Cukup menarik sekilas melihat gambar bertuliskan “Gaji Presiden Lebih Besar dari Wakil Presiden, Gaji Gubernur Lebih Besar dari Wakil Gubernur, Seharusnya Gaji Rakyat Lebih Besar dari Wakil Rakyat”. Meskipun kemudian disanggah berdasarkan perhitungan gaji total semua rakat yang memang lebih besar dari gaji total semua wakil rakyat.
Berdasarkan data DPR RI terpilih 2019, profil anggota legislatif lulusan SMA sebanyak 58 kursi, lebih banyak 10 kursi dibandingkan periode 2014-2019. Begitupun lulusan D3 yang terdiri dari 6 kursi, lebih banyak 4 kursi dari periode sebelumnya, sedangkan 16 kursi lainnya tidak menampilkan profil pendidikannya. Berdasarkan pekerjaannya, anggota DPR RI sebagian diisi mahasiswa, Ibu rumah tangga, purnawirawan, pensiunan sipil, hingga para artis.
Sistem patriarki dalam lembaga legislatif juga cukup mencolok. Periode 2019-2024, 80% anggota DPR RI berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan usia, kursi jatah kaum milenial hanya 9%, sedangkan 17% berusia di atas 60 tahun. PKS menjadi satu-satunya parpol yang tidak meloloskan satu pun kaum milenial di kursi legislatif.
Dari anatomi data anggota DPR RI periode 2019-2024, rakyat seharusnya mulai cemas aspirasinya tidak tersampaikan ke parlemen. Krisis kepercayaan juga semakin dirasakan ketika 19,24% masyarakat memilih golput pada pemilu 2019 (survei LSI Denny JA). Meskipun jumlah golput diakui berkurang dari pemilu-pemilu sebelumnya, nyatanya masih banyak masyarakat yang kurang percaya menggantungkan nasibnya kepada presiden atau partai atau DPR.
Konsep bentuk penyaluran aspirasi rakyat kepada anggota DPR RI tiap dapil juga tidak begitu dirasakan. Apalagi sosialisasi program atau undang-undang yang begitu banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan waktu pemilihan anggota legislatif, banyak yang tidak tahu track record anggota DPR RI yang dipilihnya. Bagi warga pedesaan dan pinggiran kota, mereka memilih hanya berdasarkan fanatisme partai dan “serangan fajar” dari kader-kader kontestan pemilu.
Setelah menjadi anggota legislatif, mereka jarang membaktikan diri untuk dapilnya. Bahkan dari banyak orang yang ditanyai, mereka tidak tahu siapa yang seharusnya mewakili aspirasinya. Kurangnya intensitas anggota DPR berkunjung ke daerah pilihan, apalagi bagi daerah yang warganya banyak tidak memilihnya, membuat semakin meragukan kualitas wakil rakyat untuk mewakili aspirasi rakyatnya.
Baca Juga : Partai Islam dalam Kancah Politik Nasional
Proses Menjadi Anggota DPR RI
Anggota DPR RI yang berlatar belakang profesional tidak begitu terasa pengaruhnya ke publik. Mereka kalah populer dengan anggota DPR yang sarat kontroversial dan anggota yang berprofesi sebagai selebritis. Seringnya muncul di televisi menjadikan tolok ukur seberapa berintegritas wakil rakyat yang memegang amanah jutaan penduduk Indonesia.
Rakyat dibuat gregetan saat antar anggota DPR berdebat tidak sesuai substansi dan lebih menampilkan emosi saling hujat. Selain itu, ada juga anggota DPR yang rangkap kerjaan dengan cengar-cengir mengisi acara lawak di layar kaca. Anggaran dana DPR RI mencapai 5,11 Triliun seharusnya cukup untuk membuat program yang strategis menyejahterakan rakyat. Sehingga tidak ada lagi keluhan seputar kesehatan, pendidikan, dan pengangguran di Indonesia.
Kurangnya keterwakilan secara menyeluruh disebabkan karena proses menjadi anggota DPR tidak semudah membalik telapak tangan. Selain harus direstui partai politik pengusung, calon anggota DPR juga harus menyiapkan modal kampanye pribadi dan partai hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh besar karena prestasi dan keluhurannya tersisih karena ketiadaan partai pengusung dan kepentok “dana politik” yang tidak semuanya bisa dijangkau. Figur politisi kembali dipersempit oleh partai-partai yang mempunyai nama besar sesuai alokasi jumlah kursi di senayan. Jadi wakil rakyat bukan orang-orang terpilih karena kecakapannya memajukan daerah, tapi lebih kepada tingkat popularitas dan kekuatan dana yang kemudian diamini oleh partai politik pengusung.
Menganalisis jumlah anggaran biaya kampanye, cukup dimaklumi jika rakyat berpikir negatif tentang kinerja DPR RI yang lebih mementingkan balik modal (syukur bisa untung) daripada mengalokasikan dana untuk kunjungan kerja ke daerah-daerah terpencil. Citra DPR dianggap bukan lagi mewakili rakyat, namun lebih kepada sebuah lembaga formal yang diciptakan untuk mendikte opini masyarakat.
Demikian yang sering dikritisi para seniman dan tokoh masyarakat. Iwan Fals yang menyatakan bahwa wakil rakyat hanya segerombolan paduan suara yang hanya bisa bilang setuju. Senada dengan Gus Dur yang menyatakan bahwa DPR tidak lebih baik dari anak TK yang masih suci, cerdas, dan kreatif.
Baca Juga : Apa Kabar Pembantu Presiden?
Satu Gerbang Pemerintah
2019 adalah tahunnya PDIP. Menang telak di pemilu, pengukuhan kembali Jokowi sebagai presiden, dan Puan Maharani sebagai ketua DPR RI. Seakan menjadi magnet, partai-partai oposan juga menempel ke kubu petahana. Hanya PKS yang terang-terangan bersebrangan dengan pemerintah, kemudian demokrat yang memilih menjadi bunglon dalam menentukan sikap politik.
Terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI menjadi kegundahan tersendiri bagi rakyat. Sebagai anak Megawati yang notabene pendiri dan pemimpin PDIP, presiden dan DPR RI seolah berada dalam satu gerbang kereta, dan PDIP sebagai masinisnya. Padahal diadakannya lembaga legislatif untuk mengontrol kebijakan eksekutif, sehingga tidak ada kesan otoriter dalam menentukan nasib bangsa. Ketika jumlah kursi oposisi hanya segelintir, maka tidak akan mampu menahan laju deras kebijakan-kebijakan yang pro pemerintah.
Ketika dirasa ada penyalahgunaan wewenang, maka pertempuran bukan lagi terjadi di forum koalisi dengan oposisi, melainkan pemerintah (termasuk DPR RI) dengan rakyat. Jika mengacu pada mandat UUD ‘45, seharusnya rakyat dikembalikan ke tempat yang semestinya. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2). Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan dilakukan dari DPR, oleh DPR, dan untuk DPR.
Jika pemilihan umum anggota DPR dirasa tidak mewakili rakyat, apa perlu suatu saat cukup menggunakan sistem daring saja untuk menghemat anggaran negara?! Malah lebih bermanfaat digunakan untuk menggaji pengangguran seperti kebijakan di negara Finlandia, Irlandia, Arab Saudi, dan Selandia Baru.
0 comments: