CATEGORIES

Uceng adalah ikan kecil yang hidup di sungai, sedangkan Dheleg adalah nama lain dari ikan Kutuk atau ikan Gabus, dengan ukuran yang cukup be...

Mburu Uceng Kelangan Deleg

Mburu Uceng Kelangan Deleg

Uceng adalah ikan kecil yang hidup di sungai, sedangkan Dheleg adalah nama lain dari ikan Kutuk atau ikan Gabus, dengan ukuran yang cukup besar untuk ikan air tawar. Peribahasa lain yang senada, masih dalam bahasa Jawa juga adalah “Mburu Udhet kelangan Welut”. Welut adalah Belut, adapun Udhet adalah belut kecil.
Bisa juga uceng-deleg diartikan dengan sumbu (unceng, uceng-uceng) dan lampu minyak kuno (deleg). Dalam arti ini, peribahasa itu bisa dimaknai dengan keinginan yang menyala-nyala (diumpamakan dengan ‘uceng’), namun tanpa disertai dengan fasilitas (diumpakan dengan ‘deleg’) yang memadai.
Atau boleh juga dimaknai dengan sarana (diumpamakan dengan ‘uceng’) tanpa prasarana (diumpamakan dengan ‘deleg’). Akibatnya, tidak membuagkan fungsi nyata, sebab keduanya adalah komponen dalam sebuah sistem, yang masing-masing musti ada dan saling mengkontribusikan fungsinya.
Mburu uceng (mencari ikan uceng), kelangan deleg (kehilangan tongkat untuk menyeberangi sungai). Perumpamaan tentang orang yang melakukan usaha untuk mendapatkan hasil tak seberapa, dan mengabaikan usaha yang telah dijalankan dengan mapan. Akibatnya, usaha yang telah mapan tersebut rusak berantakan.
Kalimat sindiran ini berkenaan dengan sikap dan tindakan bodoh, lantaran tidak didasari kalkulasi strategis atau kurang mampu memperhitungkan urgensi. Orang demikian sulit menjadi orang besar, karena terjebak pada hal-hal sepele, remeh, tidak urgen, dan kurang strtegis.
Sementara terhadap hal-hal yang sesunggunya lebih memberi peluang bagi perolehan keuntungan yang lebih besar, justru diabaikan atau ditinggalkannya.
Berkebalikkan dengan itu adalah sikap dan tindakkan yang ambisius, terlampau tergiur pada hal-hal besar yang padahal belum tentu bisa diraihnya. Sementara hal kecil yang bisa didapat atau bahkan riil telah diperolehnya dikesampingkan atau diabaikan.
Hal demikian acap dihadapi seseorang dalam kehidupan nyata, utamanya ketika dihadapkan pada sesuatu yang menggiurkan minat, sehingga mengundang ambisinya untuk dapat meraihnya. Padahal, yang mempesona itu jauh dari kemungkinan untuk bisa didapat, lantaran kapasitas dirinya terbatas.
Akibatnya, hal kecil yang memungkinkan atau bahkan telah diperoleh diabaikan, sementara hal besar yang diidamkan tak mungkin dicapainya, Apabila demikian, maka yang didapatkan hanya ‘cotho (merugi)’ alias tidak memperoleh apa-apa, dan akibatnya cuma bisa ‘deleg-deleg (termnung menyesal)’.
Kedua sikap dan tidakan tersebut disarakan untuk dihindari, kerasa sama-sama tidak menguntungkan. Dalam kalimat peribahasa, tak terkecuali pada paribasan Jawa, binatang acap dijadikan sebagai unsur dalam kalimat peribahasa. Seperti, kalimat ‘gajah di pelupuk mata tidak tampak, kerbau congek, buaya darat, dsb.’.
Pilihan untuk menggunakan unsur binatang dalam peribahasa amat boleh jadi karena unik sehingga menggelitik untuk disingkapkan maknanya, familer karena binatang itu berada di lingkungan sekitar, dan karennya diharapkan bakal lebih meresap dalam ingatan. Walaupun binatang dijadikan unsur pembentuk kalimat peribahasa, namun makna yang terkadung di dalamnya ditujukan bagi manusia.
Dengan perkataan lain, perilaku spesifik dari binatang atau perlakuan manusia terhadapnya, diharapkan dapat menjadi ‘wahana pendidikan atau petuah’ bagi manusia agar bersikap dan bertindak bijak dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan contoh teladan tersebut.

0 comments: