Dana Desa adalah dana yang dialokasikan APBN untuk desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/ kota. Dana tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
Tujuan utama alokasi dana desa yakni untuk pemerataan dan keadilan. Aspek pemerataan desa tercermin dari alokasi dasar untuk mendapatkan nilai dan hak yang sama. Sedangkan keadilan tercermin dari formula yang ditetapkan pemerintah berdasarkan beberapa komponen dari desa tersebut.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, ada tiga prioritas pengalokasian dana desa untuk tahun 2021 yakni, mengupayakan pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa, untuk program prioritas nasional sesuai kewenangan desa, dan difokuskan untuk program adaptasi kebiasaan baru, yakni dengan mewujudkan desa aman dari Covid-19.
Anggaran dana desa selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2020 pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 71,19 triliun, kemudian untuk tahun 2021, pemerintah mengalokasikan dana Rp 72 triliun untuk dana desa. Pertanyaannya adalah seberapa efektikah kucuran dana desa dari pemerintah pusat?
Baca Juga : Mencari Sosiawan yang Tidak Sosiopat
Kredibilitas Desa
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan pada Pasal 120 ayat (2) UU pemda menyatakan bahwa perangkat daerah kabupaten/ kota, terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Tentu ada perbedaan antara desa dan kelurahan. Secara yuridis, terdapat kemungkinan perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan. Pada pasal 200 ayat (3) UU Pemda menyatakan bahwa desa di kabupaten/ kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai dengan usul dan prakarasa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan oleh Perda.
Untuk desa, biasanya disebut kades (kepala desa) dengan status kepegawaian nonPNS. Sedangkan untuk keluarahan, biasanya dipanggil lurah dengan status kepegawaian PNS. Lebih lanjut, kades dipilih melalui pilkada dan biasanya memiliki masa jabatan 5 tahun. Sedangkan lurah dipilih oleh bupati atau walikota dengan masa jabatan tidak terbatas (aturan pensiun PNS).
Di beberapa desa, proses pemilihan kepala desa laiknya pemilihan umum (pilpres atau pileg). Seluruh warga desa mempunyai hak untuk menentukan pemimpinnya. Sayangnya, proses pemilihan di banyak desa tidak berdasarkan kualitas manajemen kepemimpinan yang berkualitas, melainkan kepada ketenaran dan kedekatan calon kades dengan masyarakat.
Warga tidak begitu mempertimbangkan pengalaman mengelola organisasi atau tingkat pendidikan calon kepala desa. Dampaknya adalah kurang tepatnya sasaran alokasi dana desa untuk pemerataan pembangunan. Ada ketimpangan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi antara daerah satu dengan yang lain. Pun dengan kesejahteraan warga miskin yang kurang bisa diakomodasi dengan baik oleh pemerintah desa.
Desa dengan pemerintahannya seolah memiliki kewenangan sendiri mengatur daerahnya. Menerima anggaran desa yang entah digunakan untuk kemajuan desa atau untuk menumpuk kekayaan pribadi. Patut dimaklumi, mengingat berapa ratus juta anggaran dikeluarkan untuk maju menjadi calon kepala desa beserta dana kampanye dan politik uang jelang pemilihan.
Harapan pemerintah yang meninginkan kemandirian desa dengan mengalokasikan dana desa tidak serta merta bisa diaktualisasikan dengan baik oleh pemerintah desa/ kelurahan jika kompetensi kades dan lurahnya tidak mumpuni. Malah kadang anggaran dana desa yang diberikan kepada kepala desa yang jauh dari pengalaman manajemen/ tata kelola pemerintahan akan dibuat lumbung korupsi dengan perangkat desa yang lain.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), tercatat ada 169 kasus korupsi selama semester I/2020. Menariknya, korupsi di sektor anggaran dana desa paling banyak terjadi, yakni 44 kasus. Jika tidak ada pelatihan manajemen kepemimpinan kepala desa yang dipilih warga bukan karena kapasistas mengelola kepemerintahan, maka dana desa tetap akan selalu menjadi pasar bagi koruptor memanipulasi anggaran pemerintah pusat.
Sebelum meningkatkan anggaran dana desa setiap tahunnya, pemerintah harus bisa memberikan standarisasi kepemimpinan desa. Menyamakan status desa dan kelurahan agar tidak ada ketimpangan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan warga. Apalagi masih banyak ditemui praktek kotor pemilihan kepala desa beserta perangkatnya yang terlanjur dianggap wajar oleh warganya.
Arah kebijakan desentralisasi kepada pemerintah daerah akan menimbulkan banyak kompleksitas masalah manajemen organisasi kepemerintahan, termasuk alokasi anggaran. Memaksakan otonomi daerah kepada pemerintah desa yang belum siap/ mampu mengurus daerahnya bisa menjadi bomerang bagi pemerintah pusat terhadap kepercayaan kebijakan otonomi daerah.
Memaksakan desa mandiri di seluruh Indonesia hanya akan efektif bagi pemerintah desa yang siap menampung aspirasi warganya dan mengaktualisasikan dalam kebijakan yang tepat. Sebaliknya, hanya akan menjadi langkah pemborosan anggaran yang ada kemungkinan dikorupsi bagi desa atau kelurahan yang tidak siap mengatur anggaran dari pemerintah pusat untuk kemandirian desa.
Pernah dimuat di Facesia
0 comments: