CATEGORIES

Berbeda dengan sains, agama cenderung dapat menyebabkan kompleksitas konflik di antara pemeluknya. Sains menemukan titik kesadaran pada kebe...

Memberhalakan Agama

berhala agama


Berbeda dengan sains, agama cenderung dapat menyebabkan kompleksitas konflik di antara pemeluknya. Sains menemukan titik kesadaran pada kebenaran absolut, sedangkan agama kesulitan menerima kebenaran relatif. Setiap agama, kelompok dalam agama, hingga individu pemeluk agama mempunyai keyakinan dan landasan berpikir masing-masing untuk menentukan kebenarannya. Dampaknya adalah pertentangan (perdebatan) yang dikesankan sebagai pertaruhan kebenaran atas keyakinannya.

Hadirnya agama sebagai upaya menjaga kemaslahatan umat, menjaga bumi, dan membangun peradaban yang cinta damai tergerus oleh sikap fanatisme berlebihan sebagian pemeluknya. Menciptakan konflik dan menawarkan peperangan. Agama yang seharusnya menjamin kedamaian, berbalik menjadi ancaman.

Minimnya literasi atau wawasan adalah sedikit dari banyak penyebab kegagapan mengaplikasikan konsep beragama. Mempelajari agama berdasarkan teks mati tanpa disertai metodologi berpikir yang runtut. Menyimpulkan banyak hal berdasarkan anjuran tokoh atau narasi teks yang sempit. Manusia beragama bagaikan cupang dalam akuarium baru yang begitu ganas menaklukan ekosistem lainnya.

Tersebaranya berbagai ideologi agama di dunia maya, membuat semua orang punya perspektif menemukan keyakinannya. Tidak ada filter dari media atau ruang publik yang membatasi ideologi yang dianggap menyimpang atau berpotensi menciptakan konflik di masyarakat. Hak asasi menjamin kebebasan setiap orang dalam menentukan keyakinan atau ideologinya, meski kadang tidak diterima di masyarakat.

 

Baca Juga : Degradasi Iman Melalui Simbol Agama

Tujuan Agama

Semua agama mempunyai konsep masing-masing dalam menuntun pemeluknya. Satu hal yang pasti, beragama menginginkan keselarasan, cinta, dan kasih sayang. Akar dari pemahaman agama adalah bagaimana pemeluknya tidak berkata atau berperilaku yang menyebabkan kerusakan. Agama berarti tidak merusak. Segala hal yang dilakukan oleh manusia yang berpotensi merusak dirinya, sosial, hingga alam, adalah bentuk konkrit manusia menjauhkan diri dari agama.

Mengenai perbedaan konsep ketuhanan, cara beribadah, larangan dan kebolehan dalam melakukan sesuatu hal adalah prinsip menghargai keyakinan setiap orang. Memaksakan kebanaran agama kepada yang lain adalah gagasan kuno yang tidak memahami esensi dari agama itu sendiri.

Masih banyak masyarakat yang mencari jati diri atas keyakinannya. Menganggap agama hanya labelitas atau identitas yang “dipaksa” sebagai pengakuan hukum di hadapan pemerintah. Mereka melihat pilihan-pilihan yang tersebar di internet dan lingkungan sekitar. Jika agama tidak bisa mencitrakan diri sebagai suatu ajaran yang baik, maka mustahil seseorang bisa tergerak hati untuk menjadi pemeluk agama tersebut.

 

“Oh, agama A itu suka marah-marah ya? Suka ngamuk/ merusak lingkungan sekitar? Suka membunuh?”

atau

“Oh, agama B itu yang suka menerima perbedaan ya? Suka menolong dan menjaga sesama? Suka membimbing/ mengajari dengan santun?”

 

Dalam sejarahnya, terjadi banyak perang mengatasnamakan agama. Menjadi perenungan tentang mengkhawatirkannya agama yang dijadikan senjata untuk memusnahkan yang lainnya. Perang Salib, Perang Schmalkaldis, Perang Tiga Puluh Tahun, Perang Suci, dan masih banyak lagi peperangan yang menghilangkan sisi kemanusiaan atas nama agama.

Misinya tentu untuk berkuasa dan menyebarkan ideologi agama yang menang dalam peperangan. Logika pragmatis untuk memuluskan tujuan para pemeluk agama. Agama menjadi tameng dan topeng kebengisan sekelompok orang untuk melegalkan perilaku radikal dan ekstrimis di sebuah negara.

Doktrin mengenai keyakinan memang disebabkan oleh banyak faktor. Lingkungan hingga guru/ tokoh idola yang membentuk cara berpikir yang malah menjauhkan dari esensi dasar beragama. Bukan lagi tentang cinta kasih dan menebarkan rahmat, tapi cenderung tren atau label eksistensi untuk menunjukan kekuasaan dan kedigdayaannya di hadapan kaum minoritas.

 

Baca Juga : Agama Mengajarkan Budaya Luhur

Filsafat Agama

“Tuhan tidak perlu dibela”, tutur Gusdur.

Pernyataan kontroversial yang sempat membuat gaduh masyarakat. Prinsip dasarnya tentang kepercayaan atas Tuhan/ agama yang diyakini. Jika Tuhan dianggap kuasa, maka tidak ada hal apapun yang dapat menghancurkan kedigdayaan Tuhan. Jika ada gerakan membela Tuhan, maka diksi membela berarti mengesankan bahwa Tuhan masih butuh pembelaan: lebih lemah dari manusia.

Agama ibarat berhala yang mati tanpa kesadaran. Memperjuangkan mati-matian identitas agama. Labelitas agama disembah tapi sifat Tuhan sering diabaikan. Manusia terjerat pada berhala-berhala agama yang mudah mengajak perang jika simbol agamanya merasa dihina atau ditindas.

Jika pengakuan terhadap agama dimutlakkan oleh manusia-manusia tekstualis, maka kajian filsafat perlu kembali dikampanyekan. Sebagai metode berpikir kritis dan mendasar mengenai sebuah pemahaman. Jangan sampai agama dijadikan ajang melegalkan kekerasan atau segala sesuatu yang mencoreng keindahan agama itu sendiri.

Filsafat tidak mengutuk keberadaan agama, pun demikian sebaliknya. Belajar agama tanpa kesadaran berfilsafat hanya akan merunyamkan aktivitas agama. Menolak pemahaman yang lain hanya karena landasan taklid. Memahami secara brutal tafsir tekstual tanpa mempertimbangkan sejarah, dampak, dan konteks situasi dan kondisi zaman.

Keluasan wawasan, keluwesan logika berpikir, dan menghargai sesama adalah beberapa manfaat dari pembelajaran filsafat. Setiap orang akan lebih mengontrol dirinya untuk tidak grusa-grusu menyimpulkan masalah. Tidak gampang menghakimi dan mengklaim kebenaran mutlak atas keyakinannya sendiri. Ketika media sudah menjadi sarana beropini yang mudah diakses, kehadiran filsafat agama harus muncul menyadarkan konflik dasar antarmanusia: tidak menerima kebenaran yang lain.

Ketika menekuni dunia filsafat, seseorang akan gampang menemukan titik-titik persamaan tentang tujuan dari dihadirkannya agama untuk manusia. Namun jika filsafat dianggap sebagai alat untuk menjauhkan seseorang dari agama, maka pertentangan memperebutkan kebenaran akan selamanya terjadi. Peperangan hanya akan menunggu waktu.

Salah satu hal menarik dari filsafat adalah bagaimana kita lebih aktif untuk mengkritisi diri sendiri daripada menyalahkan pemikiran dan keyakinan orang lain.


Pernah dimuat di Alkalam

https://alkalam.id/kekerasan-atas-nama-agama/

0 comments: