Arti bahasa dari judul di atas adalah tersandung di jalan yang rata, terbentus langit. Kebenthus dan kesandung adalah dua kata yang sama-sama menyebabkan rasa sakit dan menjadi sebab terjadinya halangan untuk berbuat atau mencapai sesuau.
Kok bisa? Ya kalau hanya dipikir secara nalar hal itu adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi.
Bagaimana mungkin orang yang tingginya kurang dari dua meter itu terbentur langit yang tingginya seperti tanpa batas. Bagaimana mungkin orang tersandung di jalan yang rata.
Tetapi kalau direnung lewat hati maka ini adalah peringatan, pepeling karena halangan dan bahaya bisa datang dari atas, bisa datang dari bawah, dari kanan dari kiri bahkan dari diri sendiri.
Langit adalah gambaran ketinggian. Nah kalau kita bawa ke pitutur kita kali ini berarti halangan atau bahaya itu terjadi karena seseorang ingin menggapai sesuatu yang sangat tinggi bahkan terlalu tinggi, ibarat langit, dengan kemampuan yang sangat terbatas, dengan modal yang hanya setinggi badannya.
Ya mustahil. Ini mengingatkan kita agar kita selalu berhitung kemampuan diri sebelum menetapkan cita-cita atau harapan atau target. Kegagalan sering terjadi karena orang kurang pandai berhitung diri. Sering orang menasehati dengan kalimat "tahu dirilah !"
Lantas bagaimana orang bisa tersandung pada jalan yang rata. Halangan ini juga datang terutama karena ulahnya sendiri. Mungkin dia berjalan sambil melenggang tanpa melihat kondisi jalan yang saat itu misalnya ada batu bekas ganjal roda mobil mogok yang belum sempat disingkirkan.
Dia tersandung batu itu karena ketidak hati-hatiannya. Dia tidak melihat ke bawah bahkan sering melihat ke atas karena mengira jalannya selalu rata dan mulus sehingga nasib buruk itu terjadi.
Sebetulnya "kesandung dalan rata" itu adalah sebuah kiasan tentang halangan yang dialami oleh orang karena lakunya yang tidak sesuai norma sosial atau mungkin merugikan orang lain.
Misalnya tidak memanusiakan manusia, atau lisannya tak bisa dipegangi atau gayanya yang sok, sombong, atau suka menipu orang dan seterusnya. Itulah yang akan menjadi kerikil atau batu sandungan. Atau menjadi kulit pisang yang membuatnya terpeleset. Atau menjadi lubang yang membuatnya terperosok.
Jadi pitutur kita kali ini adalah nasehat kepada kita agar kita mengukur atau berhitung diri sebelum memasang keinginan untuk menggapai suatu target. Harapan sering tidak dapat terwujud karena terlalu jauhnya keinginan, jauh di atas kemampuan.
Hendaknya kita berhati-hati dan menjaga laku kita supaya sesuai norma sosial yang berlaku di masyarakat. Tidak membuat sakit hati mereka, karena hal itu bisa menjadi batu sandungan.
0 comments: