Legitimasi kekerasan atas nama agama didasarkan pada doktrinisasi keagamaan tentang perlawanan terhadap negara sekuler. Mencita-citakan negara Islam dan perjuangan jihad fisabilillah. Keyakinan memahami teks/ dalil secara tekstual membuat seseorang atau sekelompok orang membolehkan dan membenarkan perilaku radikal.
Pelaku radikalisme dan terorisme menganggap terjadi ketidakadilan hukum, ekonomi, dan politik di sebuah negara yang mereka tinggali. Kemuakan atas perasaan tertindas membuat sebagian orang berani melakukan hal di luar logika kemanusiaan dengan membunuh sesama, melakukan bom bunuh diri, dan melancarkan berbagai teror atau ancaman untuk membuat kegaduhan di tengah masyarakat.
Menjamurnya ideologi terorisme karena sistem pendidikan tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Pendidikan agama seharusnya tidak hanya mengajarkan persoalan jihad dalam makna perang, tetapi juga jihad dalam makna yang luas, utamanya adalah perang melawan hawa nafsu (diri sendiri).
Represi terhadap politik Islam, justru berasal dari transmisi pendidikan Islam Timur Tengah yang terus mengalami perkembangan signifikan dengan cara memanfaatkan ruang publik, baik melalui sektor formal maupun informal. Ditunjang dengan kemajuan media informasi yang bebas dan luas diakses oleh semua orang. Pendidikan agama harus konsisten mengajarkan realitas keberagaman, pengakuan sosial atas kemajemukan, serta mengajarkan misi damai membangun bangsa dan manusia bermartabat dalam dimensi yang luas.
Masifnya ajaran radikalisme juga akibat dari bebasnya pendakwah misionaris mengajarkan sikap pemberontakan dan perlawanan terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak mencerminkan ajaran Islam. Memotret dalil agama yang tidak utuh dan tidak sesuai konteks. Sehingga agama dijadikan tameng untuk misi terselubung berkuasa di sebuah negara dengan ideologi mazhab yang diyakininya.
Radikalisme memiliki sejarah yang dimunculkan dengan sikap fanatik, intoleransi, dan ekslusif seperti apa yang ditampakkan oleh kaum Khawarij sejak abad pertama hijriyah. Radikalisme sendiri memiliki ciri yang melekat yakni; Pertama, memperjuangkan Islam secara Kaffah, dimana syariat Islam sebagai hukuman negara. Kedua, mendasarkan praktek keagamaannya pada orientasi masa lalu (safety). Ketiga, cenderung memusuhi negara barat, terutama sekularisasi dan modernisasi. Keempat, perlawanan terhadap liberalisme Islam yang tengah berkembang di Indonesia. (Abdurrahmad Mas’ud, 2014).
Survei The Wahid Foundation (2016) melaporkan kaum muda terlibat dalam dukungan pada aktivitas kekerasan keagamaan (jihad) dan terorisme mencapai 76 %. Mendukung aksi-aksi intoleransi mencapai 46 %. Tahun 2017, Navara Foundation juga merilis bahwa 23,4% mahasiswa tidak setuju dengan Pancasila sebagai dasar negara tetapi setuju khilafah Islamiyah. Demikian pula dengan Pelajar kita sejumlah 23,4 % yang mendukung khilafah Islamiyah.
Toleransi dan pluralisme sebenarnya merupakan kerangka pemikiran kaum muda untuk menerima kenyataan sejarah bahwa Indonesia telah disepakati oleh pendiri bangsa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila. Pancasila juga diyakini oleh para pendiri bangsa serta para ahli agama dan Negara tidak bertentangan dengan Islam.
Baca Juga : Islam, Azan, Terorisme
Kedewasaan Beragama
Dalam kabinet maju, Jokowi menyerukan untuk perang melawan radikalisme dan intoleran. Reshuffle kabinet yang melibatkan menteri agama, Fachrul Razi yang kemudian digantikan Gus Yaqut karena menteri sebelumnya dianggap gagal mengatasi problem intoleransi di Indonesia.
Akhir ini, Tim Densus 88 berhasil membongkar misi terselubung kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) melakukan latihan militer di Jawa Tengah. Menariknya, perekrutan anggota dipilih berdasarkan peringkat kecerdasan santri di pondok pesantren. Basis pesantren yang dianggap memberikan sumbangsih ideologi yang toleran dirusak dengan penanaman benih radikalisme dan terorisme oleh oknum tertentu.
Radikalisme hingga terorisme disebabkan karena kurangnya wawasan seputar kompleksitas ilmu agama. Doktrin tentang jihad, surga, dan bidadari sebagai bonus atas perilaku radikalisme. Mereka yang sebelumnya adalah pelaku maksiat dan ingin bertobat diiming-imingi penghapusan dosa dengan melakukan tindakan ekstrim: bom bunuh diri.
Ketika konsep radikalisme sudah tertanam kuat dalam diri seseorang, mereka bisa melakukan segala hal apapun atas nama agama. Tidak ada ketakutan untuk melawan siapapun yang menghalangi keyakinannya. Rela mati karena menganggap bagian dari jihad fisabilillah.
Melawan radikalisme dan terorisme tidak cukup dengan menembak mati atau membawa ke hotel prodeo seumur hidupnya. Perlu diskusi dalam forum terbuka untuk memberikan kompleksitas ilmu dalam kesadaran konsep beragama. Minimal memahami kontekstual dalil yang dijadikan rujukan dalam berperilaku radikal dan terorisme.
Penah dimuat di Islam Santun
https://islamsantun.org/opini/mengatasi-problem-radikalisme-dalam-negeri-2/
0 comments: