Isu agraria selalu menjadi masalah lama yang susah untuk diselesaikan. Jokowi menuturkan bahwa pembangunan pada sektor pertanian tidak dapat dilakuan dengan cara-cara yang konvensional, rutinitas, dan monoton. Sistem Pertanian harus menerapkan teknologi pertanian. Menurutnya, kebijakan skala ekonomi kawasan pertanian seperti food estate dianggap mampu meningkatkan daya saing harga produk komoditas pangan lokal sekaligus menekan impor komoditas pangan.
Anggaran subsidi pupuk setiap tahun sekira 30 Trilliun dianggap sia-sia karena tidak adanya return yang didapatkan oleh negara. Jokowi meminta evaluasi terhadap kebijakan subsidi pupuk yang dinilai belum mampu berkontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi di sektor pertanian.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 2017, subsidi pupuk dianggarkan 31,3 Trilliun bagi petani. Sedangkan di tahun 2018, anggaran subsidi pupuk menurun menjadi 28,5 Trilliun, dan di tahun 2019 menjadi 29 Trilliun serta di tahun 2020 menjadi 29.5 Trilliun.
Selain tidak tepatnya distribusi anggaran pupuk, konsep petani tradisional dinilai tidak efektif dan efisien mengatasi permasalahan pertanian nasional. Rendahnya minat generasi milenial untuk bertani juga menjadi faktor anjloknya produksi pertanian di Indonesia. Mindset bekerja di sektor pertanian yang melelahkan dan hasil yang kurang menarik adalah alasan generasi muda memilih menekuni pekerjaan di sektor lain.
Kritik keras Jokowi terhadap sektor pertanian cukup dimaklumi mengingat salah satu cita-cita Jokowi adalah menjadikan Indonesia negara yang mampu melakukan swasembada beras. Di periode pertama kepemerintahan, Jokowi berhasil menciptakan sejarah dengan berhasil menghasilkan stok di Bulog sebanyak 2,5 juta ton. Padahal di tahun 2015, Indonesia harus dihadapkan kondisi El Nino.
Percepatan infrastruktur, rehabilitasi jaringan irigrasi, dan subsidi pupuk dianggap faktor pemicu keberhasilan Jokowi mengatasi problem pertanian Indonesia. Pemerintah kini fokus mengimplementasikan pertanian berbasis teknologi 4.0. Tujuannya adalah untuk menjadikan pertanian di Indonesia ke depan semakin maju dan berdaya saing global.
Baca Juga : Ilusi Negara Agraris
Problem Pertanian Kultural
Cepatnya perkembangan era teknologi digital, membuat negara harus cepat beradaptasi untuk mencari peluang dan bertahan di tengah arus pasar global. Keterbukaan informasi dan pernyebaran pengetahuan membuat setiap orang harus jeli untuk menyesuaikan diri. Mencari peluang dan memanfaatkan teknologi untuk bisa bersaing dengan yang lain.
Teknologi dianggap jalan pintas mengatasi segala permasalahan di suatu negara. Menggusur nilai-nilai tradisi yang sebelumnya begitu erat dipegang oleh masyarakat yang jauh dari kenaifan teknologi. Ketika petani dipaksa untuk “mendigitalkan” pertanian, petani tradisi malah idealis mempertahankan konsep bercocok tanam secara konvensional.
Jika menghitung luas lahan, alokasi daratan untuk pertanian hanya berkisar 31,5% dari 195 juta hektare wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektare per kepala keluarga. Berbeda dengan Inggris yang berani mengalokasikan 75% lahannya untuk pertanian dari 22 juta hektare luas daratan, sementara Cina 54,8%, Australia 52,9%, Amerika 50%, dan Thailand 43,4%.
Tenaga kerja sektor pertanian jumlahnya mencapai sekira 35 juta orang pada Februari tahun 2020. Jumlah ini merupakan 20,7% dari jumlah tenaga kerja di Indonesia. Jika dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2019 sebesar 35,42 juta orang, maka angka tersebut mengalami penurunan sebesar 1,17%. Sektor pertanian sempit pada tahun 2020 hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional pada triwulan 1 sebesar 9,40%. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih sangat rendah.
Selama ini bertani hanya diperuntukan sebagai sektor yang bertugas untuk memproduksi pangan, padahal esensi dari bertani adalah untuk merawat kehidupan dengan cara mengolah tanah dan memuliakan keberagaman. Bekerja untuk menjaga ekosistem, sehingga lahan pertanian semakin lama akan semakin subur, bukan semakin hancur.
Soal produksi pangan itu hanya dampak yang dihasilakan dari bertani. Petani hanya akan bertani berdasarkan kondisi alam. Jika musim hujan akan menanam padi, kalau kemarau akan menanam kedelai, jagung, palawija, dan lain sebagainya. Hasil produksi pangan tidak bisa didikte pasar.
Petani kultural memproduksi kebudayaan, di mana pangan diproduksi dari mentah sampai matang dan kemudian didaur ulang. Bertani adalah menyelaraskan alam beserta kebudayaannya yang luhur. Tentang rasa, karsa, dan karya seni dalam bercocok tanam tradisional. Kebudayaan yang diciptakan dan dihidupkan petani adalah kebudayaan yang berbasis mengolah tanah.
Petani Indonesia mayoritas masih jauh dari pendidikan modern. Memanjakan pupuk dengan subsidi adalah sebuah “penjajahan” konsep bertani yang dianggap kuno. Merusak tatanan ekosistem pertanian dengan pupuk kimia. Manghancurkan masa depan petani yang menggantungkan hidupnya dari seberapa banyak hasil panen.
Kerusakan alam dan tanah karena masifnya pemberian pupuk subsidi adalah bukti budaya pertanian tradisi tidak begitu dipertimbangkan dalam skala nasional. Kebudayaan petani lambat laun akan dihilangkan dan digantikan dengan teknologi. Padahal kebahagian seorang petani bukan terletak pada bagaimana mereka mencukupi kebutuhan nasional, melainkan pada budaya bertani dari masa menebar benih, menyemai, menanam, menyiangi, dan memanen hasil tanaman.
Jika pemerintah berniat “menagih hutang” atas hasil subsidi pertanian, maka petani selama ini hanya dianggap pembantu negara yang bertugas menyediakan pangan nasional. Memaksanya bekerja lebih keras agar suatu saat bisa “membayar hutang” yang terlanjur diberikan kepada petani selama bertahun-tahun.
Pernah dimuat di Caknun.Com
0 comments: