KRESNA, titisan WISNU bertanggungjawab atas ketentraman MADYAPADA, memiliki kebijaksanaan yang prima, mempunyai pandangan kedepan (futurolog) yang tajam, mengetahui kematian seseorang dan mampu menghidupkan kembali yang belum saatnya dengan Kembang Cangkok Widjaja Kusumo. Mempunyai Senjata CAKRA yang tidak pernah kembali tanpa hasil. Itu semua kelengkapan Wisnu, sementara sisi kemanusiaannya, Kresna masih diselimuti rasa MELIK yang oleh Leluhur Jawa diingatkan selalu dan pasti ‘ANGGENDHONG LALI (lupa)’, melik, ingin lebih, sikap egoisme setiap orang.
SEMAR, BADRANAYA, Joinboll berpendapat bahwa Semar berasal dari SAR yang berarti Sinar Cahaya. Jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan BADRANAYA, yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih, KERAHIMAN ALLAH.
Semar juga dijadikan simbol RASA ELING (ingat), bernuansa melawan LUPA. Semar adalah PAMONG manusia, Pandhawa momong, nuntuni manusia agar selalu ingat pada kehendak Yang Maha Esa dan bagaimana bersikap terhadap ciptaanNya. KEMANUSIAAN mengajak memberi rasa sederajad pada orang lain, ‘nguwongke’ seperti dirimu sendiri, bukan memperbudak. YANG ADIL secara khusus rasa adil tertuju pada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa lari, membela diri dari usaha penggundulan, pembakaran, pembalakan. Manusia, tidak mungkin bisa bersikap adil pada sesamanya manusia, karena itu rasa adil manusia hanya tepat ditujukan pada tumbuh-tumbuhan, yang rela memberikan buah berkelimpahan setiap musim. Bila memotong tanaman atau memberi ijin penebangan hutan, hukumnya wajib menanamkan kembali, wujud nyata sifat ADIL.
Masih dalam untaian Sila Kedua, kemanusiaan yang adil DAN BERADAB. Tempat-tempat pembantaian, perburuan binatang di laut, di hutan, termasuk berburu burung elang tergolong perbuatan yang tidak beradab. Burung Elang adalah pemangsa tikus, ekosistem alamiah ciptaan atas kehendakNya. Punahnya burung Elang merubah ekosistem ini, berkembang biaklah tikus, memangsa, makan tanaman padi para petani (hama). Usaha pemberantasan tikus dengan racun, berdampak matinya binatang piaraan, ternak dan juga berakibat pada penurunan kesuburan tanah.
Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” seperti terurai diatas telah dicanangkan Proklamator 1 Juni 1945, 3 (tiga) tahun mendahului Deklarasi of ‘Human Right’, ‘Hak Azasi Manusia’ (HAM) yang dikobar-kobarkan seolah bangsa Indonesia tidak mengenal HAM. Paham ‘mencintai sesama’ tidak terbatas hanya pada sesama manusia, tetapi sesama ciptaan, falsafah Gunungan termasuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan alam raya, sungai, gunung, lembah, pantai yang saat ini sedang diributkan dengan reklamasi.
PRABU KRESNA tahu ABIMANYU akan melahirkan calon Raja Nusantara (Hastinapura, prasasti ditemukan di Malang Selatan, oleh Turanggo Seto) timbulnya rasa MELIK, menginginkan Siti Sundari melahirkan anak Abimanyu. Karena merasa titisan Wisnu seolah dalam kewenangannya mengawinkan tanpa ijin keluarga Pandhawa (Arjuna) yang tidak berniat mempermasalahkan. Teguran SEMAR tidak diindahkan bahkan memerintahkan Abimanyu untuk mengusir Semar. Mengalami perlakukan kesewenangan, jauh dari kebijakan Wisnu. Dalam keheningannya Semar menghukum Dwarawati dengan kebakaran (Brama), angin puting beliung (Bayu), dan banjir besar (Indra), sedangkan Abimanyu disabda tidak mendapat keturunan melalui Siti Sundari.
DEWI UTARI, istri pertama Abimanyu melahirkan PARIKESIT yang ditahtakan sejak bayi (dalam asuhan Prabu Baladewa) mengalami kejayaan Hastinapura yang telah menyatu. PRABU YUDHOYONO, putranya meneruskannya meski banyak cucu-cucu kurawa yang melakukan pemberontakan tersembunyi. Pengganti Prabu Yudhoyono adalah PRABU GENDRAYANA suka mabuk-mabukan karena anak raja (bupati), juga kegemarannya berlayar, membangun waduk, bendungan, jalan tool, kereta api cepat, timbul pergonjingan (kriwikan) disana-sini dalam skala kecil, cepat atau lambat menimbulkan GENDRA (grojokan).
Dalam Wayang Madyo, seusai perang Bharata Yudha karya Kanjeng Ngabei Ronggo Warsito (futurulog) gejolak Hastinapura dimasa Gendrajana tampil BAMBANG SUDARSONO, putra tiri Yudhoyono dengan Dewi Sadu, cucu begawan MANIKSIDHI. Kebijakan dan kesaktian Bambang Sudarsono Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu, mengangkat dirinya menjadi raja agung Hastinapura setelah meredakan pemberontakan, bergelar PRABU SUDARSONO, pewaris Nusantara, Atlantis sampai Majapahit dan kerajaan besar lain dibawahnya, sedang Gendrayana diserahi kerajaan Gilingwesi.
Sangat menarik pesan KNg. Ronggo Warsito memetakan pemerintahan seluas wilayah eks kerajaan Majapahit, Gajah Mada (ga=17, ja=8 jumlah 25=5); (ha=1), (ma=16, da=6 jumlah 22=4) sebagai patih ‘Sumpah Palapa’ (proklamasi), setelah proklamasi kemerdekaan dengan perumpamaan ‘tujuh satrio’. Tujuh tokoh tersebut adalah “Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesampar Kesandung, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, dan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu”. Kalau sekarang masanya Gendrayana, penerus Prabu Yudhoyono, ditandai dengan kegaduhan atau gaduh-gaduhan, kapal ikan di Natuna dan penyanderaan oleh Abu Sayyad di Philipina, bentuk Proxywar yang diisyaratkan Panglima TNI, menjadi tanda-tanda jaman menanti atau mengharapkan munculnya Sudarsono, ‘saatnya telah tiba’. Pepeling ‘AJA CINDRA MUNDHAK CILAKA’ melengkapi ‘AJA KUMINTER MUNDHAK KEBLINGER’. Aja tumindak ‘kaya mengkono koewi’ mundhak nyumelangi, Ethes ngono ya ngono ning aja ngono.
(DHANDHANGGULA). Semut ireng ngendhog jroning geni, ana merak bandrek lawan baya, keyong sakenong matane, tikuse padha ngidung, kucing gering ingkang nunggoni, kodhok nawu segara, oleh bantheng sewu, si precil ingkang anjaga, semut ngangrang angrangsang gunung merapi, wit ranti woh delima.
Betapa beratnya semut ngendog jroning geni, bertelur dalam api, artinya kehidupan rakyat kecil masa kini. Kebutuhan pokok meningkat seirama kenaikan bahan bakar, tetapi tidak pernah turun karena turunnya BBM, mata sak kenong (menatap, melotot) tanpa bisa berbuat apa-apa melihat perilaku para pemimpinnya, para utusan partai baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif berselingkuh (bandrek). Sementara hama tikus (koruptor) padha ngidung (keplok, bertepuk, bernyanyi dalam penjara, bak rumah sendiri), yang dijaga si Precil, inkarnasi kecebong anak-anak katak. Kecebong menjadi precil, precil menjadi kodok, terkesan falsafah Lompat Katak, bahwa setiap lompatan katak pasti njejak, menginjak, bertumpu, mengorbankan bawahannya, anggota parlemen bertumpu pada rakyat pemilih, dan lebih dulu mewakili kesejahteraan, minimum ‘break event’ setoran ke partai.
Wong bodo kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong ngerti, wong ngerti kalah karo wong eling lan waspada, wong eling lan waspada kalah karo wong bejo. Pitutur yang bernuansa lucu ini ingin mengingatkan bahwa wong pinter dalam arti intelektual yang tidak memahami kepintarannya, tidak meresapkan kedalam rasa (nuraninya) akan terjebak dalam sikap ‘kuminter’ sok pinter, berakibat ‘keblinger’, pintere mung kanggo minteri!. Kalau orang mengerti menangkap geliat ini dan dengan mudah akan membalik ‘sebenarnya’, ‘keweleh’.
Senjata Cakra Baskara yang mematikan dipercayakan pada titisan Wisnu. Kelebihan senjata ini tidak akan kembali sebelum menemui sasarannya, ini pemahaman umum penggemar wayang. Belum timbul dalam kesadaran batiniahnya bahwa senjata Cakra dimiliki setiap orang. Kalau wujud nyata Pandhawa dalam diri seseorang adalah Pancaindera, maka Cakra adalah firman, sabda, doa, ucapan seseorang yang tersaring melalui Cipta, Rasa dan Karsa terungkap. Karena itu “hati-hati dengan ucapanmu” pepeling para leluhur mengisyaratkan dengan ucapanmu bisa mematikan orang lain, ‘salah ucap’ akan berbalik mengenai diri sendiri. Sister pengasuh anak saat memarahi “goblog kamu” disaat kemudian si anak akan menirukan kata yang sama. Sumangga!!. Rahayu!
0 comments: