Artinya adalah hal jelek yang hanya sanggup diubah sesudah mati.
Gajah mati meninggalkan gading, insan mati meninggalkan nama. Pribahasa ini erat dengan kita sebagai nasehat untuk insan semoga berbuat baik semoga namanya sanggup dikenan dan menjaga nama baik keluarga.
Ada juga yang mengatakan, ukuran jago tidaknya seseorang (bisa nyata – sanggup negatif), bukan dilihat dari berapa banyak orang yang tiba menghadiri permintaan ketika perkawinannya atau mengawinkan anaknya, tapi jago tidaknya ialah dilihat dari banyak tidaknya yang tiba melayat ketika beliau mati.
Terlepas dari kenangan orang lain dan banyak penghargaan yang diberikan kepada yang sudah meninggal, yang lebih penting ialah apakah kita langsung telah meninggalkan hal benar/budhi bagi kehidupan orang lain? Dan hal benar tadi sebagai kesadaran dalam perjalan Roh langsung sendiri.
Jika hal jelek yang kita lakukan, tidak hanya menciptakan kita terhambat, tapi lebih pula mensugesti orang lain. Sehingga jikalau sepanjang masih hidup maka kita masih berlaku buruk, hal ini akan menciptakan menjadi permanen sehingga hingga tidak sanggup diubah, maka untuk orang lain, efek jelek sanggup jadi gres hilang kalau kita sudah mati, dan hal jelek akan diperbaiki jikalau kita alami simpulan hidup fisik untuk kembali berguru lagi.
Dalam kehidupan berumah tangga, “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”, mumpung kita masih hidup dan bersama dengan pasangan, hendaklah sanggup merubah segala hal jelek yang sanggup menyakiti pasangan, baik secara pikiran, perkataan, maupun tingkah laku.
Dalam hubungan orang renta dan anak (Guru dan Murid), efek hal jelek dari orang renta / guru sangat sanggup menciptakan anak/murid bertingkah buruk, dan kadang harus menunggu orang renta / guru mati dulu, gres sang anak/murid sanggup terbebas dari keyakinan buruk.
Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tinggalkanlah hal baik, maka akan membangun masyarakat yang baik di generasi yang akan datang.
0 comments: