CATEGORIES

Showing posts with label kesehatan. Show all posts

Masih kental diingatan tentang pernyataan kontroversi Stephen Hawking, bahwa ilmu fisika tidak membutuhkan agama. Sejak berabad tahun lamany...

menyembah sains


Masih kental diingatan tentang pernyataan kontroversi Stephen Hawking, bahwa ilmu fisika tidak membutuhkan agama. Sejak berabad tahun lamanya, pertentangan antara agama dan sains seolah menjadi percikan sejarah yang akan saling sikut berebut dominasi kekuasaan. Mulai dari teori Evolusi Darwin, teori Big Bang dan Relativitas Albert Einstein, hingga teori Heliosentris Galileo Galilei.

Sejarah sains perlu untuk kembali didiskusikan dalam forum-forum kajian ilmiah. Tak dipungkiri bahwa sains berperan banyak dalam perkembangan kehidupan manusia, mulai dari ilmu statistik hingga sosial. Agaknya menjadi kemunduran zaman jika melupakan peran sains yang sudah masuk ke berbagai bidang ilmu manusia.

Menariknya, agama selalu dikesankan kontradiktif terhadap kemajuan sains. Hingga isu kemunduran peradaban Islam era kejayaan Turki Utsmani juga ditengarai karena sikap apatis terhadap perkembangan sains dunia. Di antaranya menolak konsep sains yang mengedepankan metodologi yang tidak berimbang dalam pengambilan keputusan. Semakin rumit ketika sains berbenturan dengan tafsir agamawan dalam kitab suci yang terlanjur diyakininya.

Asumsi bahwa sains merupakan bentuk perlawanan atas dominasi dogma agama masih dirasakan sampai sekarang. Utamanya dulu bagi kalangan gereja yang begitu dominan dan hegemonik di eropa lantas menolak sains modern. Ketika konflik dalam periode Revolusi Ilmiah, Islam mengambil peran dengan mengadopsi pemikiran sains Yunani Kuno dan Romawi dengan tetep menyesuaikan nilai-nilai Islam dalam perkembangannya.

Namun dalam perjalanannya sains tetap menunjukan egonya dalam penaklukan sikap religiusitas umat. Saintisme meyakini mampu menjelaskan secara gamblang tentang konsep agama daripada agama itu sendiri. Agama dipandang hanya sebuah instutusi yang memperbudak kreativitas berpikir manusia. Sehingga kekuatan logika berpikir sains berhasil meyakinkan manusia untuk mengedepankan realitas berdasarkan metode dan analisis penelitian.

Bagi kalangan agamawan, sains selain sebagai simbol perlawan juga diakui sebagai ekspresi perubahan zaman sampai era post-modern. Pengaruh besar sains memaklumkan sikap agama untuk dijadikan alat dalam keyakinannya.

 

Baca Juga : Mempersiapkan Generasi Emas Indonesia

Beriman Kepada Sains

Sains ibarat alat yang bisa menghipnotis manusia agar perlahan beriman terhadapnya. Mulai dari pesatnya kemajuan industri, masifnya penggunaan teknologi, hingga konsep berpikir manusia modern. Manusia dibuat terlena dengan budaya baru yang menggantungkan segala hal kepada sains. Sains selalu dapat menujukan eksistensinya dalam setiap sendi kehidupan manusia.

Covid-19 adalah salah satu contoh kasus dimana keberadaan sains begitu diimani. Sikap seni dan agama hanya tunduk akan dominasi sains. Disadari atau tidak, bahwa degradasi keimanan terhadap agama begitu terlihat. Umat (manusia beragama) takut dan tunduk terhadap ancaman Covid-19 hingga mereduksi kuantitas dan kualitas ibadahnya. Dominasi agama seakan perlahan runtuh terhadap kemegahan sains.

Agama dibuat bungkam terhadap ranah penelitian kesehatan. Tidak ada yang berani lantang menyuarakan argumen berdasarkan rujukan kitab agama. Kekuatan sains yang didukung kekuatan masa membuat agama menjadi tidak berkutik mengahadapi kenyataan kasus Covid-19. Kesimpulan elementer yang diambil adalah bahwa kematian karena Covid-19 tidak memandang status sosial dan tingkat keimanan agama seseorang.

Dokter adalah pahlawan manusia yang berdiri di garda terdepan melawan Covid-19. Umat beragama “dipaksa” sembahyang di rumah masing-masing, seniman di “pasung” kreativitasnya, semua tunduk dan beriman kepada sains dunia kesehatan. WHO mengambil peran strategis, sedangkan organisasi-organisasi agama berjamaah mendukung segala kebijakan yang diambil. Kenyataan manusia beriman kepada sains adalah bagaimana segalanya menyepakati tentang keganasan Covid-19 dan menggantungkan hidup kepada keberadaan vaksin.

Bahkan sikap agamawan sepakat menolak teori konspirasi yang mulai ramai diperbincangkan. Penjajahan iman secara intelektual dari sisi kemanusian yang berhasil mengubah paradigma manusia tentang eksistensi sains dalam mengatur kehidupan manusia. Bukan hanya agama dan seni, mulai dari politik, hukum, pendidikan, ekonomi, semua tunduk dan beriman kepada sains.

Kekuasaan jagad supranatural seolah melempem di tengah pusaran realitas yang dihadapi. Keimanan akan keberadaan Tuhan dibenturkan dengan ancaman dan ketakutan akan kematian. Sains bidang teknologi semakin menguatkan keabsahannya dalam menundukan iman dan perlawanan agama. Memaksa untuk menciptakan satu suara tentang kebenaran sains dalam mengatasi problematika kehidupan.

 

Baca Juga: Agama Menjadi Sumber Konflik Zaman Modern?

Relevansi Sains dan Agama

Bagi sebagian kalangan agamawan yang juga ilmuwan, maka akan melihat sudut pandang lain dalam konstelasi masalah Covid-19. Sains sebagai alat atau sarana dalam meningkatkan kualitas keimanan, bukan dengan membenturkan dalam kacamata lain. Buktinya banyak manusia yang dengan mudah mengimani agamanya karena faktor kemajuan teknologi. Membuka realitas dunia yang sebelumnya tabu dibahas dalam kajian-kajian keagamaan.

Sains tetap akan tampil superior dalam kemajuan peradaban manusia, namun bukan berarti mendekonstruksi agama sebagai kesatuan dalam menggapai keteraturan sosial. Sains dan agama adalah dua entitas yang berbeda tapi bisa berjalan beriringan untuk menuju kebahagiaan yang secara komunal disepakati. Meskipun juga harus diakui bahwa pesatnya kemajuan sains membuat sebagian orang menuhankan sains (atheis atau agnostik) dalam menjalani hidupnya. Di sisi lain, agama semakin menujukan gairahnya ketika kemudahan ilmu dan kajian tersebar di berbagai platform media digital.

Menurut Keth Ward, jika kebenaran hanya terletak pada sesuatu yang dapat diukur dan diuji secara eksperimental dan jalan satu-satunya adalah dengan analisis dan pengamatan, maka akan lahirlah Barbarisme Saintifik - kesia-sianya kajian seputar humaniora, sastra, filsafat, dan sejarah. Pemikiran ilmiah seharusnya semakin membuka bentuk dan konsep kebenaran pada lingkup kehidupan individu dan kelombok (hubungan sosial satu dengan yang lain).

Ilmuwan seperti Einsten, Newton, dan Maxwell tidak selalu terikat pada tradisi religius Ortodoks, tapi mereka menunjukan kesadaran akan intelegensi kekuatan supernatural yang mendasari semesta dan menghormati misteri eksistensi teologi. Agama harusnya menyadari tentang keberkahan kemajuan sains sebagai modal mengatur tatanan individu dan sosial berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi kesan bahwa agama adalah beban bagi sains dan juga sebaliknya, sains adalah beban bagi agama. 

Pernah dimuat di Gusdurian
https://gusdurian.net/kemerdekaan-sains-dan-tantangan-umat-beragama-abad-21/

“Indonesia sedang sakit, tapi cuma flu biasa....” Di pojok gemerlapnya kota metropolitan, jauh dari bising suara knalpot kendaraan, dan bing...

penyakit influenza

“Indonesia sedang sakit, tapi cuma flu biasa....”

Di pojok gemerlapnya kota metropolitan, jauh dari bising suara knalpot kendaraan, dan bingar-bingar musik dugem, tentu ada masyarakat yang merindukan kedamaian dan ketenangan. Mereka yang setiap malam berbisik kepada kunang-kunang, bermain layang-layang di tengah terik surya, dan menangkap capung di kala senja menyingsir. Anak-anak yang disuruh segera mandi karena raksasa Maghrib telah berkumandang.

Manusia-manusia pasrah di tengah politik yang gerah. Mereka yang demam hanya butuh kerokan beberapa lajur untuk bisa sehat kembali keesokan harinya. Mereka yang flu beberapa hari, hanya bermodal 500 perak untuk membeli obat mainstream di toko klontong depan rumah. Mereka yang terjatuh atau kecelakaan hanya diberi lendir lidah buaya. Sebaliknya mereka yang “terlanjur” hidup gelamor, demam sejam langsung dibawa ke rumah sakit, divonis penyakit tifus, demam berdarah, TBC dan tetekbengek lainnya. Flu, istilah yang remeh-temeh namun bisa terlihat kesenjangan sosial di tubuh Indonesia.

Misalkan lebih picik diparadokskan tentang kekayaan (kota) dan kemiskinan (desa), seolah semakin kaya seseorang, maka semakin tinggi tingkat kekhawatiran akan kematian. Sedangkan di pedesaan, mereka hanya pasrah tentang sakit, sembuh, sehat, dan mati. Dalam ranah agama, orang miskin lebih bertakwa daripada orang yang kaya, apalagi bagi orang yang sok kaya.


Baca Juga: Corona, Amnesia Dunia Realitas

Cacat Demokrasi

Seorang nenek miskin dari seberang desa mencuri sendal yang terdampar di pinggir jalan. Kemudian sang pemilik melihatnya, dan dituduhlah ia sebagai pencuri. Seminggu kemudian sang nenek dijebloskan dalam penjara. Demokrasi, hukum harus ditegakkan. Indonesia negara hukum yang tidak pandang bulu dalam menciptakan keadilan, katanya.

Cerita selanjutnya, seorang yang dengan nyata mencaci pimpinan (simbol) negara di media sosial. Kemudian dia dihukum karena pelanggaran UU ITE. Seketika segerombolan “intelektual hukum” berbondong membelanya. Mengotak-atik undang-undang, tafsir beradu tafisir di pengadilan. Tapi kalah! Putusan ditetapkan. Bukan orang gedong kalau menyerah pada satu pertandingan. Masih ada banding, kasasi, ada pengadilan berikutnya, sampai yang salah buram menjadi benar. Intelektual hukum hanya menjadi pahlawan para artis tenar dan tokoh berpengaruh. Selain mempertebal dompet, juga bisa menunjang karir ketenaran sebagai seorang pakar hukum. Sedangkan mereka yang hanya mampu membeli beras dan tempe hanya berharap Tuhan sang maha welas di hadapan hakim yang hendak mengetok palu putusan penjara. Paling beruntung ada satu dua LSM yang menawari bantuan, dan merekalah para perindu demokrasi dan keadilan tanpa balas imbalan.

Seandainya sang nenek demikian, dia mungkin bisa mengajukan banding dan diringankan tuntutannya. Lhawong, cuma nemu (maling) sendal, bukan maling uang rakyat. Masak iya, demokrasi bisa dibeli sama orang kaya?! Terus kemana lagi nasib sang nenek dan kawan-kawan yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin?! Hanya meilhat perdebatan sok intelek di televisi? Atau hanya disuruh melihat dengan seksama foto baliho calon legislatif agar nanti dicoblos?

Hukum begitu adilnya bagi kaum jelata dan begitu lenturnya bagi kaum sosialita. Demokrasi sudah cacat. Lucunya yang membuat cacat demokrasi teriak-teriak, “Semua harus berlandaskan asas demokrasi. Melindungi dan mensejahterakan segenap bangsa Indonesia.”

Kaum jelata tertegun, motivator politik sedang berorasi di panggung-panggung televisi. Aktor yang seharusnya mendapatkan gelar di acara FFI daripada mereka yang tenar di luar negeri berkat karya film Indie.


Baca Juga : Drama Politik Indonesia

Flu Indonesia

Untung cuma flu, bukan penyakit ganas seperti kanker, HIV/ Aids, tumor, atau gula. Minimal organ tubuh lainnya masih bisa beraktivitas normal. Peler, istilah yang biasa digunakan karena ingus berlebihan yang keluar dari lubang hidung. Paling seminggu sudah sembuh dengan atau tanpa pergi ke rumah sakit. Lagian, biaya rumah sakit juga mahal, apalagi BPJS juga sedang diguncang isu ketidakprofesionalan. Mending istirahat yang cukup dan banyak minum air putih hangat.

Namun flu juga termasuk jenis penyakit, dan sifat penyakit itu membuat tidak optimal dalam melakukan aktivitas keseharian. Jenis flu pun juga beragam. Ada juga flu yang mematikan seperti flu burung atau flu babi. Dan lagi, flu itu adalah kategori penyakit yang gampang menular. Satu orang terjangkit flu, besoknya teman kerja seisi ruangan juga sentrap-sentrup. Kalau dalam petuah masyarakat Jawa, enteng yo enteng, neng ojo ngentengne (mudah ya mudah tapi jangan dibuat mudah). Intinya setiap penyakit harus diwaspadai dan diikhtiari agar segera sembuh.

Indonesia itu sedang sakit”, ujar seorang paruh baya di angkringan sekitaran Solo. Kalau ditafsirkan sakit itu pasti ada sebabnya. Misalkan anak demam karena hujan-hujanan, orang tua diabetes karena hobi mengkonsumsi gula, mata minus karena ketagihan gadget, dan lain sebagainya. Nah Indonesia itu sakit karena apa? Indonesia itu sakit apa?!

Mensana Incorpore Sano - di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Barangkali bapak di angkringan tersebut kurang begitu mengerti kondisi tubuh Indonesia. Seharusnya kalau dilihat dengan penuh kemesraan, Indonesia itu adalah tubuh yang kuat. Infrastruktur terbentang dari Sabang sampai Merauke, pendidikan tersebar sampai ke polosok desa, waduk-waduk berceceran di ladang pertanian, dan teknologi menjajah kaum milenial yang butuh asupan literasi. Paling yang terlihat sakit hanya korupsi, ujaran kebencian, politisasi agama, dan berita-berita hoax di tengah masyarakat. Atau itu yang dimaksud sakit? Sakit flu?!

Kalau memang demikian berarti tidak ada keheranan jika penyakit tersebut cepat menyebar. Apalagi flu itu semacam penyakit bawaan. Kalau dulunya sudah hobi terjangkit flu, dewasanya juga pasti demikian. Seharusnya sejak bayi sudah sering diimunisasi, agar kekebalan tubuh bisa terjaga. Tapi sudah terlanjur, revolusi mental pun tetap tidak akan menyembuhkan orang yang biasa dan senang dengan kedatangan penyakit flu. Penyakit yang bukan lagi menjadi ketakutan, tapi malah bangga untuk disebarkan, “Aku flu, kamu juga harus flu. Kita kan tinggal di negara flu”.

Solusinya ya harus lebih banyak lagi memperbanyak toko klontong yang menjual obat mainstream untuk menyembuhkan penyakit flu. Daripada mentransfer dana satu miliyar sekian ke kantor kepala desa beserta perangkatnya.

Kalau flu-nya dari dalam negeri mudah disembuhkan, tapi kalau flu-nya impor, itu yang jadi masalah


Pernah dimuat di Geotimes
https://geotimes.co.id/opini/flu-indonesia/

Polemik Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 masih bergulir dalam perdebatan moral dan politik. Di satu sisi pemerintah memperhatikan ...

politik pandemi

Polemik Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 masih bergulir dalam perdebatan moral dan politik. Di satu sisi pemerintah memperhatikan dampak politik, ekonomi, dan keamanan, di sisi lain masyarakat dibuat resah dengan terus bertambahnya kasus baru Covid 19. Tercatat per tanggal 29 November 2020, sudah ada 534.266 kasus positif Korona dengan 16.815 jiwa di antaranya meninggal dunia (https://covid19.go.id/). Grafik peningkatan jumlah sebaran Covid 19 juga meningkat setiap harinya.

Sikap optimisme presiden Joko Widodo beberapa bulan lalu seakan menjadi penegasan bahwa pilkada tetap akan dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Disertai dengan argumen perbandingan jumlah kasus dengan negara lain yang menurutnya, Indonesia lebih baik dalam hal penanganan persebaran kasus Covid-19. Tentu sikap pemerintah mempunyai misi tersendiri dengan tetap menjalankan pilkada meskipun menurut beberapa pengamat akan menimbulkan persebaran kasus baru setelahnya.

Menurut Niccolo Machiavelli, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Penguasa akan lebih mengutamakan kesuksesan dirinya atau kelompoknya, sehingga tidak ada perhatian moral atau etika di dalam ranah politik. Hanya ada satu kaidah dalam etika politik: yang baik adalah apa saja yang bisa memperkuat kekuasaan pemimpin.

Situasi seperti ini merupakan realitas dalam sistem politik di sebuah negara. Kepentingan paling utama dalam hubungan politik internasional adalah aspek ekonomi masing-masing negara. Sehingga pilihan yang lebih realitis diambil penguasa adalah mengutamakan jalannya roda perekonomian yang kemudian dianggap mengorbankan kesehatan masyarakatnya sendiri.

Selain itu, politik cenderung lebih mementingkan ambisi daripada etika. Kondisi realita politik ditandai dengan adanya sikap anarkis kekuasaan, dimana rakyat mulai skeptis terhadap kepemimpinan penguasa atau lembaga atau instansi yang berada di belakangnya. Kemudian diasumsikan dengan merosotnya moral dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah.

Wacana yang dipublikasikan oleh penguasa adalah kebijakan yang mengarah pada etika atau moral politik, sedangkan dalam kenyataannya adalah sebuah ambisi kekuasaan yang disembunyikan dalam ideologi politik penguasa. Gagasan seperti demikian adalah kondisi ketika penguasa lebih memilih ditakuti daripada dicintai rakyatnya. Penguasa lebih memilih ditakuti agar rakyat tunduk terhadap setiap kebijakan yang diambil untuk mengurangi risiko konflik antara penguasa dan rakyatnya.

Situasi seperti ini akan ditemukan dalam sistem kekuasaan diktator yang ingin memberikan ketakutan agar rakyat tidak berani melawan penguasa. Dalam dinamika politik di Indonesia, sikap diktator sering dimanipulasi dengan narasi keadilan untuk menimbulkan kesan pemimpin yang bermoral dan beretika: merakyat. Seolah mementingkan kebahagiaan rakyatnya daripada pemimpinnya sendiri. Sejatinya, setiap individu manusia selalu berpikir tentang ambisi kekuasaan. Dalam politik, penguasa selalu berusaha melindungi dirinya yang kemudian melawan musuh politiknya untuk menunjukan eksistensi kekuatan atas pengaruh politiknya di suatu negara.

 

Baca Juga : Drama Politik Indonesia

Etika Politik Pelaksanaan Pilkada

Pemilihan kepala daerah di Indonesia akan digelar secara serentak di tahun 2020 untuk daerah-daerah dengan masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Pemilihan umum kepada daerah rencananya akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pilkada tahun 2020 sebanyak 270 daerah; dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Melihat bagaimana persebaran kasus Covid 19 yang tidak jelas kapan selesainya, pemerintah mengambil risiko tetap mengadakan pilkada serentak dengan mempertimbangkan variabel lain yang mungkin mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi negara. Bahkan di beberapa daerah, calon gubernur, walikoka, dan bupati sudah mulai menggerakan masa untuk menggelar kampanye dan orasi di panggung-panggung masyarakat. Keberlangsungan pemerintahan dirasa lebih penting daripada keselamatan warga.

Dalam etika politik, penguasa harus bersikap jujur dan tanggungjawab. Artinya tidak menganggap rakyat sebagai objek atas ketidakbermoralan penguasa. Publik sudah banyak melihat permainan-permainan politik penguasa dalam memainkan peran dari setiap kebijakan yang diambil. Sehingga patut disadari sikap skeptisme masyarakat yang sudah mengakar terhadap pemerintah. Penguasa harus tetap mengedepankan kepentingan rakyatnya, meskipun harus mengorbankan popularitasnya.

Kejujuran dalam berpolitik memang terkesan mitos belaka. Politik yang tidak sehat hanya akan merusak demokrasi dan tatanan sistem politik yang sudah disepakati bersama. Orientasi politiknya untuk kepentingan dan ambisi pribadi atau golongan, bukan untuk keadilan atau kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara. Iklim berpolitik di Indonesia mengharuskan untuk pandai membual agar bisa menjadi daya tarik pemilihnya. Pemilih hanya di-cekoki informasi dari media tanpa melihat kepribadian calon pemimpinnya.

Dalam konteks kejujuran berpolitik, ada suatu istilah yang disebut desepsi yang berarti membuat publik percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, menipu, atau membohongi. Desepsi meliputi sikap berbohong, mengingkari janji, berkhianat, tidak memberikan informasi dan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Kebijakan politik sebagai instrumen untuk meraih kebajikan melalui artikulasi kepentingan, seharusnya didasari oleh sikap kejujuran dari penguasa.

Sifat politik bukan hanya sikap pragmatis dengan cara mencapai tujuan yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik mengandung sifat eksistensial dalam aktualisasinya karena melibatkan nilai-nilai rasionalitas. Sikap penguasa yang memperhatikan moral dan etika politik akan menumbuhkan trust akan kemajuan suatu negara. Sebaliknya, jika didasari dengan sikap amoral berpolitik, hanya akan mereduksi popularitas politikus itu sendiri.

Tentu setiap kebijakan yang diambil akan menuai banyak persepsi pro dan kontra. Namun jika landasan mengambil kebijakan adalah untuk kepentingan bersama tanpa embel-embel popularitas atau ambisi kekuasaan, tentu akan dengan mudah diterima rakyatnya. Pilkada serentak akhir tahun 2020 adalah salah satu pertunjukan atas kebijakan penguasa yang akan menentukan seberapa beretika para penguasa dan politikus di Indonesia.

Pernah dimuat di Bali Post
https://www.balipost.com/news/2020/11/30/160592/Etika-Politik-dan-Risiko-Pilkada.html

Setiap hari masyarakat harus dicekoki dengan pemberitaan Covid-19. Mulai dari peningkatan jumlah kasus dan kematian, hingga konsep abu-abu N...

amnesia corona

Setiap hari masyarakat harus dicekoki dengan pemberitaan Covid-19. Mulai dari peningkatan jumlah kasus dan kematian, hingga konsep abu-abu New Normal. Walhasil, kegelisahan masyarakat sudah mulai tidak terbendung lagi. Mereka nekat melakukan aktivitas yang sebelumnya mendapatkan peringatan dari instansi terkait. Sudah tidak ada lagi kecemasan dan ketakutan mengenai penyebaran virus Corona, bukan karena mereka mempercayai teori konspirasi, tapi lebih kepada perasaan sumpek karena setiap hari menyaksikan pemberitaan seputar Corona.

Hidup tak segan, mati tak mau. Begitulah saat ini yang dirasakan masyarakat kalangan bawah. Meraka sudah lelah saling menyalahkan satu sama lain terkait anjuran agar #DiRumahAja. Ada keluarga yang harus tetap diberikan nafkah, sedangkan gejolak di masyarakat, banyak karyawan yang terpaksa di-PHK dan dipensiunkan dini. Beberapa di antaranya harus terima dipotong gajinya yang jauh dari layak dengan sistem NWNP (No Work No Pay) dan Work From Home. Ekonomi Indonesia bergejolak, pengangguran melonjak, dan masyarakat satu per satu jatuh tergeletak.

Alih-alih menaati protokol kesehatan, masyarakat kalangan bawah gencar melakukan aksi perlawanan dengan nekat melakukan pekerjaan publik untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pengaruhnya meluas ke masyarakat lain yang akhirnya mulai berani melakukan acara kumpul-kumpul biasa seperti sebelum masa pandemi Corona.

 

Kurang Lakunya Kehidupan Masyarakat Miskin

Ketika ada kritik terhadap media massa mengenai konten pemberitaan yang dianggapnya menambah kecemasan di masyarakat, seharusnya iklim masyarakat bermedia di Indonesia juga mesti diubah. Media adalah korporasi yang di dalamnya menganut asas jurnalistik dalam pemberitaannya. Meskipun sekarang harus diakui beberapa media sudah tidak lagi memperhatikan prinsip cover both side dalam peliputannya. Satu hal yang perlu diketahui bahwa media akan mengikuti arus ke mana masyarakat lebih berminat untuk membaca dan menerima informasi.

Satu atau dua orang yang kecewa dengan perkembangan media saat ini, tidak akan mempengaruhi intensitas pemberitaan konvensional. Pers tetap menjadi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik dengan memanfaatkan keadaan di sekitarnya sebagai nilai jual. Sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri. Jadi terlalu naif jika media dijadikan dalih atas kerusakan pola hidup di masyarakat.

Salah satu yang sering luput dari pemberitaan nasional adalah realitas kehidupan masyarakat saat ini (di masa pandemi Covid 19). Ketika daya tawar pemberitaan Corona lebih diminati daripada pengangguran dan kemiskinan yang bertambah dari waktu ke waktu. Berdasarkan data BPS, Angka kemiskinan per bulan maret 2020 meningkat 1,63 juta orang dari bulan september 2019 yang mencapai 24,79 juta orang. Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat entah sampai kapan berakhirnya pandemi Corona. Bahkan pengamat memperkirakan resesi sudah berada di depan mata yang ditakutkan akan menjadi depresi di kemudian hari.

Mereka yang terkena dampak secara langsung (PHK) sudah tidak lagi menghiraukan isu nasional. Mereka hanya berharap bisa hidup normal, bekerja dan mencukupi kebutuhan keluarga. Sedangkan yang tidak terkena dampak secara langsung ingin lepas dari bayang-bayang ketakutan. Bisa kembali liburan dan bercengkrama melepaskan penat pemberitaan tentang krisis, resesi, ataupun depresi.

Bagi kalangan menengah atas (tidak dalam kategori miskin), mereka seakan lupa tentang mengkhawatirkannya kemiskinan di masyarakat. Karena memang pemberitaannya terseleksi dengan berita Corona beserta tetek bengek-nya. Bekerja serabutan, ketakutan membawa anak periksa ke dokter, tekanan angsuran hutang ke bank, dan bunuh diri karena stres menanggung beban hidup.

 

Baca Juga: Bagaimana Jika Vaksinasi Corona Gagal?

Meneguhkan Prinsip Gotong Royong

Eka sila yang mengandung prinsip gotong royong adalah ruh dari Bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebhinekaan, kebangsaan, dan saling tolong menolong sudah melakat dalam diri setiap warga negara. Ketika bantuan pemerintah yang dirasa kurang merata, aksi solidaritas harus terus digencarkan. Peran media juga dibutuhkan untuk turut serta membangkitkan semangat kemanusiaan.

Kita tidak bisa terus menyalahkan keadaan tanpa usaha untuk turut menyelamatkan saudara kita dari jeratan kemiskinan. Bantuan Corona sebesar 600 ribu selama 4 bulan juga hanya ditujukan kepada karyawan yang terdaftar di BPJS. Sedangkan banyak lainnya yang sudah di-PHK dan miskin sejak awal tidak mendapatkan. Jika bantuan dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli di masyarakat yang tujuannya untuk menggerakan roda perekonomian negara, maka secara sadis kita tega melihat banyak saudara kita terlantar menanggung beban penderitaan akibat pandemi Corona.

Covid-19 memang patut dimaklumi, tapi jika terus diratapi, akan banyak saudara kita yang mati berdiri. Mereka tidak punya banyak hal untuk bisa bertahan hidup selain berhutang kepada sanak saudara atau tetangga. Selain minim keahlian, juga karena terbatasan lowongan pekerjaan di masa pandemi. Covid-19 memang sejenak membuat kita amnesia akan realitas kehidupan di sekitar kita.


Pernah dimuat di Geotimes
https://geotimes.co.id/opini/corona-amnesia-dunia-realitas/

Vaksinasi merupakan proses pemberian vaksin yang disuntikkan maupun diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi sebagai p...

vaksinasi corona

Vaksinasi merupakan proses pemberian vaksin yang disuntikkan maupun diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi sebagai penangkal penyakit tertentu. Vaksinasi Korona dinilai langkah strategis untuk segera mengentaskan pagebluk Covid-19 di seluruh penjuru dunia. Akhir tahun adalah rencana uji klinis terakhir yang kemudian bisa diaktualisasikan (pemberian vaksin) ke masyarakat Indonesia di awal tahun.

Sekira 15 juta vaksin impor didatangkan ke Indonesia pada bulan November. Vaksin tersebut tentu sudah mendapatkan restu dari WHO untuk dikonsumsi secara masal. Namun, vaksin impor tak lantas langsung disuntikkan ke seluruh warga. Pemerintah harus tetap menjalankan prosedur klinis yang nanti akan menunggu hasil lab dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Proses impor vaksin sempat dikritisi karena dianggap tim medis atau bidang kesehatan domestik tidak mampu membuat vaksin sendiri. Apalagi gen setiap daerah atau negara berbeda satu sama lain. Alasan impor vaksin karena memang kasus Covid-19 di Indonesia tidak secepat negara lain. Sehingga penanganan, termasuk pembuatan vaksin, dinilai lebih lambat. Toh, ke depan Indonesia juga berencana akan memproduksi vaksin sendiri untuk menghemat anggaran impor vaksin.


Keputusasaan Masyarakat

Sejak awal pandemi, pemerintah berusaha memberikan sugesti positif ke masyarakat melalui influencer dalam menghadapi covid-19. Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, pada awal bulan Maret sempat mengeluarkan pernyataan yang membuat heboh jagad maya, bahwa flu dan batuk memiliki angka kematian yang lebih tinggi dari korona. Kemudian disusul respon dari Menko Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, yang mengatakan akhir bulan Mei persebaran kasus positif covid-19 akan melandai. Nyatanya sampai sekarang Indonesia masih kesulitaan keluar dari jeratan Covid-19.

Prediksi lainnya dari Jokowi, Mahfud MD, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid, hingga LSI semuanya meleset. Masyarakat dibuat geram dengan iming-iming BLT dan bayang-bayang PHK. Sikap “menyepelekan” pandemi yang sejak awal dinarasikan pemerintah akhirnya ditanggung oleh rakyat. Tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat pesat. Ekonomi mengalami resesi dan kematian akibat korona meningkat dari hari ke hari.

Belum selesai menormalkan kehidupan yang baru, pemerintah sudah membuat heboh dengan UU Cipta Kerja yang akhirnya menjadi isu baru di tengah pandemi. Demonstran dari berbagai daerah yang tidak lagi mengindahkan protokol kesehatan. Terakhir adalah pemberitaan penyambutan Rizieq Shihab dan pernikahan putrinya yang dianggap membiarkan aturan-aturan yang sebelumnya sudah sedemikian rapi disusun oleh pemerintah daerah untuk mengurangi persebaran kasus Covid-19, bebas untuk dilanggar.

Melihat keadaan pandemi yang tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya, masyarakat bawah melakukan berbagai pelanggaran terkait protokol kesehatan. Kegiatan berkerumun sudah mulai banyak terlihat di desa-desa untuk melangsungkan resepsi pernikahan, menghadiri rapat warga, dan melakukan pengajian-pengajian tanpa pemberitahuan perijinan ke kepolisian.

Belum lagi budaya kampanye dalam menyambut musim pemilu yang sudah banyak dilanggar oleh para pendukung kontestan pilkada dari berbagai daerah. Kepatuhan terhadap pemerintah tidak serta merta diikuti oleh masyarakat yang sudah mulai muak dengan narasi penanggulangan pandemi. Mereka hanya butuh bertahan hidup dengan bekerja, meskipun berisiko tertular covid-19. Bahkan bulan lalu, Bali mengadakan aksi konser musik dengan melibatakan UMKM sekitar. Kondisi di Jogja juga mulai kembali ramai di pusat-pusat kota dengan berbagai aktivitas normal biasanya.


Baca Juga: Corona, Amnesia Dunia Realitas

Setelahnya?

Sambil menunggu hasil uji klinis vaksin impor, masyarakat sudah perlahan keluar dari ketakutan akan ancaman virus covid-19. Warung-warung sudah mulai tidak menyediakan tempat cuci tangan di depan pintu masuk, pengguna masker mulai berkurang saat berkendara, hingga aktivitas berkerumun yang mulai tampak di berbagai sudut keramaian.

Aturan-aturan yang sebelumnya begitu mengikat mulai mengendor saat banyak masyarakat yang bersamaan melanggar protokol kesehatan. Dengan atau tanpa adanya vaksin, masyarakat sudah membiasakan diri untuk menjalani kehidupan seperti biasanya. Bukan mempercayai adanya teori konspirasi elit global, namun lebih kepada kemuakan informasi yang simpang siur dari berbagai media.

Vaksinasi terhadap masyarakat juga dinilai akan menemui banyak masalah. Mulai dari ketidakpercayaan terhadap vaksin, biaya yang ditanggung untuk melakukan vaksinasi, hingga jangkauan masyarakat yang menerima vaksin karena Indonesia adalah negara besar dengan 263 jutaan jumlah penduduk yang mempunyai latar belakang berbeda satu dengan yang lain.

Setelah pemberian vaksin, masyarakat akan menyesuaikan kehidupan yang baru. Kegiatan-kegiatan berkerumun mungkin akan kembali dibuka, aktivitas ekonomi kembali berjalan normal, dan pelaku industri kreatif akan kembali memperoleh hak hidupnya kembali.

Namun jika yang terjadi sebaliknya -vaksinasi korona gagal-, maka kita akan di hadapkan masa depan Indonesia yang lebih suram. Menjauhkan prediksi generasi emas tahun 2045 yang sudah mulai dicanangkan dari beberapa tahun yang lalu. Masyarakat hanya akan mengharapkan bantuan dari pemerintah yang bisa berhutang ke luar negeri untuk sekedar bertahan hidup karena kehilangan pekerjaan. Pariwisata akan hanya menjadi museum karena tidak pernah dikunjungi oleh wisatawan.

Karena vaksinasi dianggap jalan satu-satunya mengatasi pandemi, mari berpikir positif dan optimis keberhasilan vaksinasi. Meskipun dalam perjalanan kehidupan manusia dibolehkan untuk menganalisis risiko, termasuk berprasangka akan gagalnya vaksinasi covid-19.

 

Pernah dimuat di RMOL Jateng
https://www.rmoljateng.com/read/2020/12/05/32465/Bagaimana-Jika-Vaksinasi-Corona-Gagal--