Manusia dibekali kekuasaan untuk menentukan pilihan (keputusan) yang disandarkan pada spektrum moralitas. Otonomi pribadi manusia menciptakan penghargaan dan tanggung jawab untuk memilih kebaikan dan keburukan secara relatif. Keterikatan sosial antar manusia yang kemudian menciptakan standar moralitas komunal. Menyusun aturan untuk disepakati meskipun kadang bertolakbelakang dengan hati nurani.
Guru dan pelajaran paling diharapkan adalah implementasi dari kebijaksanaan yang diperoleh dari berbagai ilmu. Informasi menjadi data yang diterima dan direkam secara konsisten oleh otak manusia. Pengetahuan mengaktualisasikan informasi agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Terkadang melubernya informasi yang ditampung otak sering tidak bisa ditransfer menjadi pengetahuan. Risikonya menyebabkan kecacatan informasi sekunder yang berorientasi pada konflik.
Keluasan ilmu seseorang tidak serta merta menjadikan manusia berlaku sesuai kapasitas keilmuannya. Ilmu yang diterima terkadang hanya menjadi sampah yang terselip. Sehingga perilakunya tidak sinkron dengan perkataannya. Labil dan memaksakan kebenaran yang kontradiktif dengan keyakinannya. Sampai pada kesimpulan berilmu berarti beriman dan sebaliknya.
Iman erat kaitannya dengan aspek keagamaan seseorang. Agama dianggap berpijak pada kepercayaan, sedangkan ilmu berpijak pada akal budi. Keilmuan manusia didapatkan melalui berbagai cara seperti pengamatan, pengalaman, dan pencarian wawasan (membaca literatur). Sedangkan iman muncul sebab taklid, pengolahan informasi, lingkungan, dan kecenderungan nurani.
Banyak kejadian manusia lebih mengedepankan iman daripada ilmu untuk melemparkan wacana perdebatan. Iman kerap dijadikan dalih keterbatasan ilmu. Menggantungkan kebodohan (kurangnya pengetahuan) kepada Tuhan. Kegaiban dijadikan landasan fundamental beriman. Sedangkan kematangan berilmu akan meningkatkan kualitas keimanan. Sebab esensi ilmu adalah memecah, sedangkan iman menyatukan. Bukan sebaliknya.
Semakin berilmu, seseorang akan semakin tergelitik untuk mengulik segala fenomena yang tertangkap oleh indera manusia. Hasilnya tentu perdebatan karena perbedaan konsep memahami kebenaran ilmu. Iman menjadi jalan tengah dengan pengakuan diri atas ketidakmampuannya meraih jagad ilmu. Iman akan menyatukan persepsi ketidaktahuan kepada sesuatu yang sifatnya tidak terjangkau.
Dalam kajian filsafat Timur, iman tidak datang dari taklid (kepercayaan buta), tetapi dari eksperimen yang berkepanjangan. Ilmu dan iman adalah jalan menuju pencerahan dan pembebasan. Konflik terjadi karena hasil dari kesalahan cara berpikir. Puncak dari iman adalah kesadaran yang dicapai melalui kemapanan berilmu. Kesadaran tersebut menciptakan ajaran cinta untuk melawan kebencian akibat kedangkalan ilmu dan ketidakmampuan mengimplementasikan ilmu.
Agama harus berkorelasi dengan keberagaman (perbedaan). Agama yang menolak keberagaman sebagai keniscayaan membuktikan kedangkalan ilmu untuk meyakini sesuatu. Ilmu hanya dijadikan alat bereksistensi dan iman dijadikan kampanye mempopulerkan keeksistensiannya. Padahal setiap orang punya keimanan murninya masing-masing yang didapatkan dari pengalaman yang sudah dicapai.
Namun kadang banyak orang yang sering meragukan keimanannya dengan memilih melibatkan porsi keimanan kepada orang lain. Gampang dipengaruhi dan dimanipulasi keimannya karena rendahnya ilmu. Selebihnya hanya menjadi manusia egois dan pemarah kepada siapapun yang berbeda dengannya. Merasa paling benar padahal masih miskin pengetahuan.
Setiap orang bisa memilih siapapun dan apapun ilmu untuk dimasukan ke dalam otaknya. Namun banyak di antaranya yang tidak mau dan tidak mampu memilah kualitas ilmu yang baik untuknya. Membebek kepada yang lain. Akal sehat dikorbankan demi iman yang setengah-setengah. Doktrin dari sana-sini dibiarkan merusak kejernihan pengetahuan yang berpotensi pada kerusakan keimanan.
Manusia butuh filter untuk memilah ilmu dan iman. Tidak semua ilmu berguna bagi keimanan seseorang, begitu juga sebaliknya. Semakin berilmu seharusnya mengubah paradigma keterbukaan seseorang terhadap iman. Menyadari bahwa setiap orang punya klaim kebenaran masing-masing. Memaksakan orang lain beriman sesuai keyakinan kita adalah cara usang yang tidak relevan dengan zaman sekarang.
Keterbukaan informasi punya dampak positif bagi manusia untuk memperolah ilmu sebanyak mungkin. Di sisi lain akan mengaburkan iman seseorang sebab melimpahnya sudut pandang terhadap kebenaran. Ketika ilmu tidak tersusun dengan baik di otak manusia, sampai di persimpangan iman seseorang akan mempertimbangkan lagi kebenarannya. Kalau dalam istilah Islam, mualaf dan murtad sudah menjadi budaya.
Setelah selesai memilah iman, seseorang akan mudah menentukan iman. Sehingga iman dicapai melalui proses pencaraian, bukan sebab keturunan (warisan). Kebodohan bisa menjadi jalan manusia kehilangan keimanan. Biasakan belajar menerima pengetahuan yang tersebar di sekitar kita. Anggap semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, dan semua kejadian adalah pelajaran. Selamat beriman, manusia-manusia berilmu.
0 comments: