Ada kesalahan sistem kehidupan yang membuat kejahatan dianggap sebagai kewajaran. Ketika transformasi digital mengarahkan manusia cinta popularitas, sikap menyalahkan menjadi budaya yang begitu kentara di lini masa media sosial. Kegemaran menyalahkan sikap dan prinsip orang lain menyamarkan esensi kebenaran dan kebaikan yang sebelumnya menjadi nilai dan norma bermasyarakat.
Dalam kasus politik, setiap kebijakan menciptakan pro dan kontra. Fanatisme mengukung manusia mengabaikan banalitas kejahatan untuk mengolok-olok lawan politik atau kubu yang berseberangan. Menyalahkan kebijakan sudah menjadi kewajaran yang dibungkus dengan narasi demokrasi. Padahal setiap kebijakan diambil pemerintah melalui konsensus musyarawah di tingkat parlemen, dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara DPR adalah representasi rakyat yang di dalamnya ada kita sendiri.
Ketika dialasi wakil rakyat dipilih bukan karena keinginannya, sistem akhirnya mendukung bahwa rakyat harus patuh pada asas dan aturan negara. Seolah sistem menghendaki bahwa menyalahkan orang lain (pemerintah) berarti menyalahkan diri sendiri. Kemalasan berpikir dan doyan menyalahkan orang lain merupakan kewajaran banalitas yang tanpa disadari sudah menjadi budaya di era teknologi informasi.
Demikian halnya dengan perilaku kejahatan lain seperti korupsi, pencurian, pembunuhan, hingga pemerkosaan. Ketika habituasi komunal melakukan kejahatan, maka kejahatan akan dianggap sebagai kewajaran. Meskipun jika dipikir dengan berdialog antara “aku dan diriku”, semua orang akan menyepakati tentang indikator kebaikan dan keburukan (kejahatan). Koruptor dan pencuri tahu bahwa korupsi dan mencuri itu merupakan tindakan jahat. Apalagi kalau dilihat dari tingkat pendidikan yang diraihnya.
Namun karena korupsi dianggap kewajaran, kejahatan bisa dilakukan tanpa perasaan takut dan khawatir. “Ah, cuma mengambil sekian kok,” pikirnya. Memaklumi kejahatan yang pada akhirnya menciptakan kewajaran banalitas di segala bidang kehidupan. Bahkan dalam kontestasi politik, semua orang yang duduk berkuasa punya potensi besar melakukan kejahatan kebijakan.
Reformasi yang diidamkan seluruh rakyat Indonesia hanya euforia sesaat ketika para pejabat pada akhirnya juga melakukan sikap diktator dan otoriter. Demikian juga dengan pergantian presiden atau pemerintahan yang terkesan sama saja ketika mulai menjabat. Ketika rakyat memberontak, sistem akan mengembalikan otoritas kekuasaan kepada rakyat. Bahwa terpilihnya pejabat terjadi karena juga keinginan rakyat.
Sementara dalam kaitan agama, kewajaran banalitas kerap melanggar batas-batas norma keagamaan. Seakan membenci, mengolok, melakukan kekerasan, hingga pembunuhan dengan labelisasi jihad dilegalkan. Sedangkan tanpa pakaian agama pun, setiap perbuatan yang mencederai sesama atau lingkungan itu merupakan kejahatan. Namun legitimasi agama atas ideologi tertentu malah mendukung praktek kejahatan atas nama agama.
Ada kecacatan fundamental dalam berpikir bahwa kebaikan dan keburukan mulai tersamarkan akibat budaya membanjirnya informasi kewajaran banalitas. Butuh waktu agar setiap orang melakukan kontemplasi atau muhasabah bahwa sumber konflik berasal dari diri kita sendiri, bukan dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain.
Sikap saling menyalahkan ketika dianggap kewajaran hanya akan menciptakan konflik identitas yang bermuara pada kekerasan atau bahkan peperangan mempertahankan ideologi. Sisi fanatisme juga menjadi faktor brutalnya bersikap memusuhi lawan politik atau kelompok yang berbeda pandangan. Mengambinghitamkan pemerintah atau tokoh publik tidak akan menyelesaikan budaya kewajaran banalitas.
Menyelesaikan masalah tidak dengan cara menyalahkan orang lain. Setiap orang punya masalahnya masing-masing dan punya metode tersendiri mengatasinya. Menyalahkan berarti sikap insecure pada diri sendiri karena tidak pernah mau dianggap salah. Namun ketika kejahatan dilakukan dalam ranah publik dengan mudah diklaim sebagai kewajaran. Seolah setiap orang tidak punya tanggung jawab menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dalam kasus pemakai narkoba bisa saja mengelak bahwa perilaku yang dilakukan atas kesadaran diri dengan kesediaan menanggung risiko yang akan terjadi. Tidak merugikan orang lain, apalagi negara. Namun tetap direhabilitasi atau ditangkap sebab aturan yang sudah disepakati oleh pemerintah, meski dalam penyusunannya tidak melibatkan pelaku. Ada juga kewajaran banalitas ketika berkendara motor tidak menggunakan helm, melakukan hubungan seks di luar nikah, hingga aktif dalam lingkaran buzzer.
Melakukan kejahatan karena tuntutan aturan yang kemudian dianggap kewajaran mengubah persepsi mengenai parameter kebaikan dan keburukan. Kebiasaan mayoritas orang yang melakukan kecurangan atau kejahatan akan menghilangkan nilai moral masyarakat. Setiap orang berhak melakukan kejahatan dalam batasan prinsip yang dipegang masing-masing individu. Esensi kejahatan akan direduksi sesuai kesepakatan komunal.***
0 comments: