Politik memang topik bahasan yang menarik diperbincangkan. Apalagi setiap detik, selipan politik selalu muncul di lini masa media sosial. Puncaknya adalah kontestasi politik sejak 2014 sampai sekarang. Semakin gencarnya kader militansi Islam kekinian (dengan label hijrah), ditambah dengan perang intelektual dunia digital kader muda simpatisan partai atau organisasi Islam yang menghendaki adanya “perubahan”.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masyarakat terbesar sedunia juga acapkali ikut meramaikan kemeriahan politik di Indonesia. Meskipun pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo memformulasikan rumusan Khittah NU yang menegaskan bahwa NU secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Di sisi lain, NU harus hadir sebagai partisipan yang ikut mengatur, mengawal, mendampingi, dan mengkritisi pemerintah. Agak aneh kalau kader-kader NU buta perpolitikan di Indonesia yang justru dimanfaatkan organisasi atau partai Islam takfiri mengusai politik atau pemerintahan.
Masih terekam kuat memori pemerintahan SBY yang memberikan kursi kepada Tifatul Sembiring dari PKS. Saat itu banyak kegelisahan, keresahan, dan ngerinya sikap muslim yang kaku. Memang diakui pengaruh kontrol media menjadi tonggak masifnya gerakan takfiri dan anarkisme sebagian umat Islam di Indonesia.
Mulanya warga NU menganggap santai, namun semakin pesatnya informasi teknologi, NU dihadapkan pada pilihan untuk melawan secara argumentatif keilmuan segala serangan atau tuduhan terhadap NU. Terlihat di beberapa tahun terakhir, NU kembali menunjukan eksistensinya sebagai organisasi yang memang patut diakui secara kualitas dan kuantitasnya.
Baca Juga : Islam Agama Arogan?
Memecah Belah NU
Beberapa kali saya mengadakan diskusi daring dan luring dengan saudara Nahdliyin. Kebanyakan dari mereka masih sulit memisahkan sikap politik dan agama. Dianggapnya NU adalah PDIP dan PDIP adalah NU. Muaranya adalah bahwa NU harus fanatik mendukung Jokowi, barang siapa yang mengkritiknya maka tidak dianggapnya NU.
Sampai kadang ketika saya membela pernyataan Muhammad Ainun Najib di sebuah diskusi di KPK bersama Najwa Shihab dan Novel Baswedan, saya dituduh agen HTI. Lebih miris lagi ketika ulama muda NU seperti Gus Ulil Abshar Abdala dan Gus Nadirsyah Hosen juga tak luput dari cacian dan umpatan dari orang-orang yang mengaku NU tersebut hanya gegara mengkritik kebijakan Jokowi.
Ketika saya sowan ke beberapa kiai juga bingung dengan fenomena jagad media sosial. Kenapa NU dikesankan sebagai PDIP atau Jokowi?! Padahal kalau dianalisa lebih jauh, banyak kader NU yang masuk di berbagai partai politk untuk mengekspresikan gagasan politiknya, termasuk di PKS. Kedangkalan pemahaman seperti ini yang mesti gencar dikampanyekan kepada warga NU di dunia maya. Jangan sampai ada orang NU yang membenci ulama hanya kadang berbeda pandangan politik. Apalagi sampai bersikap “radikal” yang sama sekali tidak mencerminkan sikap ke-NU-annya.
Sampai sekarang saya masih mencoba mencari tahu alasan sikap fanatik akun yang mengaku NU terhadap Jokowi atau PDI P. Beberapa kali saya sempat ajak diskusi secara langsung juga tidak pernah bersedia. Apakah mereka benar orang NU atau hanya mengatasnamakan NU?!
Saya aktif bermedsos dan beberapa kali ikut diskusi cyber. Sudah banyak diketahui bahwa peran buzzer melalui akun fake cukup mempengaruhi cara pandang banyak orang. Bahkan waktu masa kampanye pilihan presiden tahun lalu, banyak warga NU yang terkecoh dengan narasi membenturkan ulama-ulama NU yang kebetulan bersebrangan pandangan politiknya. Bahkan lebih fatalnya, mereka berani mencaci, menghina, dan memfitnah ulama-ulama NU itu sendiri.
Yang kita musuhi adalah sikap radikal dan anarkisme atas nama agama, kenapa kita malah ikutan bersikap demikian?
Baca Juga : Eksklusivisme NU dalam Bingkai Kebhinekaan
NU Istikamah di Pemerintah
Era Soekarno, NU menjadi organisasi rujukan kala menyusun dasar negara melalui KH. Wahid Hasyim atas titah abahnya, Hadratusyaikh Hasyim Asyari. Bahkan sejak awal NU sudah aktif di dunia politik melalui wadah Masyumi yang pada tahun 1952 keluar karena merasa apresiasinya tidak terwakili. Kemudian mendirikan partai NU yang pada tahun 1955 menjadi partai ketiga terbanyak meraih suara setelah PNI dan Masyumi.
Sejak awal pendiriannya, NU selalu disegani oleh setiap pemerintahan. NU juga turut andil dalam penumpasan PKI karena mementingkan kemaslahatan umat waktu itu. Untuk menguatkan basis di Indonesia, akhirnya NU melakukan konsolidasi dengan membuat banom-banom NU dari IPNU hingga Muslimat NU.
Pada masa orde baru, NU menjadi sandaran bagi Soeharto mengingat PNI masih terikat dengan Soekarno, dan Masyumi menjadi partai terlarang sejak tahun 1960. Saat peralihan presiden pun NU sangat luwes melalui peran Achmad Sjaichu (DPR-GR) dan Subchan (MPRS) yang merupakan tokoh-tokoh NU di pemerintahan.
Setelah reformasi dan Habibie sebagai presiden sementara setelah mundurnya Soeharto, NU semakin digdaya dengan terpilihnya Gus Dur di parlemen melalui PKB dan poros tengahnya. Gus Dur berhasil mengalahkan Megawati (PDI P) yang kemudian menjadi wakil presiden. Hingga akhirnya Gus Dur dimakzulkan, NU tetap menjadi benteng kokoh di pemerintahan.
Sedekade pemerintahan SBY, NU juga selalu dilibatkan dalam pemerintahan. Semua menyadari bahwa NU adalah lumbung suara yang sangat besar di Indonesia. NU pun selalu menjadi percontohan ormas lain untuk selalu mendukung pemerintah untuk menjaga pancasila dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terakhir adalah Jokowi yang ketika pemilihan pertamanya cukup aktif sowan ke tokoh-tokoh NU. Menariknya, tahun 2014 banyak tokoh NU yang memilih Prabowo - Hatta menang dalam pilpres. Sebut saja KH. Aqil Siradj, KH. Miftahul Ahyar, KH Abu Mansur Tholha, KH. Dimyati Romli, KH. Abdullah Kafabih, KH. Nasrudi, dan masih banyak lagi.
Melihat keberpihakan Jokowi kepada Pesantren hingga disahkannya perjuangan peringatan Hari Santri Nasional, tak ayal membuat simpati tokoh-tokoh NU mendukungnya di pilpres 2019. Intinya, siapapun presidennya dan partai yang memenangkannya, NU akan selalu berada di belakang pemerintah untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk kemajuan bangsa.
Jangan sampai NU dianggap PDI P dan PDI P dianggap NU. Mereka berbeda, meski beberapa tahun terakhir diakui sebagai sahabat oleh KH. Aqil Siradj. Perlu diketahui bahwa PDI P mungkin suatu saat bisa kalah dalam kontestasi politik, tapi NU tetap akan menang memperjuangankan Pancasila dan NKRI.
Pernah dimuat di Geotimes
0 comments: