Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, ada 1.128 suku di Indonesia yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau. Perubahan komposisi suku yang sering berpotensi untuk terjadinya konflik politik, sosial, dan ekonomi.
Media massa kerap menyajikan konflik sebagai headline berita. Menurut Ishwara (2011:77), konflik dianggap memiliki nilai berita yang termasuk tinggi karena biasanya menimbulkan kerugian atau korban. Bentuknya bisa berupa peperangan, tawuran, demonstrasi, pembunuhan, perdebatan seputar ekonomi, agama, politik, budaya, maupun kemanusiaan.
Di Indonesia, dari 47 ribu media daring, baru sekira 2.700 yang sudah terverifikasi di Dewan Pers. Menariknya, dari Survei Elderman, Indonesia memiliki tingkat kepercayaan terhadap media massa mencapai 72 atau tertinggi dibandingkan negara lain seperti China (70), India (69), Singapura dan Malaysia (62), Belanda dan Thailand (61).
Namun 59 persen menilai bahwa wartawan secara sengaja juga bermaksud untuk menyesatkan pembaca dengan menyampaikan sesuatu yang mereka tahu akan bermasalah atau berlebihan untuk dijadikan sebuah berita. Ketika media disandarkan pada perusahaan (bisnis) yang berorientasi pendapatan/ uang, maka pemberitaan yang jauh dari kesan nyata kerap dijadikan tajuk berita untuk menarik konsumen atau pembaca.
Baca Juga : Demokratisasi Digital
Dalam arena publik, berbagai isu maupun permasalahan sosial seperti kekerasan dan konflik selalu menjadi konsumsi umum yang disajikan dengan berbagai perspektif oleh media-media yang melakukan liputan. Tidak hanya sebagai medium, media juga dapat menempatkan diri sebagai pelaku dalam mendefinisikan realitas sosial. Media tidak lagi hanya menyampaikan realitas, namun bekerja berdasarkan kecenderungan, kepentingan, dan keberpihakan yang dianggap penting.
Media mampu memengaruhi opini publik dengan framing terhadap sebuah pemberitaan. Peran media dalam kehidupan sosial bukan sekadar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan informasi berita mempunyai peran signifikan dalam proses pembentukan sosial.
Idealnya, pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik. Media massa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan prinsip peace journalism atau jurnalisme damai daripada war journalism atau jurnalisme perang.
Media berperan penting sebagai penerang dan penenang, sehingga dalam menjalankan peran dan fungsinya itu tentu orang yang menggerakkan media haruslah berkompeten dan mempunyai kredibilitas yang independen. Setidaknya, pemberitaan tentang konflik di media massa dapat membawa pengaruh pada dua hal, (1) pemberitaan media justru memperluas eskalasi konflik. (2) dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik.
Media hendaknya selalu menjadikan kode etik jurnalistik sebagai asas dalam melakukan aktivitas pemberitaan dan kebebasan pers yang dijalankan hendaknya tidak disalahgunakan untuk meningkatkan penjualan atau keuntungan ekonomi bahkan kepentingan lainnya atas sebuah peristiwa konflik yang terjadi.
Dibutuhkan sinergisitas yang konstruktif antara media massa, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, pemerintah dan masyarakat untuk terus mengkampanyekan setiap pemberitaan dan ekspos media yang edukatif, objektif, damai dan berorientasi pada resolusi konflik.
Pers diberikan keluasan ekspresi sebagai media yang mengontrol, bahkan mengubah kebijakan yang dianggap tidak berasas keadilan. Namun, kebebasan pers juga harus berlandaskan pada kode etik jurnalistik yang menekankan pada nilai cover both side. Media mempunyai kekuatan untuk mengendalikan/ meredam situasi konflik politik dan sosial sebuah negara, sebaliknya, media juga bisa menjadi pengatur konflik dan kekacauan politik dan sosial.
Bertaburnya kanal berita daring dan luring, memaksa media-media unggulan mengikuti pasar dengan pemberitaan yang sering menyimpang dari aspek edukasi dan keselarasan inforamasi. Cenderung memberitakan isu-isu sensitif di masyarakat dan pemberitaan seputar artis atau yang sedang viral saat itu. Media kehilangan taring ketika konsumen atau pasar lebih tertarik membaca berita viral daripada inspiratif.
Media massa pun beralasan demi berlangsungnya produksi berita yang membutuhkan anggaran dari sponsor atau donatur. Penilaiannya tentu dari jumlah traffic atau kunjungan pembaca. Pemberitaan yang berorientasi kepada konflik tidak serta merta ditujukan kepada perusahaan media massa, tapi juga masyarakat yang lebih menggandrungi pemberitaan “tidak berkualitas”.
Besarnya pengaruh media terhadap pembentukan sosial masyarakat, diharapkan mampu menjaga stabilitas politik sebuah negara. Mengedepankan sikap jujur dan independen tanpa tendensi politik dan ekonomi. Jika media massa dikembalikan kepada esensi jurnalistik dengan motif menjaga persatuan, maka Indonesia akan bersiap menatap generasi baru yang unggul dan berkualitas.
Pernah dimuat di Harian Jateng
https://www.harianjateng.com/read/2021/03/28/peran-media-dalam-menjaga-persatuan/
0 comments: