Pengakuan diri sebagai ustaz oleh artis Aldi Taher merupakan secuil dari fenomena demam hijrah di Indonesia. Sikap fanatisme terhadap Islam konservatif dan kecanduan menyalahkan pemahaman orang lain seolah menjadi tren muslim milenial saat ini. Menyempitkan cakrawala khasanah keilmuan agama dengan tafsir mazhab tertentu tanpa etos mencari sudut pandang kebenaran yang lain.
Secara harfiah, hijrah berarti berpindah dari satu tempat/keadaan ke tempat/keadaan yang lain. Dimaknai sebagai proses menuju puncak keimanan dalam beragama. Dimulai dari transformasi gaya berpakaian yang islami, hingga metode dakwah dan cara berperilaku mendekati sunah nabi.
Namun gerakan hijrah tidak otomatis diamini oleh keseluruhan umat Islam di Indonesia. Bukan kepada maknanya, melainkan pada keterikatan mazhab tertentu yang dianggap bertentangan dengan prinsip hijrah itu sendiri. Hijrah bukan semata mengislamkan cara berpakaian, tapi lebih pada kebijaksanaan akhlak dengan senantiasa memanusiakan manusia.
Berhijrah harus bisa memilah aspek akidah dan akhlak agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Memaksakan kehendak agar seakidah adalah bentuk tidak memahami esensi dalam agama. Setiap orang mempunyai proses dan capaian masing-masing dalam menentukan pilihan agamanya.
Setiap agama memiliki mazhab atau aliran yang dilandaskan pada pemahaman tafsir tertentu. Kadang melalui sebuah pengalaman yang dielaborasi dengan pengetahuan setiap orang. Tentu semua mempunyai proses masing-masing dalam menentukan kebenarannya dengan faktor-faktor yang dijadikan rujukannya.
Baca Juga : Bencana Sesungguhnya
Klaim Ulama
Gelar ulama, kiai, atau ustaz biasanya disandarkan pada mereka yang memiliki kapabilitas keilmuan di bidang agama. Ada kesepakatan komunal untuk memberi gelar seseorang sebagai ulama, tidak berdasarkan nafsu pribadi untuk disebut ulama.
Klaim ulama menjadi pasar menarik untuk mendapat simpati dari umat agar lebih didengar dan diperhatikan setiap apapun yang dibicarakan dan dilakukan. Menjadi tokoh yang mampu mempengaruhi umat yang mengikutinya, syukur bisa diundang ke majelis (daring/ luring) sebagai penceramah.
Di beberapa kesempatan, klaim ulama sering dimanfaatkan seseorang untuk melegalkan nafsunya dengan alasan-alasan keagamaan. Mulai dari poligami, sistem patriarki, hingga usaha berdalih syariah. Peluang di negara dengan mayoritas berpenduduk muslim adalah aset untuk mewujudkan segala keinginan. Tentang kekayaan, popularitas, hingga nafsu mendapatkan istri lebih dari satu.
Di negara demokrasi, sah-sah saja seorang mengklaim dirinya menjadi siapapun. Meskipun tanpa dibekali kecakapan ilmu, era digital memudahkan seseorang untuk memanipulasi diri memerankan apapun yang diinginkan. Media sosial menjadi ajang eksistensi untuk menipu publik dengan citra terselubung penggunanya.
Mungkin permasalahan demikian yang menginisiasi Kementrian Agama sempat mengeluarkan sertifikasi ulama sebagai filter dasar menentukan tokoh ulama berdasarkan kecakapan ilmu agama. Harapannya agar umat tidak terjebak dan terkecoh pada narasi ulama abal-abal yang acapkali mendeklarasikan diri sebagai ulama di media sosial.
Ulama mempunyai tanggungjawab berat secara moral kepada umatnya. Menjadikan agama sebagai alat mencapai popularitas adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Menjadi ulama tidak sebatas bermodal gamis, jubah, atau peci, lebih dari itu, ulama harus paham bidang-bidang ilmu agama yang biasanya dipelajari puluhan tahun di madrasah atau pondok pesantren.
Baca Juga : Memberhalakan Agama
Fenomena Takfiri
Takfiri adalah pebuatan ekstrim mengafirkan sesama muslim. Menganggap dirinya sendiri sebagai sumber kebenaran dengan menyalahkan akidah atau perbuatan orang lain. Biasanya kelompok teologis tertentu memandang kebenaran mutlak formulasi teologis kelompoknya dan mulai memandang cedera formula teologis di luar kelompoknya.
Pada dasarnya, manusia selalu meyakini kebenaran berdasarkan persepsinya. Permasalahannya adalah kurang sikap menghargai (bertoleransi) sehingga merasa diri paling benar. Biasanya seseorang yang merasa selalu benar, sebenarnya ingin menutupi rasa takut akan dirinya yang terlihat tidak sempurna. Sehingga selalu berargumen bahwa pendapatnya adalah kebenaran mutlak.
Kesempitan memahami kompleksitas agama, memudahkan seseorang untuk menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Takfiri dianggap sebagai akar paham radikalisme, intoleransi, dan terorisme. Takfiri adalah rahim atas pelegitimasi berbagai tindakan terorisme dan juga bisa dijadikan alat untuk menghancurkan tatanan sosial dan politik sebuah negara.
Takfiri adalah pilihan termudah untuk melampiaskan kesalahan kepada orang lain tanpa mengurangi kredibilitas kebenaran pendapatnya. Manusia cenderung gensi mengakui diri salah (Self-blame). Lebih bangga memberi maaf daripada meminta maaf. Ketika membenarkan dianggap sia-sia, maka metode menyalahkan adalah hal yang mudah tanpa landasan argumentatif ilmiah.
Dalam kitab Sullam at-Taufiq, Syekh an-Nawawi al-Bantani menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Apabila seorang laki-laki mengufurkan saudara-saudara yang muslim, maka kekufuran itu kembali kepada salah seorangnya.” (HR Muslim)
Sebelum gemar menyalahkan orang lain, seyogyanya setiap orang berproses untuk merenungi diri sendiri. Bertobat dan menyalahkan diri atas segala dosa yang pernah dilakukan. Jihad paling berat bukan memerangi kelompok lain yang dianggap kafir, tapi lebih kepada berperang melawan hawa nafsunya sendiri.
Pernah dimuat di Sang Khalifah
https://sangkhalifah.co/aldi-taher-fenomena-takfiri-di-indonesia/
0 comments: