Badan Pusat Statistik (BPS) baru ini merilis data kemiskinan tingkat provinsi di Indonesia. Papua masih menduduki urutan pertama provinsi termiskin di Indonesia dengan presentase 27,38 persen. Disusul Papua Barat (21.82%) dan NTT (20,44%). Sementara di DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin bertambah 3.750 orang dibandingkan September 2021 atau meningkat 4,69 persen dari total jumlah penduduk Jakarta.
Menjelang tahun politik, data kemiskinan dapat menjadi parameter kesuksesan pemimpin daerah maju atau lanjut menjadi pemimpin negara. Apalagi Anies Baswedan yang mempunyai elektabilitas cukup stabil selama menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Meskipun banyak yang tidak atau kurang paham mengenai kalkulasi kemiskinan absolut, realtif, kultural, hingga struktural, narasi politik di media sosial mempengaruhi elektabilitas tokoh yang kemudian dibandingkan dengan pencapaian tokoh politik pesaing.
Sebut saja Ganjar Pranowo yang berhasil membawa Jawa Tengah menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,32 persen, dari sebelumnya 11,25 persen (September 2021), menjadi 10,93 persen (Maret 2022). Sementara presentase kemiskinan nasional mengalami penurunan sekitar 340 ribu orang dari posisi September 2021 lalu dan turun 1,38 juta orang jika dibandingkan Maret 2021 lalu.
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan Absolut merupakan pendapatan yang diperoleh seseorang di bawah USD 1$ per hari (Rp 449.760 per bulan) dan Kemiskinan Menengah dengan pendapatan di bawah USD 2$ per hari (Rp 899.520 per bulan). Ada dua penyebab kemiskinan yakni kemiskinan alamiah akibat rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, terbatasnya Sumber Daya Alam, rendahnya penggunaan teknologi, dan bencana alam.
Kedua terjadi sebab pejabat atau lembaga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan fasilitas lain yang tersedia. Hal ini yang menjadi problematika ekonomi makro yang menilai keberhasilan pembangunan berdasarkan pencapaian pertumbuhan, bukan pemerataan. Ada urgensi nasional lain daripada pembagunan infarastruktur yang menggelontorkan banyak dana negara, semantara banyak warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Baca Juga : Keluarga Be(re)ncana
Tetap Miskin
Saya tergelitik dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa generasi milenial semakin sulit memiliki rumah (tempat tinggal) karena kenaikan harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan. Tarik ulur upah minimun selalu menjadi kajian alot antara perusahaan dan buruh yang difasilitasi oleh pemerintah. Nyatanya, kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan bahan pokok.
Sebelum bermimpi memiliki rumah, masyarakat yang didominasi bekerja menjadi buruh perusahaan dipaksa bertahan hidup dengan upah secukupnya. Berdasarkan PP 36/2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja, perhitungan upah minimun masih distandarkan komponen kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan untuk mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang ditinjau setiap tahun mengikuti laju inflasi.
Perubahan budaya dan sosial masyarakat mempengaruhi iklim kerja masyarakat. Apalagi bencana pandemi Covid-19 yang menciptakan aktivitas dunia kerja baru melalui sistem teknologi digital. Banyak perusahaan yang terpaksa memecat pegawainya. Beberapa di antaranya rela dipotong gajinya asal masih bisa bekerja. Tidak ada lagi kesan simbiosis mutualisme selain pegawai yang butuh perusahaan. Sebaliknya perusahaan tidak begitu membutuhkan karyawan yang menuntut standar pendapatan sesuai kinerjanya sebab melihat banyaknya calon pegawai potensial baru yang rela digaji sesuai standar upah minimum daerah.
Sepeti yang digelisahkan Sri Mulyani, generasi milenial yang tidak didukung authorized capital dari orang tua atau keluarga (warisan) akan sulit memiliki rumah di masa mendatang. Apalagi nilai industri properti yang cepat meningkat dibandingkan upah pekerja (buruh). Jika ukuran kemiskinan disederhanakan dengan ketidakmampuan, maka mayoritas penduduk Indonesia yang bekerja sebagai buruh swasta masuk dalam kategori kemiskinan.
Padahal yang dihadapi generasi milenial bukan hanya perkara kemampuan membeli rumah. Mereka juga dihadapkan pada masalah finansial lain seperti, biaya perikahan, pembelian alat transportasi untuk bekerja, hingga gadget sebagai kebutuhan primer di era teknologi informasi. Belum lagi berbagai cita-cita lain seperti liburan keluarga, naik haji, hingga membantu finansial orang tua (keluarga).
Kemiskinan selalu menjadi masalah klasik pembangunan ekonomi. Apalagi tuntutan industri yang menghendaki iklim kapitalisme. Kekuatan modal akan berjaya, sementara masyarakat yang terbiasa hidup seadanya tetap akan kesulitan keluar dari zona kemiskinan dan ketidakmampuan. Tidak ada kesejahteraan selain usaha untuk bertahan hidup menunggu kematian dan keberuntungan pada generasi berikutnya (anak).***
0 comments: