Orasi budaya dalam acara peresmian Gereja Bethel Indonesia (GBI) Amanat Agung, Penjaringan, Jakarta Utara yang dilakukan oleh Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah) menimbulkan konfrontasi di dunia maya. Tudingan kafir dan sesat tidak henti disematkan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman tersebut.
Bukan hanya dari warganet, beberapa ustaz juga menyampaikan pandangan terkait hukum memasuki gereja oleh umat muslim. Seperti KH. Muhammad Najih (Putra KH. Maimoen Zubair) yang menentang sikap Nahdlatul Ulama sebagai pengusung Islam Nusantara yang terkesan mengentengkan syariat (masuk ke tempat ibadah agama lain).
Selain itu, Ustaz Abdul Somad (UAS) juga memberikan pernyataan keras tentang keharaman seorang muslim memasuki gereja ketika merespon pertanyaan mengenai Film The Santri (2019) berdasarkan pandangan mazhab Syafi’i. Sedangkan Buya Yahya menjelaskan lebih halus berdasarkan konteks tujuan seorang muslim masuk gereja. Menurut mazhab Syafi’i haram, sedangkan menurut mazhab Imam Malik dan Imam Hambali hukumnya makruh.
Ustaz Adi Hidayat semakin memanaskan diskusi dengan mengutip kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah karya pendiri Nahdatul Ulama KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang menyatakan kekafiran bagi setiap muslim yang masuk gereja. Meskipun kemudian dibantah oleh Nadirsyah Hosen (Rais Syuriah PCINU Australia), bahwa konteks kekafiran yang dimaksud adalah jika seorang muslim ikut beribadah (ritual) dengan agama selain Islam.
Jika hanya dengan masuk rumah peribadatan agama selain Islam dihukumi kafir, berapa juta orang Islam yang kafir karena pernah mengunjungi Candi, Pura, Vihara, Klenteng/ Litang, dan sebagainya untuk sekedar berekreasi?
Namun narasi untuk menjatuhkan nama besar Gus Miftah semakin gencar di internet. Basis masa yang “melawan” ideologi NU akan terus diviralkan meskipun di sisi lain ada beberapa tokoh yang turut serta dalam acara serupa, seperti Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Helmy Faishal Zaini (Sekjen PBNU), dan beberapa tokoh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Baca Juga : Menikmati Islamnya Gus Baha'
Risiko Menjadi tokoh NU
Selain Gus Miftah, banyak tokoh NU yang sebelumnya mengisi acara di gereja sebagai bentuk toleransi dan menjaga persatuan antar agama. Misalnya Gus Dur, Cak Nur, Habib Luthfi, dan masih banyak lainnya pernah mengunjungi gereja. Bahkan ada “kewajiban” khusus bagi Ansor dan Banser untuk turut menjaga gereja ketika perayaan Natal.
Selain dari tokoh NU, tokoh pejuang toleransi lainnya juga pernah mengunjungi gereja seperti Muhammad Ainun Najib (Cak Nun), AA Gym, Buya Syafi’i Maarif, dan lain sebagainya. Namun berbeda perlakuan, Gus Miftah yang dianggap representasi NU generasi milenial dicerca sedemikian hebat untuk menurunkan kredibilitas NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sebelum heboh Gus Miftah masuk gereja, beberapa tokoh NU juga sempat mendapat hujatan oleh sebagian umat muslim di Indonesia. Seperti tuduhan antek zionis terhadap KH. Yahya Cholil Staquf, pengusung paham Islam liberal terhadap Gus Dur, Gus Mus, hingga KH. Aqil Siradj (ketua umum PBNU). Terakhir adalah kasus Gus Muwafiq yang dianggap menistakan Nabi Muhammad dengan menyebut “rembes”.
Menjadi tokoh NU harus siap lahir batin dihujat, difitnah, dan diintimidasi untuk menggembosi organisasi yang istikamah menjaga NKRI tersebut. Semakin terkenal ketokohan ulama tersebut, maka semakin besar peluang mencari celah untuk dijatuhkan nama baiknya. Bagi pembenci NU, sebanyak apapun mengislamkan nonmuslim dan seluas apapun pemahamanan tentang kitab, mereka tetap punya potensi untuk digulingkan.
Kasus Gus Miftah bukan semata pertentangan antar ideologi Islam konservatif dan progresif, lebih dari itu, ada motif politik yang melatarbelakangi untuk kompak memusihi NU. Pengaruh NU dalam politik nasional selalu menjadi rebutan calon kontestasi pileg dan pilpres. Kedekatan NU dengan pemerintah semakin menguatkan ambisi menjatuhkan NU dari segi ideologi dan kekuatan politik.
Pemilihan wakil presiden kepada KH. Ma’ruf Amin (mantan Rais Aam NU), menteri agama yang dijabat oleh Yaqut Cholil Qoumas (Ketua Umum PP GP Ansor), dan beberapa tokoh NU kultural di dalam jajaran kepemerintahan dan kelembagaan negara adalah bentuk mesranya hubungan NU dan pemerintah. Bagi oposan, memusuhi NU, termasuk tokohnya, juga salah satu ikhtiar menggoncang stabilitas politik pemerintahan.
Misi lain adalah untuk menarik masa agar turut bergabung melawan ideologi NU. Mulai dari HTI dan FPI yang dibubarkan oleh pemerintah, mazhab konservatif yang digagas untuk menghilangkan tradisi atau ibadah yang dianggap sesat, hingga konsep negara syariah (Khilafah Islamiyah) yang selalu dihadang oleh NU.
Tidak ada sematan ulama dalam narasi kriminalisasi ulama ketika tokoh NU yang notabene mempunyai ratusan bahkan ribuan santri ketika tersandung masalah. Malah kadang diviralkan agar mendapat banyak atensi tentang kelemahan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Media sosial menjadi sarana memanjakan kaum takfiri untuk mengekpresikan kebenciannya terhadap ulama yang berbeda pandangan dengannya.
Kadang pengakuan Islam bertolak belakang dengan nilai-nilai kasih sayang dan lebih menyukai ekspresi kebencian dan permusuhan tanpa melihat sisi positif dari perilaku yang dilakukan. Mengutip pesan Gus Miftah, “Orang yang mampu membimbing sekian ratus orang untuk bersyahadat menjadi seorang mualaf hanya karena video (masuk gereja) tersebut kemudian dikatakan kafir.”
Atau memang muslim modern saat ini lebih menyukai banyak tokoh atau masyarakat yang kafir daripada jika harus bersaudara sesama muslim? Wallahu’alam...
0 comments: