Semula dikira baik-baik saja, kemudian disangka tidak baik-baik saja. Aku menyebutnya begundal agama, orang biasa yang terlanjur ditokohkan. Tampil trendi dengan jubah dan sorban di kepala, mereka berceloteh panjang lebar di depan layar smartphone. Menghafal sedikit bacaan Arab biar afdal menggaet jamaah.
Halus tuturnya, sempit pengetahuannya, dan keruh hatinya. Maaf kusebut demikian sebab begitu muaknya mendengar retorika palsu mengajarkan kebencian atas nama agama. Semua pun bisa memanipulasi dirinya tampil sebagai ulama di media sosial. Bermodal sorban, jubah, dan wak doyok, agama bisa dimanfaatkan mengeruk keuntungan ekonomi dan popularitas. Jangan lupa, hafalan hadis-hadis ringkas.
Setelah diresmikan secara informal oleh jamaah buta agama, ia kemudian membungkus kejahatan moral dengan pakaian agama. Dimulai dari membenturkan ideologi dan keyakinan. Puncaknya adalah ajakan berjihad dengan iming-iming nafsu bidadari surga. Para begundal agama mengembangkan industri dengan memepet klien-klien potensial dari luar negeri. Menjilat para politikus negeri yang diasingkan pemerintahan sah.
Misi terselubung paling sulit adalah perekrutan remaja dan pemuda intelektual. Masuk ke gorong-gorong sekolah dan kampus dengan label-label hijrah. Ketika tergiur, mereka dibaiat berjuang di jalan begundal agama. Memanfaatkan jiwa adaptif dan inovatif bidang informasi teknologi untuk mempengaruhi selera masyarakat agar mudah terpecah belah. Menyebarkan ideologi secara masif ke ruang publik dengan bahasan sensitif yang memicu konflik.
Begundal agama masih lantang menyuarakan kecacatan logika beragama. Merasa besar dan populer karena rekrutan potensial dari pemuda-pemuda yang tidak begitu paham agama. Menyisipkan ideologi konservatif disertai kisah yang mengada-ada. Menjawab semua kegelisahan dengan ngawur tanpa rujukan dan landasan kitab yang jelas. Semua ditipu tapi tidak sadar dan malah merasa dinasehati. Sikap fanatik atau taklid buta yang menjadikan begundal agama bebas ngoceh semaunya.
Agamaku dinista para begundal yang mengklaim diri sebagai ulama. Menyertakan identitas ustaz di nama akun media sosialnya. Tidak ada standarisasi kelayakan ustaz selain keberanian mengakui diri sebagai ustaz meski masih amatir membaca kitab. Di zaman manipulatif ini, agama jadi instrumen menggiurkan untuk mewujudkan mimpi menjadi artis agama dan diidolai banyak kaum hawa.
Baca Juga : Menikmati Islamnya Gus Baha'
Menista Nabi Muhammad
Sepulang kerja, aku melakukan aktivitas biasa. Mencuci piring, masak, dan mandi. Setelahnya, tiduran menyalakan televisi dan membuka aplikasi YouTube. Di tampilan utama ada video Habib Novel Alaydrus yang marah-marah mendengar ceramah begundal agama menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabat itu berjidat hitam sebagai penafsiran dangkal mengenai tanda bekas sujud.
تَرَىٰهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ
Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
“’Jadi jelas Nabi Muhammad jidatnya hitam’. Goblok awakmu (Bodoh dirimu)! Maaf saya goblok-goblokan. Karena ini merupakan penghinaan nabi. Siapa yang menafsirkan Alquran dengan kepalanya sendiri, otaknya sendiri, maka sudah disiapkan tempat duduk di neraka. Coba buktikan pada saya, ada-tidak satu ayat saja yang menjelaskan jidat nabi hitam? Yang ada bekas sujud. Saya tantang, ada-tidak mufasir yang manafsirkan itu sebagai jidat hitam.”
Setelah itu dijelaskan panjang lebar mengenai tafsir bekas sujud oleh Habib Novel. Namun sayangnya banyak orang yang terlanjur tergiur dengan dakwah begundal agama. Apapun yang diomongkan dijadikan fatwa (kebenaran mutlak). Jika ada perbedaan pandangan, malah diserang balik. Padahal ada keturunan nabi yang bilang itu penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Eh, malah banyak yang mengampanyekan gerakan jidat hitam.
Harusnya semakin tinggi pendidikan, semakin kritis terhadap perbedaan. Bukan hanya sendiko dawuh saja pada ulama-ulama palsu. Kalau ditipu untuk diri sendiri tidak masalah. Ini ditipu untuk diajak menghina nabi kok malah dihukumi fardhu kifayah.
Tapi kan beliau lulusan universitas Islam?
Aku juga lulusan ekonomi kampus ternama tapi tidak begitu paham tentang ekonomi. Temanku lulusan sastra malah bekerja sebagai tenaga adminsitrasi. Masih banyak juga lulusan perguruan tinggi unggulan yang tidak paham materi kuliahnya. Parameter kecakapan pengetahuan bukan diukur dari lulusan mana manusia itu. Apalagi klaim diri sebagai ustaz. Bagaimana bisa dijadikan panutan kalau kapasitas memahami agama hanya sebatas terjemahan dan logika amatir ala begundal agama?
Masih banyak penjelasan yang menistakan Nabi Muhammad secara halus. Seperti pelegalan kebencian, ajakan anarkisme atau peperangan, hingga konsep bunuh diri atas nama jihad. Banyak jalan untuk belajar agama. Beruntung bagi yang diketemukan oleh yang benar-benar ulama, nelangsa bagi mereka yang diketemukan oleh para begundal agama.
0 comments: