"Muslim belum tentu Islam. Karena bisa jadi umat Islam tidak merepresentasikan nilai-nilai Islam itu sendiri." Demikian salah satu kutipan dari banyak pesan yang disampaikan Habib Husain Ja’far Al Haddar alias Habib Ja’far di ruang-ruang digital. Mengawali karir sebagai penulis opini di koran-koran nasional, beliau menjelma menjadi tokoh yang diidolai generasi milenial di platform YouTube.
Pemuda yang lahir di Bondowoso tanggal 21 Juni 1988 silam ini merepresentasikan sosok habib yang toleran. Melalui channel YouTube Jeda Nulis, ia kerap menyuguhkan diskusi renyah dengan para pendeta dan biksu. Mengajarkan ajaran Islam yang cinta damai disela sikap anarkisme muslim belakangan ini. Setidaknya memberikan gambaran bahwa habib tidak identik dengan model dakwah yang kaku dan antikeberagaman.
Berkat kecerdasannya dalam mengolah bahasan diskusi, disertai keluasan pengetahuan, ia kini menjadi tokoh ulama populer di media digital. Bahkan beberapa kali diundang sebagai narasumber oleh tokoh-tokoh politisi, ulama, artis, hingga komunitas-komunitas nonmuslim. Tak ayal wajahnya berseliweran di beranda YouTube dan potongan videonya tersebar di berbagai media sosial.
Meski beberapa kali dihujat muslim konservatif karena pernyataan-pernyataan “liberal” ala Gus Dur, popularitas Habib Ja’far masih tetap menjadi primadona bagi banyak muslim, bahkan yang nonmuslim. Ia menjadi simbol bahwa status habib bukan berarti yang sosok kaku dengan pakaian jubah dan sorban. Mampu membaur dengan berbagai macam tokoh dengan latar belakang yang berbeda.
Pemuda 33 tahun ini juga sudah menerbitkan bermacam buku berdasarkan gagasan Islam toleran. Di antaranya adalah; Menyegarkan Islam Kita, Anakku Dibunuh Israel, Islam "Mahzab" Fadlullah, dan yang paling terkenal adalah Tuhan Ada di Hatimu. Hingga saat ini, subsricber YouTube Jeda Nulis juga sudah mencapai 555 ribu.
Baca Juga : Fahruddin Faiz, Menghilangkan Skeptisisme Filsafat
Pemuda Tersesat
Melesatnya metode dakwah Habib Ja’far tidak lepas dari pijakan konten bersama Majelis Lucu Indonesia (MLI). Digawangi Tretan Muslim dan Coki Pardede, ia mendirikan sebuah wadah bernama “Pemuda Tersesat” dan dijuluki sebagai The Protector, The Middle Man, hingga The Light in The Darknes.
Coki Pardede yang mengaku sebagai agnostik cukup tertarik dengan cara dakwah Habib Ja’far. Demikian yang menjadikannya motivasi untuk memberikan ruang seluas-luasnya kepada Habib Ja’far agar image agama Islam tidak dipandang sebagai agama yang radikal, anarkis, dan kaku (takfiri). Baginya, Habib Ja’far memberikan keluasan berpikir bagi orang lain tanpa harus menghakimi salah dan sesat. Ada komunikasi dan jawaban yang logis bahwa Islam memang diajarkan secara toleran.
Melalui Pemuda Tersesat, Habib Ja’far ingin mengajarkan kepada masyarakat bahwa ada yang hilang dari budaya Indonesia. Sekarang, kata-kata gampang dikonotasikan menjadi hal yang negatif yang pada akhirnya menimbulkan ketersinggungan. Tersesat adalah kata negatif yang coba diaplikasikan dengan cara yang baik. Harapannya, masyarakat mengurangi rasa ketersinggungan dengan mencari hal positif dari sesuatu yang dianggap buruk.
Pemuda Tersesat menjadi oase bagi kalangan pemuda yang jauh dari keterlibatan ritual ibadah keagamaan. Menanyakan hal-hal yang dianggap tabu dan dijawab dengan dalil dan pemahaman seputar agama. Meski dibungkus dengan komedi, dakwah ala Habib Ja’far lebih mudah diterima generasi milenial daripada kajian atau pengajian yang sifatnya formal.
Setidaknya bagi penikmat konten Pemuda Tersesat akan diajak berpikir tentang makna cinta ilahiah dan harmonisasi sosial. Tidak buru-buru menjustifikasi berdasarkan informasi yang kurang lengkap. Agama bukan dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan dan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pesan tersebut yang dijadikan harapan masyarakat yang merasa jauh dari agama untuk tetap istikamah beribadah. Menyajikan konten hiburan namun masih dalam koridor syariat Islam. Bagaikan berdakwah di dalam kubangan, Habib Ja’far konsisten “memberi penerangan” dengan metode dagelan.
Lawak dijadikan instrumen untuk memikat kawula muda agar tidak gampang tersinggung. Bukan berarti membercandai agama, namun lebih kepada efektivitas dakwah yang bisa diterima luas oleh masyarakat. Pemuda tersesat adalah simbol bahwa masyarakat jangan berkecil hati jika dituduh sesat dan kafir. Karena merasa diri lebih baik dari orang lain yang justru berbahaya bagi seorang muslim.
Euforia ketersesatan menjadi gairah tersendiri bagi jamaah pemuda tersesat untuk belajar agama tanpa pendidikan formal (pesantren atau madrasah). Menjelaskan dengan mudah berdasarkan kemampuan logika masyarakat awam menerima ajaran agama yang damai dan penuh cinta.
Seperti dalam buku terbitannya yang terakhir, “jangan jauh-jauh mencari Tuhan di mana, Ia bersemayam dalam hatimu.”
Pernah dimuat di Alif.id
https://alif.id/read/jy/habib-husein-jafar-al-hadar-dimensi-ruang-islam-toleran-b239433p/
0 comments: