CATEGORIES

Momen Hari Kesaktian Pancasila harus tercoreng dengan Tragedi Kanjuruhan setelah pertandingan sarat rivalitas antara Arema FC melawan Perseb...

Kedaulatan Sepak Bola

kedaulatan sepak bola nasional

Momen Hari Kesaktian Pancasila harus tercoreng dengan Tragedi Kanjuruhan setelah pertandingan sarat rivalitas antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang menewaskan 125 orang (data terbaru dari Kapolri). Kejadian ini menjadi sorotan berita dunia yang menjadi bencana terbesar kedua dalam sejarah sepak bola. Gianni Infantino (Presiden FIFA) pun angkat bicara yang kemudian diikuti prosesi mengheningkang cipta sebelum pertandingan dan penggunaan pita hitam di liga-liga top Eropa.

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai induk organisasi segera melakukan investigasi yang dikomandoi langsung oleh Mochamad Iriawan (Ketua PSSI). Desakan independensi pengusutan insiden bersejarah “pembantaian” masal suporter Arema FC membuat pemerintah melalui Mahfud MD (Menkopolhukam) akan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

Atas dasar kemanusiaan, pada tanggal 2 Oktober 2022, kelompok suporter dari berbagai penjuru Indonesia melakukan aksi solidaritas mulai dari Pasoepati, The Jakmania, Viking, Panser Biru, Slemania, The Macz Man, Pusamania, Semeton Dewata, hingga Bonek. Mereka menyalakan lilin tanda turut berbelasungkawa dengan sesekali menyanyikan chant Aremania. Menujukan bahwa nilai kemanusian masih dijunjung tinggi di tengah rivalitas dan fanatisme antar pendukung.

Dampak langsung dari Tragedi Kanjuruan adalah Arema FC dilarang tampil di Stadion Kanjuruhan selama sisa kompetisi Liga 1 Indonesia. Sementara berbagai sanksi FIFA siap dijatuhkan kepada Timnas Indonesia dan klub-klub di kompetisi. Sanksi bisa berupa pembekuan kompetisi selama delapan tahun, Piala Dunia U-20 dibatalkan, dilarang tampil di Piala Asia 2023, hingga klub Indonesia tidak boleh bermain di AFC Cup dan Liga Champions Asia.

Padahal beberapa hari sebelumnya, Timnas Indonesia sedang bereuforia merayakan tren positif sepak bola nasional yang dilatih oleh Shin Tae-yong. Membawa Timnas Senior dan Timnas U-20 lolos ke Piala Asia sebelum menjinakan Curacao yang membawa Indonesia naik tiga peringkat FIFA. Harapan melihat prestasi dan perjuangan anak bangsa di level dunia menimbulkan sikap psimistis dari pecinta sepak bola Indonesia akibat Tragedi Kanjuruhan.

Namun banyak yang mendukung “peniadaan” sepak bola daripada harus menyaksikan ratusan orang meninggal dunia. Bahwa tidak ada sepak bola seharga nyawa. Tragedi Kanjuruhan menjadi refleksi diri bahwa risiko dari fanatisme berlebihan akan mengorbankan banyak hal, termasuk dari yang dicintai itu sendiri: sepak bola.

 

Baca Juga : Chauvinisme Sepak Bola Tanah Air

Saling Menyalahkan

Buntut insiden memilukan di Kanjuruhan, jagat media sosial saling tuding menyalahkan satu sama yang lain. Semua terkesan melempar tanggung jawab terhadap kematian ratusan orang yang terdiri dari pria dewasa, perempuan, remaja, hingga balita. Sementara perilaku represif polisi menjadi tema yang menarik untuk diulas dari kacamata warga sipil.

Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta menyatakan bahwa gas air mata yang disebut sebagai pemicu utama meninggalnya suporter Arema FC sudah dilakukan sesuai prosedur. Polres Malang sudah sempat meminta untuk mengubah jadwal pertandingan kepada Panita Pelaksanaan (Panpel) Arema. Namun permintaan tersebut dijawab oleh pihak PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang menolak dan memutuskan untuk tetap melaksanakan laga pertandingan sesuai dengan jadwal sebelumnya.

Indikasi kekuatan korporat yang di dalamnya ada tim broadcasting, sponsorship, dan PT LIB itu sendiri yang ditengarai menjadi penyebab kegagalan tim kepolisian mengamankan kericuhan setelah pertandingan. Dalam Protap Kapolri No I/X/2010, apabila pelaku melakukan perlawanan fisik terhadap petugas, maka dilakukan tindakan melumpuhkan dengan menggunakan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, atau alat lain sesuai standar Polri.

Di sisi lain, penggunaan gas air mata dilarang dalam regulasi terkait pengamaman dan keamanan stadion oleh FIFA selaku induk sepak bola dunia. Ketidaksesuaian pengindahan keamanan dari pihak panpel dan polisi yang menyulut penembakan gas air mata hingga berakibat hilangnya ratusan jiwa. Pengamanan demonstran dan pendukung sepak bola tentu berbeda.

Lokasi demonstran memiliki banyak ruang untuk mobilitas orang-orang mencari tempat aman. Sementara stadion memiliki ruang tertutup dan sesak. Apalagi ada potongan video yang beredar, pintu stadion sengaja ditutup aparat karena di luar stadion terjadi tindakan anarkis pembakaran kendaraan polisi. Mereka yang berdesakan ingin keluar karena tidak kuat menahan gas air mata akhirnya meninggal di tempat dan beberapa lainnya meninggal dalam perjalanan dan rumah sakit.

Institusi Polri kembali tercoreng setelah kasus Ferdy Sambo, intimidasi wartawan, dan kekerasan terhadap mahasiswa di Patung Kuda. Sebelumnya polisi juga dikabarkan terlibat dalam tragedi pembunuhan demonstran, dan kasus salah tembak warga sipil. Polisi sudah tidak lagi dicitrakan sebagai institusi pengayom masyarakat, melainkan sebagai kelompok pengancam, pengintimidasi, dan pembunuh masyarakat.

Sepak bola menjadi simbol kedaulatan rakyat, bahwa semua punya hak yang sama menuntut keadilan. Ketika polisi punya kewenangan penyidikan dan melakukan proses hukum, mereka juga harus siap dengan konsekuensi jika terbukti melanggar hukum. Rakyat harus punya kekuatan aktif menegakan hukum yang berkeadilan, bukan hanya sebagai pihak yang pasif untuk selalu dijadikan pelaku (tersangka) oleh polisi.

Sementara untuk pengurus PSSI, khususnya ketua umum harus punya kebesaran hati untuk turut berempati dengan sikap ksatria lulusan Akademi Polisi dengan pernyataan pengunduran diri. Lupakan intensitas politik (Calon Gubernur Jawa Barat) dan fokus pada pembenahan secara fundamental organisasi sepak bola yang banyak kritik media dan masyarakat. Kedaulatan rakyat punya posisi tinggi di atas PSSI, Polri, bahkan Presiden.***

0 comments: