Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia - Immanuel Kant
Tanpa agama pun, manusia mempunyai naluri untuk berperilaku baik. Terkadang kebaikan menjadi pertentangan ketika tidak disepakati secara komunal. Keinginan berlaku baik setiap manusia didasarkan atas keinginan untuk berkehidupan secara harmonis. Batas toleransi kebaikan dan keburukan seringkali dijadikan konflik untuk eksistensi individu atau kelompok. Pada akhirnya semua berlomba-lomba untuk sebuah kemenangan daripada kebaikan.
Pengalaman dan pengetahuan setiap manusia berbeda satu sama lain. Penghakiman terhadap keyakinan orang lain akan memantik emosi untuk bertikai mempertaruhkan ideologi yang dipegang. Agama hadir sebagai pembatas kebebasan manusia dalam berekspresi. Di lain hal, agama bisa dijadikan sarana untuk memenangkan sebuah ideologi atas yang lain.
Agama ditujukan kepada manusia untuk lebih memperjelas batasan norma dan etika dalam berperilaku terhadap dirinya sendiri, sesama manusia, alam, dan Tuhannya. Setiap agama mempunyai aturan dan tata kelola pengikutnya agar lebih mengetahui peranannya. Saling berhubungan baik, mengasihi, dan menjaga alam untuk keberlangsungan kehidupan setelahnya.
Untuk mengingatkan kembali batasan dalam beragama, maka masyarakat menentukan ulama sebagai acuan dalam melihat kebenaran dan kebaikan sesuai keyakinannya. Kapabilitas seorang ulama ditentukan dengan syarat tertentu yang kemudian sah untuk disepakati oleh kelompok tertentu. Bagi orang yang merasa jauh dari pemahaman agama, mereka akan bertaklid kepada ulama untuk meyakini keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Baca Juga : Pahlawan, Habib Rizieq Shihab
Kriteria Ulama
Pelabelan ulama memang identik dengan agama Islam, meskipun secara harfiah bermakna orang alim (berpengetahuan). Lebih spesifik lagi adalah orang yang berpengetahuan di bidang agama. Sehingga setiap agama mempunyai “ulama”-nya masing-masing yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan berdasarkan agama yang dianutnya.
Dalam agama Islam, menyandang gelar ulama tentu tidak sebatas pakaian dan perkataan motivasi di media sosial. Ulama bukan gelar akademis yang bisa didapatkan dengan hanya mengenyam pendidikan formal. Ulama adalah gelar masyarakat yang disepakati bersama. Ketika sudah disepakati, maka muncul sematan seperti Gus, Kiai, Ustaz, Tuan Guru, dan sebagainya.
Selain kecakapan ilmu agama, ulama juga harus ahli ibadah. Ulama adalah pewaris nabi (HR. Abu Dawud), jadi beban membawa dan mendakwahkan agama harus bisa dipertanggungjawabkan. Syarat terakhir menjadi ulama adalah bisa bersikap arif. Kebijaksanaan bertutur dan berperilaku sesuai nabi dan tuntunan agamanya. Mengedepankan akhlak daripada kepentingan pribadi. Akhlak seorang ulama lebih penting daripada tutur kata yang mudah untuk dimanipulasi semua orang yang bercita-cita menjadi ulama.
Perilaku yang mencerminkan kebaikan dan keindahan seorang ulama adalah cerminan dari agama itu sendiri. Jika ulama bisa mempertontonkan agama yang damai dan penuh kasih, maka jamaahnya akan semakin meyakini kebenaran agama yang dianutnya, sebaliknya jika ulama mengesankan akhlak yang arogan, anarki, dan penuh kebencian, maka akan mencoreng agama itu sendiri.
Baca Juga : Penerapan Revolusi Akhlak
Kriminalisasi Ulama
Disambut ratusan ribu pendukung fanatiknya, Habib Rizieq Shihab (HRS) pulang kembali ke Indonesia. Digadang-gadang sebagai imam besar umat Islam, pemimpin FPI itu datang membawa “oleh-oleh” Revolusi Akhlak. Pesona HRS dalam menggelorakan demo 212 memang menjadi magnet tersendiri bagi kalangan muslim milenial. Tidak lagi pertaruhan antar mazhab atau amaliyah, melainkan pertarungan ideologi agama.
Harapan rekonsiliasi antara pemerintah dan HRS direspon dengan syarat untuk tidak ada lagi kriminalisasi ulama di Indonesia. HRS yang dikenal anti terhadap pemerintahan Jokowi berulang kali melemparkan opini tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai persoalan dalam negeri, salah satunya adalah perlakuan terhadap ulama dan umat Islam.
Gairah untuk “berjihad” muslim milenial terus berkumandang di jalan-jalan dan platform-platform media sosial. Artis-artis juga turut menyemarakan kefanatikan terhadap agama. Antusias umat muslim yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia, membuat kegagapan penegak hukum. Perlakuan hukum terhadap tokoh yang dianggap ulama pun menjadi berbeda dengan orang biasa. Labelitas ulama harus bisa dilindungi, meskipun ada pelaporan atas pelanggaran hukum tertentu.
Momentum euforia fanatik pada agama sering dimanfaatkan untuk melabeli diri sebagai ulama. Meskipun dalam sejarahnya tidak pernah menempuh pendidikan agama secara formal maupun informal. Bahkan pembicaraan lebih banyak mengarah kepada politik kebencian yang kemudian viral di media sosial dan disepakati sebagai ulama.
Kriteria yang tidak baku tersebut, maka harus cermat memilih dan menentukan ulama. Jangan sampai pembelaan terhadap seseorang yang jelas melanggar hukum kemudian diberikan dalih kriminalisasi ulama. Semoga kampanye kriminalisasi ulama bukan berarti melegalkan anarkisme moral dan perilaku di Indonesia. Karena dalam Undang-Undang Negara Indonesia Bab X pasal 27 ayat (1), menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Jika ada perlakuan khusus terhadap ulama -yang dikhususkan lagi bagi ulama beragama Islam-, lantas apakah Indonesia masih disebut negara hukum yang berlandaskan pancasila sebagai dasar negaranya?
Pernah dimuat di Lira Media
https://liramedia.co.id/read/sejauh-mana-perlakuan-hukum-terhadap-ulama
0 comments: