyarakat, kesenjangan keadilan, dan pertaruhan jaminan masa depan bangsa.
Skenario politik Jokowi adalah memberikan kesan ketegasan demi kepentingan bangsa. Sedangkan di dalam proses reshuffle kabinet diindikasikan memuat kompromi politik busuk (rotten compromise). Di sisi lain, Jokowi berambisi menjadi pemimpin yang otoriter dengan kemampuan mengendalikan semua elit politik partai demi memuluskan ambisi kebijakannya.
Baca Juga : Ganjaran bagi Ganjar
Revisi Kebijakan
Selain reshuffle kabinet, Jokowi juga dikenal sebagai “pahlawan rakyat” berkat kejeniusannya membatalkan sebuah kebijakan yang sekiranya tidak prorakyat. Kasus terbaru adalah pembatalan kebijakan kenaikan tarif masuk Candi Borobudur yang mencapai Rp750.000 bagi wisatawan domestik.
Sebelumnya, rencana kenaikan tiket masuk Candi Borobudur disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Hargat tiket untuk turis lokal dipatok Rp750.000 dan mancanegara US$ 100. Akibat kritik masal warganet di media sosial, akhirnya Jokowi menjadi sosok pembela rakyat dengan keputusan membatalkan kebijakan tersebut.
Sebelumnya juga sering terjadi pembatalan kebijakan yang dilakukan oleh para menterinya sendiri seperti Permenaker Jaminan Hari Tua (JHT), penerapan Full Day School, larangan Transportasi Online, Pembatalan kenaikan Harga Premium, dan mencabut surat imbauan menyayikan Lagu Indonesia Raya di bioskop.
Pembatalan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat luas tentu membuahkan apresiasi dari berbagai kalangan. Jokowi kembali menjadi sang juru selamat ketika muncul kebijakan “ngawur” dari para pembantunya. Di sisi lain, ada sentimen negatif bahwa menteri dan presiden tidak melakukan komunikasi yang baik perihal penentuan kebijakan.
Seolah kebijakan yang menimbulkan polemik diatur secara politis untuk mengangkat citra Jokowi yang selalu dipihak rakyat. Menteri dibiarkan bebas berkreasi menentukan kebijakan tanpa mempertimbangkan risiko terhadap kemaslahatan rakyat. Blunder kebijakan dianggap kewajaran sebagai bumbu demokrasi yang melibatkan interaksi rakyat dan pemerintah.
Politik adalah siasat mengelabuhi rakyat. Jurgen Habermas dalam buku klasiknya, Theory of Communicative Action (1988) menyatakan bahwa membangun demokrasi partisipatoris memerlukan kemampuan komunikasi politik yang kuat. Konteks ideal yang dibayangkan adalah terjadinya dialog antara pembicara dan penutur secara intensif, terbuka, dan setara.
Namun komunikasi politik Indonesia dilakukan sekedar menguatkan basis koalisi dan kekuasaan. Sementara komunikasi politik mengenai kebijakan dibiarkan mengambang menunggu respon masyarakat. Kemudian tokoh utama (Jokowi) muncul sebagai figur yang diidolakan untuk menyelamatkan rakyat.
Sehingga untuk memahami situasi politik domestik dibutuhkan uji kejelasan arti, kesungguhan maksud, dan kebenaran faktual. Namun keterampilan Jokowi dalam bertindak dan bertutur secara signifikan meminimalisasi konflik dalam pembangunan demokrasi. Mengurangi ruang dialog politik untuk tujuan pencitraan yang ideal sebagai pemimpin bangsa.***
0 comments: